PEMIMPIN MENURUT AL QUR’AN, BELAJAR DARI KISAH THALUT DAN
JALUT
Bismillahirrahmanirrahim,
Saudara-saudaraku
yang dirahmati Allah Subhaanahu wa ta’ala, dalam masa tenang menjelang waktu mencoblos pilihan kita, maka
tiada lain yang dapat kita kerjakan adalah berdoa kepada Allah Subhaanahu wa ta
ta’ala agar kita diberi pemimpin baru yang amanah dan menegakkan keadilan,
pemimpin yang bekerja untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya agar makmur dan
sejahtera serta menjaga martabat dan kemuliaan bangsa Indonesia.
Ada satu kisah dalam
Al Qur’an tentang Thalut dan Jalut yang kiranya dapat menjadi semacam gambaran
tentang pemimpin seperti apa yang Allah akan berikan kepada setiap bangsa yang
bertaqwa kepadaNya. Mari kita simak kisahnya.
Thalut adalah
nama seorang raja Bani Israil pada era Nabi Daud a.s. Beliau menjadi raja
ketika Nabi Daud a.s menjadi panglima perang. Saat itu Bani Israil terombang-ambing oleh kekosongan pemimpin pasca Nabi Musa a.s. Beberapa
orang di antara mereka berkata
kepada pemimpin agama mereka yaitu Samuel – yang termasuk nabi, namun bukan
rasul – agar mengangkat seorang raja/pemimpin.
Maka dikhabarkan
oleh Nabi Samuel bahwa Allah telah memilihkan Thalut sebagai raja atau pemimpin
mereka. Namun mereka menolak Thalut dengan alasan bahwa Thalut bukan dari
keluarga mampu, mereka menyatakan bahwa kalangan mereka sendirilah yang lebih pantas
dan berhak atas kepemimpinan itu. Thalut juga bukan keturunan Yahuda ataupun
Lewi (keluarga bangsawan di kalangan mereka)
Nabi Samuelpun
memberi khabar tentang sosok Thalut yang diremehkan itu bahwa dia adalah orang
yang luas wawasan dan pengetahuannya dan memiliki tubuh yang perkasa. Hal ini
sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya
Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu’. Mereka menjawab: ‘Bagaimana
Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan
dari padanya, sedang diapun tidak diberikan kekayaan yang cukup banyak?’ (Nabi
mereka) berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugrahinya
ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada
siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui”
~ QS 2 – Al Baqarah : 247 –
Singkat kisah,
Jalut akhirnya tewas di tangan Daud yang menjadi komandan perang dalam jumlah
pasukan Thalut yang sedikit, hingga pada gilirannya sepeninggal Thalut, Daud
pun menjadi raja.
Allah berfirman
yang artinya: “Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) antara
manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena melupakan hari perhitungan”
~ QS 38 – Shaad : 26 ~
Bahwa kunci
kemenangan dari tentara Thalut itu adalah ‘menjauhkan diri dari tema-tema
kesenangan duniawi’ yang digambarkan dengan ‘meminum air sungai yang dilalui
dengan hanya seciduk, seperlunya.
PELAJARAN YANG DAPAT KITA TARIK.
Dari kisah Thalut
dan Jalut dengan keberadaan Daud a.s. yang kemudian menjadi penerus
kepemimpinan Bani Israil, kita dapa menarik pelajaran sebagai berikut:
#1 – Pemimpin itu
dapat dipercaya bukan lantaran kecukupan materi atau karena harta dan kekayaan,
siapapun boleh dan bisa menjadi pemimpin suatu kaum tanpa melihat unsur kekayaannya
#2 – Pemimpin itu
hendaklah seorang yang luas wawasan ilmu dan pengetahuannya, sebab ia akan
banyak mengatasi pelbagai persoalan dari kaum yang dipimpinnya dan pengaruh
dari pergaulan antar manusia lainnya, sehingga kecerdasan dan kecermatan dalam
memandang masalah yang berkembang menjadi acuannya, tidak sekedar menjawab
tanpa ada pengetahuan di dalamnya.
#3 – Selain
secara akal, ia juga memiliki fisik yang prima atau dalam konteks kekinian
boleh disebut dengan sehat secara jasmani dan rohani, yang membuat orang-orang
yang dipimpinnya dan pihak lain merasa bangga, sehingga ia mampu menjalankan
konteks kepemimpinannya dengan disertai adanya rasa hormat dan disegani banyak
orang dan tidak dilecehkan
#4 – Pemimpin
harus mampu menekan kemauan yang bersumber dari hawa nafsu, sehingga ia
berkewajiban meletakkan keadilan di atas segala kepentingan yang ada. Salah
satu ‘kunci adil’ itu adalah sikap konsisten atau istiqomah untuk menjalankan
amanah yang diembankan tanpa bergeser pada kepentingan-kepentingan di luar
amanat yang telah diberikan.
#5 – Lebih dari
semua itu, yang paling mendasar sebagai pemimpin harus memiliki karakter
keimanan yang baik. Sebab tidak selalu keputusan dalam menempuh kebijakan yang
baik dan benar itu sekedar mengandalkan kekuatan akal-fikiran. Pada waktu
tertentu, ia sungguh membutuhkan bimbingan dan petunjuk dari Allah Subhaanahu
wa ta ta’ala yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui segala sesuatunya
Jadi,
bagaimanapun manusia berusaha untuk memilih pemimpin yang menurutnya adalah
yang terbaik, maka pada akhirnya Allah Subhaanahu wa ta ta’ala lah yang
menentukan pemimpin kita. Dengan perkataan lain, siapapun Presiden kita yang
terpilih nanti, itu merupakan ketentuan Allah yang harus kita terima dengan ikhlas
dan penuh rasa syukur. Insyaa Allah.
Semoga bermanfaat
Wasallam, Mimuk
Bambang Irawan
Jakarta, 7 Juli 2014
No comments:
Post a Comment