Oleh :
Dahlan Iskan
10 November 2021
Angka itu terus menurun: tinggal
244 –tanggal 8 November kemarin.
Covid-19
di Indonesia membuat kagum dunia. Bagaimana bisa, negara berpenduduk 270 juta
jiwa, yang terkena Covid tinggal 244 orang sehari itu.
Saya
terus dihubungi teman-teman di luar negeri. Apalagi yang di Singapura itu.
Sehari bisa telepon tiga kali: mengapa? Mengapa? Mengapa?
Angka itu
begitu menakjubkan. Terutama bila dibandingkan di Singapura. Yang penduduknya
hanya 5 juta jiwa. Yang penderita barunya masih 5.000 orang sehari pekan lalu,
dan sekitar 3.000 orang sehari di tanggal 8 November itu.
"Di
Singapura 3.000, itu sama dengan di Indonesia 1 juta," katanya. Lha, ini
cuma 244 orang.
Pun
lihatlah daftar provinsi ini: sudah 0 orang. Sudah sembilan provinsi yang tanpa
penderita baru Covid-19.
Jambi :
0
Bengkulu
: 0
Kepulauan
Riau : 0
Sulawesi
Utara : 0
Sulawesi
Tenggara : 0
Gorontalo
: 0
Sulawesi
Barat : 0
Maluku :
0
Maluku
Utara : 0
Itulah 9
provinsi yang merdeka pertama dari Covid-19. NTB dan Kalsel hampir saja
merdeka: tinggal 1 orang. Lampung dan Kalteng tinggal 2 orang. Padahal Lampung
begitu dekat Jakarta.
Jakarta
sendiri tinggal 29 orang. Dan Bali tinggal 8 orang.
Begitulah
hebatnya. Yang terbanyak pun tinggal 33 orang: Yogyakarta.
Ketika
saya menulis kata ''Yogyakarta'' itu, !!!, ingatan saya melayang ke Butet
Kertaradjasa. Ia kirim video pendek: !!! tenan. Sungguhan !!!.
Butet
sudah bisa berdiri. Bahkan bisa berjalan thimik-thimik. Kegembiraan melihat
perkembangan Butet sama besarnya dengan melihat angka 244 itu.
"Mengapa?“
kata saya mengulangi pertanyaan teman Singapura itu. Saya hanya bisa mengutip
penjelasan banyak dokter yang pernah saya tanya mengapa. Misalnya Prof Nidom
itu. Atau dokter Andani dari Universitas Andalas Padang itu.
"Indonesia
sudah mencapai tahap herd immunity".
Dugaan
itu didasarkan pada banyaknya orang Indonesia yang sudah terjangkit Covid.
Hanya saja sebagian besar tidak merasakannya. Atau pura-pura tidak merasa.
Angka
rendah itu juga berkat semangat bervaksinasi yang hebat. Vaksinnya ada:
pemerintah cepat mengadakannya. Yang divaksin juga semangat –meski awalnya
banyak yang ogah-ogahan.
Banyak
pula kepala daerah yang menjadikan vaksinasi sebagai target capaian: Wali Kota
Surabaya bisa melampaui 100 persen: Eri Cahyadi.
Gubernur
Jakarta saya tulis urutan yang kedua – meski ia yang pertama mencapai angka di
atas 100 persen itu: tidak perlu saya sebut namanya.
Saya pun
balik bertanya: mengapa masih banyak penderita baru di Singapura. Masih setara
1 juta orang sehari.
Jawabnya:
karena, dulu, Singapura selalu bangga begitu sedikit angka Covidnya. Singapura
begitu hebatnya seperti mengejek negara tetangga.
Jawaban
itu juga ia kutip dari para ahli di sana.
Berarti
tahap herd immunity belum terbentuk di Singapura. Masih terlalu sedikit yang
sudah terkena Covid.
Maka
begitu pengendalian dilonggarkan melonjaklah angkanya. Itu berarti Singapura
termasuk yang berbangga-bangga ke hulu, bersesak-sesak ke tepian.
Melihat
hebatnya Indonesia, beberapa teman yang dulu mengungsi ke Singapura segera
balik kucing.
Awalnya,
sebagian kecil dari pengusaha besar itu ngeri melihat serinya Covid di
Indonesia. Mereka pun mengungsi ke Singapura.
Kini
angkanya terbalik: mereka pun mengungsi lagi ke kampung halaman sendiri.
Saya
masih mikir: benarkah semua itu karena herd immunity?
Kalau
benar, bukankah berarti Tiongkok kini dalam bahaya?
Bukankah
selama ini Tiongkok kita unggulkan setinggi bintang di dekat langit? Sebagai
negara tersukses mengendalikan Covid?
Kita pun
pernah bertanya dengan bangga: bagaimana bisa, negeri berpenduduk 1,3 miliar
manusia itu tidak sampai 100.000 orang yang terjangkit Covid?
Dari
sinilah saya mulai paham: mengapa terjadi kepanikan yang hebat di Tiongkok
sepanjang pekan lalu. Penduduk di hampir semua kota tiba-tiba menyerbu toko dan
supermarket. Mereka menguras habis stok yang ada di toko. Barang apa pun.
Dengan harga naik sekali pun. Terutama makanan dan keperluan harian.
Belanja
panik itu berawal dari pernyataan kementerian perdagangan di sana: agar tiap
rumah mencukupi kebutuhan makanan mereka -tanpa memperhatikan penjelasan
mengapa.
Awalnya
mereka mengira terlalu jauh: akan terjadi perang. Tiongkok akan segera menyerbu
Taiwan. Suasana saling ancam memang meningkat belakangan ini.
Rupanya
bukan itu. Mereka pun khawatir: mungkin akan dilakukan lockdown ketat lagi.
Untuk
apa? Bukankah penderita baru Covid di sana sudah sangat rendah. Tidak sampai 50
orang setiap hari. Tiongkok ingin membuat angka itu menjadi 0. Dengan cara
mereka sendiri. Terutama karena di sana segera dilangsungkan Olimpiade. Bulan
depan. Yakni Olimpiade musim dingin. Angka 0 harus dicapai sebelum itu.
Sampai
kemarin tidak ada juga pengumuman lockdown. Lalu mengapa sampai terjadi panic
buying? Akhirnya Anda pun tahu mengapa.
Yang
jelas, harapan saya untuk bisa segera ke 'kampung halaman kedua' harus ditunda
dulu. Padahal sudah kangen sekali: para perawat di rumah sakit itu terbayang
terus di luar sadar. (Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment