Menuju sifat tawadhu
dan berserah diri di hadapan Allah
Bismillahirrohmanirrohiim
Penulis: H. R. Bambang Irawan
Bismillahirrohmanirrohiim
Saudara-saudara
yang dirahmati Allah SWT, betapa seringnya kita mengucapkan kalimat yang
mengagungkan Kebesaran Allah itu dalam sehari. Dalam setiap shalat, doa dan
dzikir kita ucapkan. Begitu seringnya sehingga ada kecenderungan pengucapannya
menjadi otomatis, tanpa meresapi atau menghayati apa yang kita ucapkan. Kita
kehilangan sensing tentang makna
Allahu Akbar karena indra kita sudah ter-conditioned
untuk melafalkannya tanpa diikuti oleh perasaan hati kita.
Bahkan ada orang
muslim yang mengucapkan Allahu Akbar ketika akan melaksanakan kemungkaran.
Kalau sudah begini hubungan kita dengan Allah SWT terasa beku, shalat kita
terasa tak khusyuk, bahkan bisa terputus. Bahkan kita terancam untuk mendapat
azab dari Allah SWT. Bagaimana kita mencegah ini terjadi? Bagaimanakah kita
mengembangkan diri kita sehingga setiap kali mengucapkan Allahu Akbar, akan
terasa suatu “aliran listrik” dalam dada ini?
Memang perlu kita
mengkondisikan diri kita bahwa betapa kecilnya kita dihadapan Allah Yang Maha
Besar, Sang Maha Pencipta. Satu cara untuk mengkondisikan diri kita semacam itu
adalah dengan bertafakur. Obyek tafakur kita adalah ciptaan-ciptaanNya yang ada
disekitar kita. Alam, seperti bumi dan langit, binatang besar kecil, phenomena
alam, manusia dan sebagainya.
Di dalam
Al-Qur’an terdapat banyak surah dan ayat yang mengingatkan kita untuk selalu
menggunakan akal kita (= bertafakur) tentang ciptaan-Nya. Coba Adi tekuni
surat-surat Yunus:24, Ar-Ra’d:3, An-Nahl:3-18,
44, 65-69, Ar-Ruum:20-27 dan Az-Zumar:43. Tafakur tentang kebesaran Allah
ini, akan lebih meresap bila dibarengi dengan pengindraan. Untuk menjelaskan
ini Papa akan memberikan beberapa contoh.
Seorang dengan
susah payah mencapai puncak gunung Bromo. Dengan terengah ia duduk di bibir
kawah Bromo untuk mengatur nafasnya kembali. Asap kepundan keluar dengan deras
dari kawahnya disertai bunyi gelegar yang keras dan menggaung yang seakan
berasal jauh dari dalam perut bumi.
Ia melihat ke
sekeliling, dan melihat hamparan laut pasir yang dibatasi oleh gunung-gunung
lain. Jauh di bawah sana, ia melihat turis-turis yang menaiki kuda sebesar
titik membentuk garis bak semut beriring. Diatas ia disinari oleh matahari yang
seolah menjadi lebih dekat. Ia merasa begitu kecil ditengah alam yang begitu
besar dan luas. Keheningan disekitarnya membuat ia termenung; “Ya Allah, betapa
kecilnya aku ditengah ciptaanMu yang hebat ini. Allahu Akbar” katanya seraya
menitikan air mata.
***
Sungguh kita
harus berterima kasih pada camera-man film dokumenter “Killing for Living” yang di beberapa waktu yang ditayangkan di salah
satu stasiun TV swasta. Camera-man mengabadikan kehidupan binatang-binatang
liar di alam bebas yang memangsa bintang lain yang memang menjadi makanan
sehari-harinya.
Kalau camera-man,
yang orang barat, mengabadikannya untuk penelitian dan ilmu pengetahuan, kita
bisa memanfaatkannya sebagai bahan tafakur. Ada satu footage dimana semut hutan yang jumlahnya ratusan ribu menempuh
jarak berkilo-kilometer, membentuk barisan panjang, menembus hutan, naik turun
pohon, menjelajahi tanah datar untuk kemudian memangsa sejenis serangga lain,
lalu hasil buruannya dibawa kembali kesarangnya setelah “dipanggul”
berkilo-kilometer. Hasil buruannya ini digunakan sebagai makanan untuk ratu
semut serta larva-larva muda yang kelak menjadi semut dewasa.
Sungguh
menakjubkan dunia hewan kecil ini. Mereka seakan-akan punya sistim untuk
mendeteksi mangsa yang letaknya sangat jauh bagi hewan sekecil itu. Lantas,
kemampuan mereka untuk mengorganisir diri dalam jumlah yang begitu besar,
bergerak serentak dalam barisan tanpa kehilangan arah, untuk kembali ke sarang
dengan sukses membawa makanan. Allahu Akbar. Maha Agung Sang Pencipta.
***
Satu lagi, coba
renungkan tentang diri kita sendiri. Renungkan tentang kejadian kita, mulai
dari kita tumbuh sebagai janin, bayi, berkembang menjadi remaja dan akhirnya
tua dan mati. Renungkan tentang kemampuan yang kita miliki. Tentang keahlian
kita. Tentang bakat yang ada pada kita. Tentang perasaan yang mewarnai hidup
dan sikap kita. Tentang kelebihan-kelebihan kita dibanding mahluk lain.
Pencipta “mahluk” ini pastilah seorang yang ke-jeniusannya luar biasa.
Seorang mahasiswa
kedokteran yang belajar anatomi dan ilmu faal memiliki lebih banyak kesempatan
untuk bertafakur tentang kesempurnaan tubuh manusia yang dibuat oleh Sang
Pencipta. Bertafakur tentang betapa
hebatnya Dia yang mencipta berbagai sistim dalam tubuh yang terdiri dari
berjuta-juta sel yang saling berkoordinasi untuk membuat badan ini tetap hidup
dan melaksanakan kegiatan sehari-hari. Allahu Akbar
***
Sehabis satu
shalat Jum’at di Masjidil Haram saat berhaji, saya dan Kang Diman ipar saya berada
di tingkat tiga masjid memperhatikan ribuan ummatNya melaksanakan berbagai
ibadah. Karena dari ketinggian maka kerumunan manusia tampak seperti semut. Di
dalam masjid terlihat jemaah yang begitu banyak itu melakukan tawaf
(mengelilingi Ka’bah), ada yang sa’i, ada yang hilir mudik saja, ada yang
shalat, berdoa dan ada pula yang katam Al Qur’an, bahkan ada yang tidak
melakukan apa-apa dan duduk melepaskan lelah dan berbincang-bincang dengan
sesama.
Di luar masjid saya
menyaksikan beribu-ribu orang yang baru datang atau justru akan meninggalkan
masjid. Di pelataran masjid terlihat kegiatan manusia yang luar biasa. Masya
Allah, kekuatan apa yang menggerakan sekian juta orang sekaligus dalam satu
ibadah akbar semacam ini?
Timbul suatu
perasaan yang aneh dalam diri ini yang berkata: “Alangkah agungnya rumahMu ya
Allah, didatangi berjuta-juta orang dalam kebaikan. Betapa banyaknya ummat
ciptaanMu yang berada dalam kekuasaan-Mu, ya Allah, dan betapa kecilnya aku
ditengah ummat ciptaanMu yang begitu banyak ya Allah. Semua ini karena
kehendakMu, ya Allah. Allahu Akbar”.
Jadi, kunci
sebenarnya adalah melatih diri kita untuk senantiasa merasa kecil dan tak
berdaya dihadapanNya atau pada setiap kali kita menyebut nama Allah.
Namun mengapa
kita harus melakukan ini semua, yaitu mengakui kebesaran Allah swt itu?
Pertama: agar kita sadar bahwa ada satu zat yang pasti akan melebihi kita, yakni
Allah subhanahu wa ta’ala, betapapun pandainya kita. Jangan mengira bahwa
dengan penguasaan ilmu, kita berarti bisa mengalahkan ilmu Allah. Para sarjana
yang telah berhasil meng-cloning
beberapa jenis ternak seperti Dolly si biri-biri hasil rekayasa genetika, belum
apa-apanya dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Allah swt.
Banyak orang yang
masih sering lupa bahwa pengalaman-pengalamannya di masa lampau tidak menjamin
keberhasilannya di masa yang akan datang, karena masih ada Allah yang Maha
Menentukan. Oleh karena itu ucapkanlah selalu Insya Allah dengan tulus ikhlas
bila meng-commit sesuatu.
Kedua: agar kita bisa tetap rendah hati pada saat kita memiliki kelebihan
dibanding orang lain, apapun jenis kelebihan yang kita miliki. Kalau kita
cerdas dan tampan, tak perlu kita pamer kecerdasan dan ketampanan. Kalau kita
diberikan ni’mat rizki dan harta lebih dari orang lain, tak perlu kita
menonjolkannya.
Kelebihan yang
kita miliki itu justru harus memperbanyak rasa syukur kita dengan makin taqwa
kepadaNya. Jangan seperti iblis yang tinggi hati. Karena merasa terbuat dari
api, ia merasa lebih mulia dari pada manusia yang diciptakan dari tanah,
sehingga ia berani menentang perintah Allah untuk sujud di hadapan manusia.
Mudah-mudahan
dengan meresapi makna Allahu Akbar dalam setiap shalat, do’a dan dzikirmu maka
sifat sombong dapat dihindari, suatu sifat yang sangat tidak disukai oleh Allah
subhanahu wa ta’ala. Amien ya Rabbal alamiin.
Bagaimana
pendapat Anda?
No comments:
Post a Comment