DAHSYATNYA
UBAN
Ternyata dalam rambut yang mulai beruban, menyimpan kedahsyatan yang banyak tak disadari. Apa gerangan kedahsyatan tersebut? Mari kita simak pemaparan di bawah ini.
Pertama, uban mengingatkan seorang akan dekatnya ajal.
Dalam Al Quran disebutkan,
أَوَلَمْ
نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ ۖ
فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِير
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup
untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada
kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi
orang-orang yang zalim seorang penolongpun” (QS. Fathir: 37)
Tahukah Anda, apakah yang dimaksud Sang Pemberi peringatan dalam
ayat di atas?
Ibnu Katsir rahimahullah, menerangkan dalam kitab tafsir beliau,
bahwa para ulama tafsir seperti Ibnu Abbas, Ikrimah, Qatadan, Ibnu ‘Uyainah dan
yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud Sang Pemberi peringatan dalam ayat di
atas adalah uban. (Tafsir Ibnu Katsir 6/542)
Karena lumrahnya uban muncul di usia senja. Jadilah uban itu
sebagai pengingat manusia bahwa ia berada dipenghujung kehidupan dunia, menanti
tamu yang pasti datang dan tak disangka-sangka. Nabi Muhammad
shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
أعمار
أمتي ما بين الستين إلى لسبعين، وأقلهم من يجوز ذلك
“Umur umatku di antara 60 ke 70 tahun, dan tidak banyak yang
melebihi daripada itu” (HR. Imam Tirmizi)
Kedua, uban menjadikan seorang tak lagi rakus terhadap dunia.
Munculnya uban membuat seorang sadar, bahwa keberadaannya dunia
ini tidaklah selamanya. Hanya sebentar bila dibandingkan kehidupan selanjutnya;
yaitu alam akhirat. Yang satu hari di sana sama dengan lima puluh ribu tahun di
dunia. Angan-angan kosongnya pun pupus. Ketamakannya terhadap kemilau harta
mulai berkurang. Ia lebih disibukkan oleh hal-hal yang pasti. Hari-harinya
menjadi lebih produktif untuk mempersiapkan bekal akhirat.
Sufyan Ats-Tsauri berkata,
الزهد
في الدنيا قصر الأمل، ليس بأكل الغليظ ولا لبس العباء
“Zuhud terhadap dunia akan menupuskan Angan-angan kosong. Ia tak
lagi berlebihan dalam hal makanan dan pakaian.”
Ketiga, uban akan menjadi cahaya di hari kiamat.
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا
تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا
كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَة
“Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang memiliki
sehelai uban, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari
kiamat nanti.” (HR.
Abu Daud 4204. Hadis ini dishahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib,
2091)
Dalam riwayat lain disebutkan,
أنه نور
المؤمن
“Sesungguhnya uban itu cahaya bagi orang-orang mukmin.”
Ka’b bin Murroh radhiallahu’anhu berkata,”Saya pernah
mendengar Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الإِسْلامِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang telah beruban dalam Islam, maka dia akan
mendapatkan cahaya di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi no. 1634. Dishahihkan oleh AL-Albany dalam shohih
Tirmizi)
Oleh karena itu, orang yang mencabut ubannya, ia akan kehilangan
cahaya di hari kiamat.
Keempat, munculnya uban akan mendorong seorang untuk lebih giat
beramal.
Uban menyadarkan orang-orang yang berakal untuk lebih semangat
dalam kebajikan. Membuatnya semakin peka terhadap hak-hak Rabnya dan hak-hak
sesama makhluk. Waktunya ia habiskan untuk kebaikan. ibadahnya menjadi lebih
baik dan sempurna.
Ibnu Abid Dun-ya meriwayatkan dengan sanadnya. Bakr bin Abdillah
Al-Muzani berkata,
إذا أردت أن تنفعك صلاتك فقل: لعلي لا أصلي بعدها
“Bila Anda ingin mendapat manfaat dari shalat Anda, maka
katakanlah pada diri Anda,” Barangkali setelah ini aku tidak akan shalat lagi.”
Kelima, uban akan memancarkap sikap tabah dan wibawa.
Rupanya uban membuat seorang lebih tampak tabah dan berwibawa.
Sikapnya tenang ketika berbicara, berbuat serta bermuamalah dengan orang lain.
Oleh karena itu, islam memerintahkan kepada kita untuk menghormari orang-orang
yang sudah tua.
Dari Abu Musa Al-‘Asy’ari radhiyallahu’anhu, dia
berkata,”Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ
مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ
“Sesunguhnya termasuk dari pengagungan kepada Alloh ialah
menghormati orang muslim yang sudah beruban (orang tua). (HR. Abu Dawud dari hadits Abu Musa
ra; hadits Hasan)
Yaitu dengan memuliakannya bila ia berkumpul dengan kita dalam
satu majelis, bersikap sopan dan santun kepadanya dan berusaha menjadi
pendengar yang baik ketika dia berbicara, serta mengambil faidah dari lika-liku
kehidupan yang telah ia lalui. (Lihat: ‘Aunul Ma’buud 13/192)
Dalam riwayat lain dijelaskan, dari Sa’id bin Musayyib, beliau
berkata:
كام
ابراهيم أول من ضيف الضيف وأول الناس كَانَ إِبْرَاهِيمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَوَّلَ النَّاسِ ضَيَّفَ الضَّيْفَ وَأَوَّلَ النَّاسِ اخْتَتَنَ
وَأَوَّلَ النَّاسِ قَصَّ الشَّارِبَ وَأَوَّلَ النَّاسِ رَأَى الشَّيْبَ فَقَالَ
يَا رَبِّ مَا هَذَا فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَقَارٌ يَا
إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ يَا رَبِّ زِدْنِي وَقَارًا
“Ibrahim adalah orang pertama yang menjamu tamu, orang
pertama yang berkhitan, orang pertama yang memotong kumis, dan orang pertama
yang melihat uban lalu berkata: Apakah ini wahai Tuhanku? Maka Allah berfirman:
kewibawaan wahai Ibrahim. Ibrahim berkata: Wahai Tuhanku, tambahkan aku
kewibawaan itu.” (HR.
Bukhori dalam Al-Adabul Mufrod 120, Imam Malik dalam Al-Muwatto’ 9/58)
Berangkat dari kedahsyatan-kedahsyatan di ataslah, kemudian
jumhur ulama (mayoritas ulama) menyimpulkan, bahwa hukum mencabut uban adalah
makruh. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah. Bahkan ada pula ulama yang menghukumi haram. Seperti Al-Baghowi
rahimahullah, beliau menyatakan,”Seandainya mau dikatakan haram karena adanya
larangan yang tegas mengenai hal ini, maka ini tidak mustahil. Tidak ada
bedanya antara mencabut uban pada rambut kepala maupun jenggot.” (red. Imam
Nawawi rahimahullah menukil pernyataan ini dalam Al-Majmu’)
Ibnu Muflih juga menyatakan, “Ada kemungkinan yang
menunjukkan bahwa mencabut uban itu hukumnya haram.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab: 1/292,
Al-Furu’: 1/131) Namun dalam masalah ini pendapat
yang lebih rajih -insyaAllah- adalah pendapat yang menyatakan makruh.
Wallahu a’lam bis showab.
No comments:
Post a Comment