MOTIVASI
DALAM BERIBADAH
Oleh M Husnaini
Mafhum bagi kita bahwa tujuan utama penciptaan manusia
adalah untuk beribadah. “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzaariyaat : 56). Ibadah di sini mencakup pengertian
mahdlah dan mustafadah, yaitu setiap perbuatan baik yang bermanfaat dan
diniatkan semata karena dan untuk Allah.
Kata Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilal Al-Quran, ibadah
merupakan al-wadhifah al-ilahiyyah, tugas yang diembankan Allah kepada manusia.
Jadi, manusia yang menjalankan ibadah, maka ia telah memfungsikan hakikat
penciptaannya. Sebaliknya, manusia yang melalaikan ibadah, berarti telah
mendisfungsikan hakikat penciptaanya. Ibarat kata, lampu dibeli untuk tujuan
penerangan. Ketika lampu tidak bisa lagi menerangi, berarti telah disfungsi.
Itulah analogi bagi manusia yang enggan beribadah.
Tetapi, motivasi (niat) menjadi unsur penentu dalam ibadah. Dan
motivasi ibadah setiap orang ternyata tidak pernah sama. Ada lima tingkat
motivasi ibadah.
●Pertama, IBADAH AL-MUKROHIN.
Ini adalah tingkat motivasi terendah. Pada tingkat ini, ibadah
hanya dipahami sebagai kewajiban. Ibarat anak SD yang mengerjakan PR, orang
beribadah bukan didorong dari dalam, melainkan karena paksaan dari luar. Malah
kerap sekadar untuk kepantasan. “...mereka tidak mengerjakan shalat, kecuali
dengan malas dan tidak pula menafkahkan harta, kecuali dengan rasa enggan”
(QS 9 - At-Taubah
: 54).
●Kedua, IBADAH AL-UMMAL.
Ibadah pada tingkat ini penuh vested interest. Ibarat seorang
kuli, orang rela bekerja siang dan malam karena mengharap upah. Digambarkan
Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Muslim, besok di hari kiamat ada tiga
kelompok orang yang menghadap Allah dengan segudang kebaikan, tetapi mereka
justru dilemparkan Allah ke neraka. Siapa mereka? Yaitu syuhada yang gugur di
medan juang demi status pahlawan, cerdik pandai yang sibuk mengajarkan ilmu
agar disebut ulama, dan orang berharta yang selalu berderma supaya dianggap
dermawan. Kebaikan mereka tidak berharga sama sekali di mata Allah. Sebagaima hadits
berikut:
“Saya pernah
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya manusia yang pertama kali
dihisab pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan
kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia
bertanya: ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku?
Dia menjawab: ‘Saya
berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.’ Allah
berfirman: “Kamu berdusta; sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku,
melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah
menyandang gelar tersebut.” Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan
dan dilemparkan ke dalam neraka.
Dan didatangkan
pula seseorang yang belajar al-Quran dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan
kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya:
‘Apa yang telah kamu perbuat?
Dia menjawab, “Saya
telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca al-Quran demi Engkau.”
Allah berfirman: “Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya
serta membaca al-Quran agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan
kini kamu telah dikatakan seperti itu, kemudian diperintahkan kepadanya supaya
dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.
Dan seorang
laki-laki yang di beri keluasan rizki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan
hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia
mengetahuinya dengan jelas.” Allah bertanya: “Apa yang telah kamu perbuat
dengannya?”
Dia menjawab, ‘Saya
tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut
di jalan yang Engkau ridhai.” Allah berfirman: ‘Dusta kamu, akan tetapi kamu
melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu
telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia
dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim dari Abu
Hurairah, Shahîh Muslim,
VI/47, hadits no. 5032)
●Ketiga, IBADAH AT-TUJJAR.
Inilah ibadah cara pedagang. Ibadahnya semata karena tergiur
imbalan lebih besar. Diceritakan, dalam suasana panas menyengat, Khalifah Umar
bin Khattab meminta segelas air. Saat air sudah terhidang, mendadak sang
khalifah menolak, sembari berkata, “Terima kasih. Aku tidak jadi minum, agar
kenikmatan yang disediakan untukku di akhirat kelak tidak berkurang”.
Terlepas dari kebenaran kisah ini, sikap Umar jelas menunjukkan
betapa ia ogah melakukan sesuatu demi menerima imbalan yang menyenangkan di
dunia. Khalifah berjuluk Al-Faruq itu teringat firman Allah, “Dan ingatlah
ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka. Kepada mereka dikatakan, kamu
telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan dunia dan kamu telah
bersenang-senang dengannya. Maka hari ini kamu dibalas dengan azab yang
menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan
karena kamu telah fasik” (Al-AhqAaf : 20).
●Keempat, IBADAH AL-MUTHI’IN.
Kualitasnya lebih bagus dari tiga tingkat sebelumnya. Motivasi
ibadah pada tingkat ini adalah ketundukan kepada Allah. Ibadah bukan lagi
karena paksaan dari luar, melainkan sudah tumbuh dari dalam. Bukan karena takut
ancaman atau mengharap imbalan, melainkan karena ingin “balas jasa” atas segala
nikmat dan karunia Allah kepada dirinya. Juga didorong keyakinan bahwa hikmah
dan manfaat ibadah akan kembali kepada diri manusia. Ikrar hatinya, “Sungguh
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sarwa sekalian
alam” (Al-An’aAm :
162).
●Kelima, IBADAH AL-MUTALADZIDZIN.
Inilah puncak motivasi ibadah seorang hamba. Pada tingkat ini,
ibadah tidak lagi untuk “balas jasa” apalagi karena tergiur pernik dunia. Ada
kelezatan ibadah yang tiada tara. Sekejap saja waktu senyap dari ibadah,
muncullah gemuruh rindu dan cinta yang menyesakkan dada. Ia telah keranjingan
ibadah kepada Sang Maha Segalanya.
Pasti inilah yang dirasakan Rasulullah. Beliau dijamin surga,
tetapi terus shalat sampai kaki bengkak. Juga Ali bin Abi Thalib yang begitu
menikmati shalat, sampai pernah minta agar anak panah yang menancap di badannya
dicabut ketika sedang shalat. Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya sekaligus satu
dari sepuluh sahabat yang mendapat garansi surga, bahkan ikhlas membagikan tiga
kantung berisi uang hasil keuntungan dagangnya kepada mereka yang membutuhkan.
Nah, dimanakah posisi kita dari kelima tingkat motivasi ibadah
di atas..?!
No comments:
Post a Comment