Menghormati
Yang Tidak Puasa?
12 tahun silam, saat saya baru lulus kuliah, saya sudah
menemukan konsep baru yang sangat membingungkan ini: Orang-orang berpuasa
diminta menghormati orang-orang yang tidak berpuasa. Maka, saat ramadhan
datang, apa salahnya jika tempat-tempat hiburan tetap buka, rumah makan tetap
beroperasi penuh, dsbgnya. Apa salahnya jika klub malam tetap beroperasi. Toh,
mereka juga mencari makan, nafkah dari bisnis mereka.
Saya membaca tulisan itu di milist (jaman itu belum ada media
sosial). Saya masih muda, masih tidak berpengalaman. Saat membaca tulisan
tersebut, aduhai, isinya masuk akal sekali. Benar loh, kan kita berpuasa itu
disuruh menahan diri, agar jadi lebih baik, masa’ kita akan tergoda saat
melihat warung buka, masa’ kita akan tergoda saat melihat tempat hiburan ada di
mana-mana? Full beroperasi. Kalau masih, berarti puasa kita nggak oke.
Itu logika yang masuk akal sekali. Tapi saya bersyukur, saya
tidak pernah membiarkan “logika” sendirian saat menentukan prinsip-prinsip yang
akan saya gigit. Saya selalu memberikan kesempatan mendengarkan pendapat lain.
Baik. Itu mungkin masuk akal, orang-orang berpuasa disuruh menghormati
orang-orang tidak berpuasa, tapi di mana poinnya? Apakah orang-orang yang
berpuasa mengganggu kemaslahatan hidup orang-orang tidak berpuasa? Apakah
orang-orang berpuasa ini punya potensi merusak? Sehingga harus ada tulisan,
himbauan, pernyataan:
"Kalian yang puasa, hormatilah orang yang tidak
berpuasa."
No way, man, itu logika yang bablas sekali. Saya tahu, ada
banyak razia penuh kekerasan dilakukan kelompok tertentu atas tempat-tempat
hiburan, warung-warung, dll. Tapi itu bukan cerminan kelompok besar muslim di
negeri ini. Kelompok besarnya, bahkan tidak suka dengan cara-cara penuh
kekerasan ini, pun tidak suka dengan kelompok ini.
Lantas siapa yang seharusnya menghormati?
Default dalam situasi ini adalah: ingatlah baik-baik, ramadhan
itu sudah ribuan tahun usianya, 1.437 tahun tepatnya. Bahkan perintah shaum,
itu hampir seusia manusia di bumi ini, agama-agama terdahulu juga memilikinya.
Kalau itu sebuah tradisi, maka dia lebih tua dibanding tradisi apapun yang
kalian kenal, silahkan sebut tradisinya, puasa lebih tua.
Maka, tidak pantas, manusia yang usianya paling rata-rata hanya
60 tahun, tiba-tiba mengkritisi puasa, memandangnya sebagai sesuatu yang
artifisial, tidak penting, dan sebagainya. Ramadhan adalah bulan paling penting
dalam agama Islam, jelas sekali posisinya.
Sama dengan sebuah komplek, itu komplek sudah 1.434 tahun punya
tradisi tidak boleh memelihara hewan peliharaan. Kemudian datanglah keluarga
baru, membawa hewan yang berisik sekali setiap malam. Siapa yang disuruh
menghormati? Wow, warga satu komplek yang disuruh menghormati keluarga dengan
hewan berisik?
Demi alasan egaliter, HAM, kesetaraan, kebebasan, dan omong
kosong lainnya. Kalian tahu, ketika orang-orang tidak punya argumen substantif
dalam hidup ini, maka senjata mereka memang hanya itu: kebebasan.
Amunisi paling mudah saat melawan agama adalah: kebebasan.
Hingga lupa, siapa sih yang over sekali menyikapi situasi ini?
Karena sejatinya, tidak ada pula yang menyuruh warung-warung
full tutup, warung makan cukup diberikan tirai saat bulan Ramadhan, semua
baik-baik saja. Itu lebih dari cukup. Lantas soal klub malam? Diskotik? Tempat
menjual minuman keras?
Kalian punya 11 bulan untuk melakukannya, diminta libur sebulan,
apa susahnya? 11 bulan orang lain menghormati kalian melakukannya, maka tiba
giliran 1 bulan, apa susahnya mengalah? Tidak perlu sampai ribut, sampai
berantem, sampai dirazia, cukup kesadaran diri saja. Tidak ada yang meminta
kalian tutup 12 bulan.
Kusutnya masalah ini, kadang yang mengotot sekali justeru
sebenarnya beragama Islam. Orang-orang yang beragama lain, sudah otomatis
menyesuaikan diri. Saya punya banyak teman-teman non Islam, saat mereka makan
siang, mereka dengan sangat respek minta ijin, bisa menempatkan diri dengan
baik.
Hampir semua agama itu punya ibadah yang harus dihormati. Di
Bali misalnya, saat Nyepi, mau agama apapun, semua orang diminta menghormati
Nyepi. Tidak ada alasan: kebebasan, boleh dong saya hura-hura saat Nyepi.
Saya tahu, silahkan saja jika kalian tetap punya tapi, tapi dan
tapi. Saya hanya mengingatkan: sekali orang-orang mulai terbiasa membolik-balik
logika, dalam urusan ini, hanya soal waktu, besok lusa akan ada yang bilang:
adzan di masjid itu mengganggu.
Kemudian orang-orang akan mengangguk, mengamini, benar juga ya,
kenapa harus teriak-teriak sih adzannya? Kenapa harus pakai speaker? Kan bisa
pakai SMS, miskol, dll. Itu pemeluk agama Islam kok bego banget, tidak tahu
teknologi.
Saat itu terjadi, maka silahkan tanggung dosanya, wahai kalian,
orang-orang yang bangga sekali dengan logika hidupnya. Bangga sekali dengan
kepintarannya berdebat, kalian –mungkin tanpa menyadarinya– telah memulai
menggelindingkan bola salju agar orang-orang lain mulai meninggalkan agamanya.
Terakhir, ada jutaan anak-anak kami yang baru belajar puasa
ramadhan ini, saat mereka pulang sekolah TK, SD, saat mereka habis-habisan
menahan haus dan lapar, maka jika kalian yang keblinger sekali pintarnya tidak
bisa melihat mozaik besar ramadhan, maka lihatlah anak-anak ini, mereka sedang
berusaha taat melaksanakan perintah agama–bahkan saat mereka belum tahu-menahu.
Hormatilah anak-anak kami ini. Jangan suruh mereka menghormati orang-orang yang
tidak berpuasa.
Copas dr tetangga................
"Menghormati yang Tidak Berpuasa"
Tulisan : Tere Liye
Komik : Pengen Jadi Baik
Tulisan : Tere Liye
Komik : Pengen Jadi Baik
No comments:
Post a Comment