EMPATI
Andy F Noya
Sebuah cerita inspiratif yg perlu menjadi perhatian kita
dan berharap dapat jadi contoh dalam kehidupan keseharian kita
Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran
cepat saji di kawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah
berkemas. Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas
karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani.
Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.
Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan
restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai
dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan. Saya
membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari.
Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja,
jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak
terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada.
Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya
terlalu asyik menyantap makanan.
Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan
tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan
sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja.
Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan
tersebut menjadi istimewa.
Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang
dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja
bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan,
tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah
bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.
Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam
berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan
tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor
oleh tumpahan remah-remah. Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.
Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang
berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan
sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa
makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang
pelayan sekalipun.
Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri
sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta
anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah
melakukannya. Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan
teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah ke luar
negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak
pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena
tenaga kerja mahal.
Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan
kita. Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa
menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya
akan besar sekali bagi para pelayan restoran.
Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang
punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk
membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena
setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah
di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah di situ.
Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak
sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan
sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan,
umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan.
Keteladanan kecil yang berdampak besar.
Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika
saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang
dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat
senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang
dijumpainya. Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak
orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.
Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku “Chicken Soup”, saya
kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di
belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan
merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia,
maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut
kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat
menyebar ke banyak orang.
Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu
orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda
puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada
orang-orang di sekitarnya.
Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa
mengucapkan kata “terima kasih” saat petugas jalan tol memberikan karcis dan
uang kembalian.
Menurut dia, kata “terima kasih” merupakan “magic words” yang
akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata “tolong” ketika kita meminta
bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.
Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus,
mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari
istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir
kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. “Sementara kamu kan
tidak mengejar setoran?” Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan
almarhum Romo Mangunwijaya. Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang
menyerobot seenak udelnya, saya segera teringat nasihat istri tersebut.
Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat
membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati
pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang
sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan
restoran.
Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah
membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak
membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan
kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.
Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa
banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika
membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga
apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang
membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di belakangnya
terbentur oleh pintu tersebut.
Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang
tidak memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari
hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang
juga.
No comments:
Post a Comment