Wednesday, May 30, 2012

ALLAHU AKBAR

Menuju sifat tawadhu dan berserah diri di hadapan Allah
Bismillahirrohmanirrohiim


Saudara-saudara yang dirahmati Allah SWT, betapa seringnya kita mengucapkan kalimat yang mengagungkan Kebesaran Allah itu dalam sehari. Dalam setiap shalat, doa dan dzikir kita ucapkan. Begitu seringnya sehingga ada kecenderungan pengucapannya menjadi otomatis, tanpa meresapi atau menghayati apa yang kita ucapkan. Kita kehilangan sensing tentang makna Allahu Akbar karena indra kita sudah ter-conditioned untuk melafalkannya tanpa diikuti oleh perasaan hati kita.

Bahkan ada orang muslim yang mengucapkan Allahu Akbar ketika akan melaksanakan kemungkaran. Kalau sudah begini hubungan kita dengan Allah SWT terasa beku, shalat kita terasa tak khusyuk, bahkan bisa terputus. Bahkan kita terancam untuk mendapat azab dari Allah SWT. Bagaimana kita mencegah ini terjadi? Bagaimanakah kita mengembangkan diri kita sehingga setiap kali mengucapkan Allahu Akbar, akan terasa suatu “aliran listrik” dalam dada ini?

Memang perlu kita mengkondisikan diri kita bahwa betapa kecilnya kita dihadapan Allah Yang Maha Besar, Sang Maha Pencipta. Satu cara untuk mengkondisikan diri kita semacam itu adalah dengan bertafakur. Obyek tafakur kita adalah ciptaan-ciptaanNya yang ada disekitar kita. Alam, seperti bumi dan langit, binatang besar kecil, phenomena alam, manusia dan sebagainya.

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak surah dan ayat yang mengingatkan kita untuk selalu menggunakan akal kita (= bertafakur) tentang ciptaan-Nya. Coba Adi tekuni surat-surat Yunus:24, Ar-Ra’d:3, An-Nahl:3-18, 44, 65-69, Ar-Ruum:20-27 dan Az-Zumar:43. Tafakur tentang kebesaran Allah ini, akan lebih meresap bila dibarengi dengan pengindraan. Untuk menjelaskan ini Papa akan memberikan beberapa contoh.

Seorang dengan susah payah mencapai puncak gunung Bromo. Dengan terengah ia duduk di bibir kawah Bromo untuk mengatur nafasnya kembali. Asap kepundan keluar dengan deras dari kawahnya disertai bunyi gelegar yang keras dan menggaung yang seakan berasal jauh dari dalam perut bumi.

Ia melihat ke sekeliling, dan melihat hamparan laut pasir yang dibatasi oleh gunung-gunung lain. Jauh di bawah sana, ia melihat turis-turis yang menaiki kuda sebesar titik membentuk garis bak semut beriring. Diatas ia disinari oleh matahari yang seolah menjadi lebih dekat. Ia merasa begitu kecil ditengah alam yang begitu besar dan luas. Keheningan disekitarnya membuat ia termenung; “Ya Allah, betapa kecilnya aku ditengah ciptaanMu yang hebat ini. Allahu Akbar” katanya seraya menitikan air mata.

***

Sungguh kita harus berterima kasih pada camera-man film dokumenter “Killing for Living” yang di beberapa waktu yang ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta. Camera-man mengabadikan kehidupan binatang-binatang liar di alam bebas yang memangsa bintang lain yang memang menjadi makanan sehari-harinya.

Kalau camera-man, yang orang barat, mengabadikannya untuk penelitian dan ilmu pengetahuan, kita bisa memanfaatkannya sebagai bahan tafakur. Ada satu footage dimana semut hutan yang jumlahnya ratusan ribu menempuh jarak berkilo-kilometer, membentuk barisan panjang, menembus hutan, naik turun pohon, menjelajahi tanah datar untuk kemudian memangsa sejenis serangga lain, lalu hasil buruannya dibawa kembali kesarangnya setelah “dipanggul” berkilo-kilometer. Hasil buruannya ini digunakan sebagai makanan untuk ratu semut serta larva-larva muda yang kelak menjadi semut dewasa.

Sungguh menakjubkan dunia hewan kecil ini. Mereka seakan-akan punya sistim untuk mendeteksi mangsa yang letaknya sangat jauh bagi hewan sekecil itu. Lantas, kemampuan mereka untuk mengorganisir diri dalam jumlah yang begitu besar, bergerak serentak dalam barisan tanpa kehilangan arah, untuk kembali ke sarang dengan sukses membawa makanan. Allahu Akbar. Maha Agung Sang Pencipta.

***

Satu lagi, coba renungkan tentang diri kita sendiri. Renungkan tentang kejadian kita, mulai dari kita tumbuh sebagai janin, bayi, berkembang menjadi remaja dan akhirnya tua dan mati. Renungkan tentang kemampuan yang kita miliki. Tentang keahlian kita. Tentang bakat yang ada pada kita. Tentang perasaan yang mewarnai hidup dan sikap kita. Tentang kelebihan-kelebihan kita dibanding mahluk lain. Pencipta “mahluk” ini pastilah seorang yang ke-jeniusannya luar biasa.

Seorang mahasiswa kedokteran yang belajar anatomi dan ilmu faal memiliki lebih banyak kesempatan untuk bertafakur tentang kesempurnaan tubuh manusia yang dibuat oleh Sang Pencipta.  Bertafakur tentang betapa hebatnya Dia yang mencipta berbagai sistim dalam tubuh yang terdiri dari berjuta-juta sel yang saling berkoordinasi untuk membuat badan ini tetap hidup dan melaksanakan kegiatan sehari-hari. Allahu Akbar

***

Sehabis satu shalat Jum’at di Masjidil Haram saat berhaji, saya dan Kang Diman ipar saya berada di tingkat tiga masjid memperhatikan ribuan ummatNya melaksanakan berbagai ibadah. Karena dari ketinggian maka kerumunan manusia tampak seperti semut. Di dalam masjid terlihat jemaah yang begitu banyak itu melakukan tawaf (mengelilingi Ka’bah), ada yang sa’i, ada yang hilir mudik saja, ada yang shalat, berdoa dan ada pula yang katam Al Qur’an, bahkan ada yang tidak melakukan apa-apa dan duduk melepaskan lelah dan berbincang-bincang dengan sesama.

Di luar masjid saya menyaksikan beribu-ribu orang yang baru datang atau justru akan meninggalkan masjid. Di pelataran masjid terlihat kegiatan manusia yang luar biasa. Masya Allah, kekuatan apa yang menggerakan sekian juta orang sekaligus dalam satu ibadah akbar semacam ini?

Timbul suatu perasaan yang aneh dalam diri ini yang berkata: “Alangkah agungnya rumahMu ya Allah, didatangi berjuta-juta orang dalam kebaikan. Betapa banyaknya ummat ciptaanMu yang berada dalam kekuasaan-Mu, ya Allah, dan betapa kecilnya aku ditengah ummat ciptaanMu yang begitu banyak ya Allah. Semua ini karena kehendakMu, ya Allah. Allahu Akbar”.

Jadi, kunci sebenarnya adalah melatih diri kita untuk senantiasa merasa kecil dan tak berdaya dihadapanNya atau pada setiap kali kita menyebut nama Allah.

Namun mengapa kita harus melakukan ini semua, yaitu mengakui kebesaran Allah swt itu?

Pertama: agar kita sadar bahwa ada satu zat yang pasti akan melebihi kita, yakni Allah subhanahu wa ta’ala, betapapun pandainya kita. Jangan mengira bahwa dengan penguasaan ilmu, kita berarti bisa mengalahkan ilmu Allah. Para sarjana yang telah berhasil meng-cloning beberapa jenis ternak seperti Dolly si biri-biri hasil rekayasa genetika, belum apa-apanya dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Allah swt.

Banyak orang yang masih sering lupa bahwa pengalaman-pengalamannya di masa lampau tidak menjamin keberhasilannya di masa yang akan datang, karena masih ada Allah yang Maha Menentukan. Oleh karena itu ucapkanlah selalu Insya Allah dengan tulus ikhlas bila meng-commit sesuatu.

Kedua: agar kita bisa tetap rendah hati pada saat kita memiliki kelebihan dibanding orang lain, apapun jenis kelebihan yang kita miliki. Kalau kita cerdas dan tampan, tak perlu kita pamer kecerdasan dan ketampanan. Kalau kita diberikan ni’mat rizki dan harta lebih dari orang lain, tak perlu kita menonjolkannya.

Kelebihan yang kita miliki itu justru harus memperbanyak rasa syukur kita dengan makin taqwa kepadaNya. Jangan seperti iblis yang tinggi hati. Karena merasa terbuat dari api, ia merasa lebih mulia dari pada manusia yang diciptakan dari tanah, sehingga ia berani menentang perintah Allah untuk sujud di hadapan manusia.

Mudah-mudahan dengan meresapi makna Allahu Akbar dalam setiap shalat, do’a dan dzikirmu maka sifat sombong dapat dihindari, suatu sifat yang sangat tidak disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Amien ya Rabbal alamiin.

Bagaimana pendapat Anda?

Penulis: H. R. Bambang Irawan

Friday, May 25, 2012

TEKNOLOGI JAMAN NABI SULAIMAN

Teknologi Jaman Nabi Sulaiman

Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”. Berkata seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab (Taurat dan Sabur): “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”.

Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu ada dihadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni’matNya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
~ An-Naml – QS 27 :39-40 ~

Saudara-saudara yang dirahmati Allah SWT, diatas adalah bagian dari kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an. Kita mengenal Nabi Sulaiman sebagai seorang Nabi yang dikaruniai kekayaan yang berlimpah dan kemampuan untuk berbicara dengan binatang. Ia memiliki tentara jin yang sakti-sakti.

Ayat diatas mengisahkan bagaimana usaha Nabi Sulaiman untuk menyadarkan Ratu Balkis tentang Allah swt, karena Ratu Balkis adalah seorang yang tergolong kafir. Nabi Sulaiman membuktikan kepada Ratu Balkis, bahwa dengan kehendakNya, “seorang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab” dapat memindahkan singgasana Ratu Balkis dari Saba’ di Yaman ke istana Nabi Sulaiman di Palestina dalam waktu hanya sekejap. Padahal jarak antara kedua tempat tersebut sekitar 3.000 km.

Dalam ayat-ayat diatas, ada suatu aspek atau esensi yang bersifat High Technology (Hi-Tech) yang sekarang baru sampai tahap pemahaman para ahli, dan belum berhasil ditiru sepenuhnya. Padahal kejadian itu berlangsung ribuan tahun yang lalu. Kemampuan “seorang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab” untuk memindahkan satu benda (singgasana) sejauh 3.000 km dalam waktu sekejap mata, sampai saat ini belum bisa ditiru oleh manusia manapun di muka bumi ini. Prestasi yang baru dicapai oleh manusia ialah memindahkan gambar yang sehari-hari saat ini bisa kita nikmati berupa tontonan pada layar televisi. Tapi memindahkan benda? Tampaknya masih jauh keberhasilan manusia untuk hal ini.

Ada beberapa teori yang kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli Islam maupun non-Islam untuk mencoba menjelaskan phenomena seperti yang terjadi dalam Surah An-Naml:39-40 itu. “Seorang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab” itu diyakini secara praktis mampu memanfaatkan kecepatan yang paling dahsyat yang ada di jagad raya yang dikenal manusia sejak dahulu kala, yaitu kecepatan cahaya.

Cahaya adalah materi yang bergerak paling cepat di dunia ini. Pada satu garis lurus, kecepatan cahaya bisa mencapai 300.000 km per detik. Sampai sekarang belum ada benda atau materi lain yang sanggup melebihi kecepatan cahaya. Dengan kecepatan cahaya yang secepat itu, maka jarak bumi bulan ditempuh oleh cahaya hanya dalam waktu 1,5 detik. Jarak bumi matahari ditempuh cahaya dalam waktu 8 menit, karena jarak bumi matahari sekitar 150 juta kilometer. Wow hebat!

Seorang sarjana Islam berkebangsaan Arab Mesir bernama Dr. Yahya Sa’id al-Mahjari dalam karyanya Ayat Qur’aniyyah fil Misykat al-‘Ilm mencoba menjelaskan tentang phenomena “singgasana Ratu Balkis” itu. Menurutnya ada tahap-tahap yang dilakukan oleh “seorang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab” itu.

Pertama, terlebih dahulu ia melakukan proses transformasi, yaitu merubah singgasana dari materi menjadi semacam enerji. Enerji yang menyerupai listrik atau cahaya dapat dikirim lewat gelombang listrik magnetik.

 Kedua, ia berhasil mengirim enerji itu dari negeri Saba’ di Yaman ke istana Nabi Sulaiman di Palestina. Karena kecepatan gelombang listrik magnetik itu sama dengan kecepatan cahaya, yaitu 300.000 kilometer per detik, maka pengiriman enerji itu berlangsung kurang dari satu detik.

Ketiga, ia berhasil men-transformasi kembali dari enerji menjadi materi -ketika enerji itu tiba di istana Nabi Sulaiman- persis seperti bentuk materi sebelumnya, yaitu singgasana. Istilahnya, ia telah berhasil melakukan proses materialisasi yang artinya setiap bagian dan atom dapat dikembalikan ke bentuk dan posisi semula.

Lebih lanjut Dr. Yahya menjelaskan bahwa sesungguhnya energi (at-thaqqah) dan materi (al-maddah) adalah dua bentuk yang berbeda dari satu benda yang sama. Materi bisa berubah menjadi enerji dan sebaliknya. Manusia telah berhasil merubah materi menjadi enerji dalam berbagai perlengkapan yang kita pakai sekarang, seperti air dan uap menjadi enerji listrik. Bensin menjadi energi untuk menggerakan mesin.

Proses kebalikannya, dari enerji menjadi materi baru sedikit sekali dikuasai manusia. Tehnik materialisasi dilakukan dengan alat yang disebut dengan particle accelerator (pemacu partikel) dengan tingkat keberhasilan yang masih rendah dan aplikasi yang sangat terbatas. Dalam bidang ini, manusia abad 20 masih seperti anak kecil yang baru belajar membaca.

Sungguh luar biasa ayat Al-Qur’an yang menerangkan adanya “seorang alim yang memiliki ilmu dari Al-Kitab” yang memiliki ilmu yang demikian tinggi. Inilah hebatnya Al-Qur’an yang menantang orang untuk berpikir terus sekaligus menegaskan bahwa ilmu yang dicapai oleh manusia saat ini masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan ilmu orang alim itu. Teknologi jaman Nabi Sulaiman ternyata jauh lebih canggih ketimbang teknologi di jaman yang serba cyber ini.

Bagaimana pendapat Anda?

Penulis : H. R. Bambang Irawan

Friday, May 11, 2012

RODA

Pada akhirnya, ia datang juga. Sesuai kodrat, waktu pasti akan datang, tak pernah ingkar, tanpa penundaan. Kita, manusia berawal dari janin, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, lantas tua dan mati. Manusia belajar, cari pengalaman, bekerja, berprestasi lantas berhenti bekerja.

Ibadah ini bisa jalan terus sampai akhir hayat, dengan memperbanyak amal soleh, dengan pemikiran, dengan penyebaran ilmu dan dengan menebar pengalaman yang bisa bermanfaat buat orang lain. Itulah roda kehidupan dunia. Roda yang tidak sama bagi setiap insan. Roda yang sesuai kodrat Illahi.

Roda akan berjalan terus, tanpa henti, tanpa istirahat melewati batas-batas kehidupan yang tak nampak. Menembus suka dan duka, bahagia dan derita, manis dan kegetiran, keberanian dan ketakutan, optimisme dan kecemasan, keberhasilan dan kegagalan, pertemuan dan perpisahan. Semua orang akan mengalaminya, walaupun dengan pacu yang tidak sama.

Roda akan semakin lambat berputar, karena takdir. Lambat dan semakin lambat, sampai akhirnya berhenti. Di dunia fana ini. Lalu kita akan punya roda lain, roda kehidupan akhirat.  Bak pindah kereta. Roda akhirat ini juga berputar, tapi abadi, dengan pacu yang teratur.

Ada roda yang hanya menembus suka dan kebahagiaan dalam surga. Tapi ada roda yang melulu menembus rasa duka dan penderitaan dalam neraka jahanam. Kita hanya bisa menerima roda mana yang akan diberikanNya kepada kita. Itu semua hasil kita, menjalani roda kehidupan dunia.

Kita dianugrahkan kesempatan. Kesempatan untuk memilih roda kehidupan dunia yang mana yang akan kita jalani. Itu semua tergantung kita. Dia hanya memberi nikmat kesempatan, selanjutnya terserah kita. Tanda-tanda sudah tersirat dalam Kitab-Nya dan bimbingan Nabi SAW dalam melaksanakannya.

Kita mesti waspada. Roda dunia bisa tiba-tiba berhenti berputar tanpa sempat kita siap menyiapkan roda yang lain. Roda kehidupan akhirat. Makanya, kita mesti pandai membaca tanda-tanda Illahi yang bertebaran dalam kehidupan kita. Renungkanlah. 


Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembahku
[QS 51 - Adz Dzaariyaat : 56]

Bagaimana pendapat Anda?

Tulisan H.R. Bambang Irawan