Bismillahirrohmanirrohiim
Indonesia dikenal sebagai negara yang gemah ripah loh
jinawi, subur tanahnya dan kaya kandungan minyak dan gas bumi dengan hasil
melimpah ruah pula. Tapi mengapa rakyat Indonesia belum bisa sejahtera
hidupnya?
Orang asing kenal Indonesia karena “Islands of
spices”nya, sawah-sawah hijau yang menghampar di kaki gunung sehingga mereka
perlu menjajah tanah air kita selama 3,5 abad untuk menggali kekayaan alam ini.
Dalam hal kekayaan alam sebagai anugrah dan karunia Allah swt, sesungguhnya
rakyat Indonesia sangat dimanja oleh Allah swt.
Keterpurukan kita dalam berbagai hal, musibah yang silih
berganti, kekerasan antar kelompok yang terus mengemuka mungkin merupakan ayat
Allah sebagai akibat dari kurangnya rasa syukur kita yang cenderung untuk
menelantarkan dan mengingkari nikmatNya. Allah
berfirman :
Dan ingatlah juga tatkala Rabb-mu memaklumkan,
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur,pasti Kami
akan menambah (ni’mat) kepadamu,
dan jika
kamu mengingkari (ni’mat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.
~ Ibrahim – QS 14 : 7 ~
Bersyukur menurut definisi dari Bang Imaduddin, ialah memanfaatkan
karunia Allah untuk sebesar-besarnya kemakmuran ummat. Bersyukur bukanlah semata-mata
pelafalan kata “alhamdulillah”, namun bersyukur lebih merupakan tindakan
kongkrit untuk mengelola karunia Allah, dalam hal ini kekayaan alam, untuk
sebaik-baiknya kemakmuran ummat.
Tanda-tanda Gusti Allah untuk
Bangsa Indonesia
Adanya tanah yang subur, dimana tongkat bisa jadi
tanaman, bukankah ini merupakan tanda Allah agar kita lebih mendalami bidang
pertanian, perkebunan dan kehutanan dengan
mengembangkan agribisnis? Padang rumput yang hijau luas menghampar,
bukankah merupakan isyarat Allah bahwa kita harus bertumpu pada peternakan?
Sebagai negara kepulauan dimana 60% dari wilayah kita
adalah lautan, bukankah ini juga merupakan tanda-tanda Allah agar kita menekuni
dan mengandalkan keahlian kelautan, misalnya perikanan, pembuatan kapal, industri
hasil laut dsb?
Pemandangan alamnya yang indah yang ada dimana-mana
seperti danau, gunung berapi, pantai, air terjun dan hutan tropis dan lain
sebagainya, bukankah merupakan anugrah Allah di bidang pariwisata yang harus
kita kelola dengan sebaik-baiknya?
Hasil tambang yang ada di perut bumi seperti minyak-bumi,
emas, perak, uranium, timah, bauksit, biji besi dan lain-lainnya bukankah
merupakan ayat Allah agar kita mendalami ilmu tentang pertambangan dan
menganjurkan kita untuk menguasai teknologi penambangannya?
Kelihatannya kita benar-benar buta melihat ayat-ayat
Allah ini, padahal Allah telah menitahkan dalam Al-Qur’an agar senantiasa
membaca alam untuk kemaslahatan kita bersama.
Allah berfirman:
Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat
menetap
dan Dia
membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu
supaya kamu mendapat petunjuk.
~ Az-Zukhruf – QS 43 : 10 ~
Tidakkah mereka memperhatikan burung2 yang
dimudahkan terbang di angkasa bebas.
Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang yang beriman
~ An-Nahl – QS 16 : 79 ~
Coba kita tengok beberapa pengingkaran kita. Beribu
hektar hutan tropis di Kalimantan dibakar atau dibiarkan terbakar tanpa usaha
yang sungguh-sungguh untuk memadamkannya. Pembabatan hutan jalan terus tanpa
melakukan reboisasi.
Sebagai negara bahari, nelayan kita selalu kalah dengan
kapal trawl dan dibiarkan miskin dan bodoh. Industri perikanannya jauh
ketinggalan. Bikin kapal sendiri masih langka, padahal sudah lama kita
mengklaim bangsa kita sebagai bangsa bahari (masih ingat lagu “nenek moyangku
orang pelaut……..?”). Industri perikanan kita sebagian besar masih hanya sampai
tingkat pembuatan ikan asin belaka. Industri pengolahan ikan modern dapat
dihitung dengan jari dan sebagian kepemilikannya adalah orang asing (Jepang
& Korea).
Di Cianjur (terkenal karena berasnya) dan di berbagai
tempat lain, sawah subur berhektar-hektar akan dijadikan kompleks perumahan dan
pusat perdagangan. Di tempat lain, sawah dijadikan lapangan golf atau hotel.
Belum lagi sawah yang dibebaskan oleh pengembang namun dibiarkan menjadi lahan
tidur selama bertahun-tahun. Kita diberi tanah yang luas, tapi tetap ngotot
untuk bikin kondominium yang mewah. Kontradiktif sekali dengan keengganan kita
untuk membangun rumah-rumah sederhana di tanah yang luas itu untuk memenuhi
hajat ummat dengan kemampuan keuangan terbatas.
Sumber minyak bumi banyak, tapi kita tidak bisa mencari
lokasinya dan mengolahnya. Lebih baik dikerjakan oleh bangsa asing yang sudah
ahli. Hanya saja, masyarakat harus membeli “minyak jadi”nya, seperti bensin,
minyak tanah dsb dengan harga tinggi. Ibaratnya, kita tanam pisang, orang lain
yang memetik pisangnya, menggoreng dan menjual pisang gorengnya kepada kita.
Sungguh sikap yang bodoh dan merupakan pengingkaran
senyata-nyatanya, karena kita tidak mau menggunakan akal yang dikaruniakan
Allah swt kepada kita. Kita benar-benar khufur nikmat. Allah berfirman :
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman
dan bertaqwa,
pastilah
kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.
Tetapi merekan mendustakan ayat-ayat Kami.
Maka
Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.
~ Al-A’raaf – QS 7 : 96 ~
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan)
sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram; rezekinya datang kepadanya
dengan melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduknya) mengingkari
(kufur) nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian
kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh apa yang mereka perbuat.
~ An-Nahl – QS 16 : 112 ~
Allah telah menetapkan kehendaknya menurut
firman-firmanNya diatas. Yang benar-benar kita harapkan saat ini ialah agar
pemimpin bangsa dan pengelola negara ini, tidak buta membaca ayat-ayat Allah
yang jelas dan nyata ini. Jangan sampai lagi terulang kita menjadi ummat yang
tidak mensyukuri nikmatNya.
Masih ingat kisah Siti Hajar yang mondar-mandir mencari
air di tengah bukit tandus bebatuan untuk meminumi anaknya Ismail yang menangis
karena haus? Berkat perlindungan dan kebesaran Allah swt, akhirnya air memancar
dari batu-batuan. Siti Hajar sangat mensyukuri nikmatNya dan memelihara mata
air ini dengan baik.
Mata air itu, yang kini di kenal dengan sumur Zam-zam,
tetap terpelihara sepanjang peradaban manusia mulai dari Nabi Ibrahim as.
sampai saat ini. Pemeliharaan mata air itu merupakan suatu perwujudan dari
ungkapan rasa syukur manusia atas karunia Allah itu. Kita perlu meniru bangsa
Arab dalam hal bersyukur ini. Bangsa Arab mensyukuri pemberian Allah secara
konsisten, walau wujudnya hanya berupa mata air, sehingga air Zam-zam bisa
membawa berkah bagi berjuta-juta ummat muslim dari seluruh dunia.
Bangsa Indonesia seharusnya bisa belajar mensyukuri
pemberian Allah yang berupa kekayaan alam yang sedemikian banyak. Dari kisah
Siti Hajar itu, kita ambil hikmahnya bahwa Allah akan melimpahkan rizkiNya
setelah kita berikhtiar, berusaha tanpa kenal lelah, seperti Siti Hajar mencari
air yang nyaris mustahil di kegersangan tanah Arab.
Kita telah kurang keras berikhtiar dan kurang
bersungguh-sungguh memanfaatkan karunia Allah swt. Percuma bangsa kita punya
kekayaan alam, tapi kita tidak mau berpikir bagaimana memanfaatkannya untuk
kemaslahatan semua ummat, bukan untuk diri sendiri seperti yang terjadi
sebelumnya.
Nah, bagaimana mengenai diri kita sendiri sebagai
individu? Apakah kita benar-benar telah mengetahui kelebihan yang ada pada diri
kita, kemudian mensyukurinya dengan mengamalkan kelebihan itu untuk meningkatkan
amal saleh? Hal ini patut dan sungguh perlu kita renungkan!
Latihan bersyukur:
Uwes Al-Qorni dalam bukunya “60
Penyakit Hati” memberikan petunjuk bagi kita dalam melatih diri untuk
bersyukur. Berikut beberapa kiatnya:
1.
Bandingkanlah rezeki kita dengan rezeki orang yang berada di bawah kita,
dan bandingkanlah amal akhirat dengan amal orang yang di atas kita.
2.
Senantiasa mensyukuri nikmat sekecil apapun. Orang yang tidak mensyukuri
nikmat yang kecil, tidak akan dapat mensyukuri nikmat yang besar. Rasulullah
bersabda: “Orang yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit tidak akan dapat
mensyukuri nikmat yang banyak”
3.
Bersikap bijaksana dalam memahami ketentuan Allah; sebagai nikmat atau
sebagai bencana. Tujuannya agar kita tidak salah dalam menentukan tindakan:
bersyukur atau bersabar.
4.
Membiasakan mengingat kebaikan orang lain sekecil apapun, dan melupakan
kejelekannya sebesar apapun. Orang yang tidak dapat berterima kasih atas
kebaikan orang lain, tidak akan dapat mensyukuri nikmat dari Allah sebagaimana
sabda Nabi: “Orang yang tidak bersyukur kepada manusia, tidak akan dapat bersyukur
kepada Allah”
5.
Mengatur seluruh tindakan kita sesuai dengan etik Islam dan tata pergaulan
antara sesama, khususnya antara sesama muslim.
Akhirnya, marilah kita doakan agar kita dan para pemimpin
bangsa ini menyadari dan memperbaiki kesalahan dimasa lalu. Aamiin, Ya
Robbal’alamiin
Bagaimana
pendapat Anda?
Tulisan: H. R. Bambang Irawan
No comments:
Post a Comment