ROHINGYA, THE SPOILS OF IMPERIALISM
Oleh: Radhar
Tribaskoro (Alumni ITB) - 11 September 2017
Saya berpendapat kepedulian dunia atas nasib etnis Rohingya
adalah sangat normal, dan permintaan Uskup Desmond Tutu agar pemerintah Myanmar
mengakhiri tindak kekerasan itu adalah sangat wajar. Tindak kekerasan kepada
kaum yang lemah sangat mengusik rasa kemanusiaan. Siapapun-dimanapun orang
harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri tindak kekerasan itu.
Aung San Suu Kyi pasti mengerti prinsip di atas jauh lebih dari
orang kebanyakan, sebab ia peraih penghargaan Nobel untuk Perdamaian. Ia telah
berjuang dan menderita puluhan tahun demi menghidupkan prinsip tersebut. Jadi,
kenapa reaksinya seperti itu? Reaksi itu memberi kesan bahwa dunia tidak
memahami persoalan yang dia hadapi. Dunia sok menggurui!
Saya pikir kita perlu memahami isu Rohingya lebih mendalam,
termasuk bagaimana isu itu dilihat dari berbagai perspektif. Pemahaman tersebut
diperlukan agar kita bisa membentuk sikap secara lebih adil. Secara khusus saya
tertarik mempelajari isu Rohingya ini karena ada paralelisme dengan pengalaman
kita sendiri di Indonesia, misalnya ketika menyikapi isu minoritas (Cina) dan
komunisme (PKI). Kesejajaran itu saya kira terkait dengan pengalaman kedua
bangsa yang sama lahir dari puing reruntuhan kolonialisme dan imperialisme.
Akar Konflik Rohingya
Kasus Rohingya dan kasus Cina di Indonesia sama di mata saya.
Keduanya adalah produk sia-sia (spoils) dari imperialisme. Rohingya di Burma
(Myanmar) dan Cina di Indonesia pernah menjadi alat imperialis untuk menindas
kaum terjajah.
Inggris, seperti halnya kaum kolonialis lain, membutuhkan suatu
kelompok sosial membantunya mengelola wilayah jajahan. Mereka bisa menggunakan
kaum feodal lokal atau mempekerjakan orang dari sukubangsa yang lain. Orang
India membanjiri Rangoon sejak Inggris sepenuhnya menaklukan Burma pada tahun
1886. Dalam tempo setengah abad ibukota Burma itu akan didominasi oleh etnis
India. Inggris memanfaatkan etnis India untuk mengelola administrasi
pemerintahan, buruh kereta api, pelabuhan, pertambangan, perdagangan, bahkan
menjadi tentara bayaran. Sementara itu orang-orang Bengali (dulu termasuk etnis
India, sekarang Bangladesh) telah lebih dulu memasuki Arakan, suatu wilayah
memanjang di pesisir barat Burma sampai ke perbatasan Bangladesh, juga atas
dorongan Inggris yang mendudukinya setelah memenangkan Perang Burma-Inggris
Pertama tahun 1824.
Orang-oran Bengali di Arakan (belakangan menyebut dirinya
Rohingya), dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk mengembangkan
pertanian yang ditinggalkan oleh orang-orang Arakan (belakangan disebut
Rakhine) yang tidak sudi dijajah oleh Inggris. Seperti halnya Rangoon,
kebijakan kolonial Inggris ini menyebabkan populasi etnis Bengali di Arakan
membengkak 300% hanya pada beberapa tahun pertama. Belakangan dominasi pelayanan
publik, penguasaan ekonomi, peralihan penguasaan tanah dan membengkaknya
populasi India (Bengali) menjadi sumber konflik utama antara etnis Burma dengan
India, selepas Inggris gagal mengatasi invasi Jepang pada tahun 1942.
Pada dasarnya kondisi kolonialialisme dan imperialisme telah
menciptakan ketegangan dalam hubungan antar-etnis di Burma. Etnis pribumi benci
dan marah karena harus membayar suap kepada etnis india untuk mendapat layanan
pemerintah, mereka pun harus membayar mahal untuk produk kebutuhan pokok yang
dimonopoli oleh orang india, sementara ketika ketidak-puasan pecah pemerintah
Inggris mengirim tentara India (Gurkha) untuk menindas mereka, seringkali
dengan kekerasan.
Dendam dan kebencian mewarnai hubungan etnis Rohingya dan etnis
Burma sejak hampir 200 tahun terakhir. Entah berapa kali konflik diantara
keduanya meledak dalam kekerasan. Dalam semua konflik itu, terutama setelah
kemerdekaan 1948, etnis Rohingya paling menderita. Ratusan ribu terbunuh,
ratusan ribu mengungsi ke negara-negara sekitar.
Ketika Inggris bermaksud meninggalkan Burma, orang-orang India
harus memilih apakah tetap tinggal atau kembali ke India. Sebagian besar
memilih pulang ke India. Pada waktu itu etnis India telah menjadi penduduk
mayoritas di Rangoon, ibukota Burma. Jumlah mereka sekitar sejuta orang. Tanpa
kehadiran Inggris keberadaan mereka sangat rentan. Selama ini, mereka harus
hidup dalam bayangan kekerasan. Sepanjang 30 tahun terakhir kerusuhan etnis
anti-india meletus semakin sering, kerusuhan terbesar bisa memakan jiwa ribuan
orang. Mereka menjadi sasaran kebencian orang Burma terhadap imperialisme.
Orang Burma menganggap mereka sebagai antek penjajah, bukan orang orang Burma.
Mereka pun tidak menganggap Burma sebagai tanah air; India adalah tanah air (Tinker,
2014).
Jadi orang India di Rangoon memilih pulang ke negerinya ketika
Inggris tidak mampu mempertahankan Burma dari invasi Jepang. Lebih dari 500
ribu orang eksodus dalam long march meninggalkan Rangoon menuju india. Sebagian
lagi menggunakan jalur laut menuju Kalkuta. Long march itu menempuh perjalanan
hampir 1000 km menembus hutan lebat, sungai dan gunung. Hanya 400.000 orang
yang berhasil mencapai tujuan.
Namun orang Rohingya tetap tinggal.
Mereka mungkin tidak menghadapi masalah sekritis saudaranya di
Rangoon. Mungkin long march tidak diperlukan sebab Arakan dan India hanya
terpisah oleh aliran sungai Naf. Mungkin juga mereka sudah tidak punya lagi
tempat di kampung halaman. Atau orang Rohingya mempunyai cita-cita lain dan
merasa mampu mengatasi konflik dengan etnis asli Burma.
Rohingya berada di pihak Inggris ketika invasi Jepang, sementara
tentara Burma mendukung Jepang karena, seperti di Indonesia, Jepang menjanjikan
kemerdekaan untuk Burma. Inggris mempersenjatai Rohingya dan membentuk
V(olunteer)-Brigade beranggotakan orang-orang Rohingya. Namun bukannya
mempergunakan senjata itu untuk melawan Jepang, orang Rohingya menggunakannya
untuk menyerang desa-desa Arakan Budhis dengan alasan simpatisan Jepang. Orang
Burma masih mengingat Arakan Massacre tahun 1942 ketika bentrok antara orang
Rohingya di bawah V-Brigade dengan orang Arakan Budhis menyebabkan jatuhnya
50.000 korban di pihak Arakan Budhis. Pembantaian berbalik ketika Jepang
menguasai Arakan.
Karakter Konflik Rohingya
Karakter konflik Rohingya ditentukan oleh sedikitnya 3 skenario
politik yang dicanangkan oleh para tokoh Rohingya. Ketiga skenario berjalan
nyaris bersamaan. Skenario pertama adalah mendirikan daarul islam atau negara
Islam di Arakan. Arakan memang pernah menjadi protektorat Sultan Bengali tetapi
tidak pernah menjadi Islam. Raja Arakan senang berpakaian muslim seperti Sultan
Bengali dan memiliki struktur pengadilan persis pengadilan Islam, namun mereka
tetap beragama Budha.
Skenario negara Islam ini mendapat inspirasi dari Wahabi yang
sedang menguat waktu itu di Saudi Arabia. Kalau kita menengok kondisi di
Indonesia, pada periode yang sama, tahun 1830an, beberapa orang Minang
mengobarkan perang Paderi selepas mereka menjalankan ibadah haji. Gagasan di
balik perang tersebut adalah wahabisme yang sama.
Wahabisme di Arakan dijalankan oleh orang Rohingya dengan
mengadopsi cara hidup komunal Arab. Mereka mencoba berswasembada dengan
membikin komunitas mandiri di tanah-tanah pertanian. Para tuan tanah
mengumpulkan pekerja-pekerja di tanahnya, mereka membangun perkampungan,
memproduksi makanan sendiri, membuat sekolah sendiri, punya puskesmas sendiri,
dan berlatih perang. Jadi perang dan kekuatan bersenjata di belakangnya sudah
lama ada, jauh sebelum ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) berdiri.
Skenario politik kedua adalah memisahkan diri dari Burma. Pada
tahun 1947 ketika Pakistan akan berdiri tokoh-tokoh Rohingya meminta M. Ali
Jinnah (pendiri Pakistan) untuk memasukan Arakan sebagai wilayah Pakistan.
Jinnah menolak permintaan itu karena ia tidak ingin berselisih dengan Burma.
Kesempatan kedua muncul saat Pakistan Timur berperang untuk melepaskan diri
dari dominasi Pakistan Barat. Sayangnya, Rohingya memilih untuk berpihak kepada
Pakistan Barat. Maka ketika Pakistan Timur menang dan mendeklarasikan
berdirinya Bangladesh tahun 1971 tak ada simpati Bangladesh kepada orang
Rohingya. Sebaliknya pemerintah Burma semakin antipati, mereka menganggap
Rohingya separatis dan backstabbing dua kali. Gambaran kemarahan militer Burma
mungkin bisa dibandingkan dengan kemarahan Orde Baru kepada PKI yang juga
dianggap telah berkhianat dua kali.
Skenario politik ketiga adalah menuntut pemerintah Burma hak
sebagai warga negara yang sah dan diperlakukan seperti sukubangsa Burma
lainnya, misal Bamar, Karen, Rakhine, Mon, Shan dsb.
Tidak ada diantara ketiga skenario itu yang diterima oleh
pemerintah Burma. Skenario ketiga yang paling lunak pun ditolak dengan alasan
bahwa Rohingya tidak seperti suku-suku lain yang menjadi mayoritas di suatu
wilayah. Bahkan di Arakan, muslim Rohingya adalah minoritas dibandingkan dengan
budhis Arakan.
Sebaliknya pemerintah Myanmar menganggap bahwa Rohingya (berarti
penduduk wilayah Rohang atau Arakan) tidak ada. Rohingya adalah identitas
politik artifisial yang diciptakan tahun 1950an untuk mengklaim wilayah Arakan.
Aungsan Suu Kyi menegaskan kembali hal tersebut ketika utusan PBB menemuinya.
Dalam pandangan pemerintah Myanmar, orang Rohingya adalah orang
Bengali. Mereka imigran dari Bengali (sekarang Bangladesh), dan karena tidak
memiliki dokumen mereka dianggap imigran gelap.
Perspektif kedua pihak yang sangat bertentangan itu menjelaskan
mengapa pada tanggal 25 Agustus 2017 ARSA mengorganisir serangan kepada 30 pos
polisi, militer dan pengawal perbatasan di Rakhine (Arakan). Jelas juga mengapa
jawaban pemerintah Myanmar sangat keras dan tak peduli telah mengakibatkan
ratusan ribu pengungsi membanjiri Bangladesh.
Adalah menarik kalau kita renungkan betapa retorika pemerintah
Myanmar terhadap Rohingya tidak jauh berbeda dengan retorika kita kepada PKI.
"Mereka tidak bisa dipercaya. Selalu berbohong dan menipu. Mereka telah
berkhianat kepada republik. Berkali-kali !!" Hal yang tidak mengherankan
bila mengingat bahwa kita dan Myanmar sama harus menanggung sisa-sisa sia-sia
dari kolonialisme dan imperialisme.
Prospek Konflik Rohingya
Tidak seorang pun tahu apa yang bakal terjadi pada Rohingya.
Tetapi tidak seorang pun bisa menyangkal, termasuk Aungsan Suu Kyi, bahwa
bencana kemanusiaan telah menimpa Rohingya. Dengan cara bagaimana bencana itu
diakhiri dan bagaimana setiap langkah merupakan bagian dari sebuah solusi
permanen atas masalah Rohingya, itu persoalannya.
Sebagai langkah awal saya ingin menggaris-bawahi beberapa pokok
pikiran di bawah ini. Saya menyusunnya berdasarkan sudut pandang moral.
1. Masalah paling urgen, yaitu masalah kemanusiaan, harus
didahulukan. Kehidupan pengungsi di Bangladesh sangatlah sengsara. Di sini
mereka tidak boleh bekerja, bepergian, sekolah dsb. Bagi Bangladesh, Rohingya
sebuah dilema. Walau seetnis, mereka tidak menghendaki Rohingya. Ada kecelakaan
sejarah dalam hubungan Rohingya dengan Bangladesh, daya dukung ekonomi
Bangladesh yang sangat terbatas untuk menampung lebih sejuta orang Rohingya dan
masalah keamanan perbatasan di masa depan.
Inilah dilema stateless Rohingya: Burma mengusir mereka
sementara Bangladesh tidak bisa menerima mereka. Justru di kedua negara itu,
Rohingya terus-menerus menjadi korban pemerasan, penghinaan, perkosaan,
perampokan, pembakaran bahkan pembunuhan massal. Maka, bukannya berlebihan
kalau PBB mengatakan Rohingya adalah suku yang paling tidak dikehendaki dan
paling dipersekusi di dunia.
2. Fokus tekanan luar negeri hendaknya jangan hanya ditujukan
kepada Aungsan Suu Kyi. Pemerintahan sipil di Myanmar baru dimulai 2012, masih
sangat muda terutama mengingat sebagian besar kekuasaan ekonomi dan politik
masih dipegang oleh junta militer. Saya dapat menambahkan bahwa Suu Kyi bukan
faktor menentukan. Dalam kaitan integritas (persatuan dan kesatuan) negara,
junta militer tetap memegang kekusaan yang nyaris absolut. Posisi itu telah
mereka genggam selama hampir 70 tahun.
Berbeda dengan Indonesia, kekuatan politikus dan intelektual
tidak terlalu berarti dibanding militer. Hal itu terkait dengan kontribusi
militer, dipelopori oleh Thirty Comrades, yaitu sekelompok perwira muda
progresif dipimpin ole Aungsan (ayah Suu Kyi), yang sangat signifikan atas
kemerdekaan Burma. Perlu pula ditambahkan, di masa lalu Tatmadaw tidak sungkan
menarik komitmennya terhadap demokrasi dan melancarkan kudeta dengan alasan
menjaga integritas negara.
Karena itu sasaran dialog dan lobby dunia internasional
sebaiknya perlu juga ditujukan kepada Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar).
Bukankah untuk menurunkan tingkat kekerasan dan kebrutalan di lapangan para
komandan lapangan harus diajak bicara? Selain itu dialog juga perlu dilakukan
kepada kaum Rakhine Budhis. Merekalah yang selama hampir dua ratus tahun
terakhir berhadapan head to head dengan Rohingya. Dendam dan kebencian kepada
Rohingya terutama menggumpal di kalangan mereka ini. Dalam hemat saya, bila
Rakhine Budhis dan junta militer telah terbuka hatinya tidak terlalu sukar bagi
Suu Kyi untuk mengambil kebijakan mengakhiri penderitaan Rohingya.
3. Solusi politik tetap harus ditemukan karena dari sanalah kita
berharap penderitaan Rohingya bisa dihentikan. Inti dari solusi itu adalah
menyingkirkan the spoils of imperialism yaitu dendam dan kebencian. Dari sana
kita berharap hubungan antar-manusia dan antar-etnis di Myanmar mengalir secara
wajar. Dari sana kita berharap Rohingya bersama dengan suku-suku Myanmar
lainnya dapat berkontribusi untuk Myanmar yang makmur dan adil. Sebelum
mencapai maksud tersebut sangat penting meyakinkan pemerintah Myanmar bahwa
ethnic cleansing adalah brutal dan tidak bisa diterima dunia. Myanmar akan
kehilangan banyak peluang bila terus menjalankan kebijakan itu.
Tentu saja tidak mudah menghilangkan dendam dan kebencian yang
telah berumur ratusan tahun. Ekspresi umat Budha Myanmar kepada Rohingya yang
begitu keras, jauh berbeda dengan apa yang kita ketahui selama ini, menunjukkan
bahwa jalan itu sangatlah berat. Tetapi bukankah kewajiban negara untuk bekerja
berdasarkan akal sehat? Para pemimpin Myanmar harus menyadari bahwa tidak
mungkin mereka membunuh atau mengusir satu juta orang tanpa membuat dunia
mengarahkan kepalannya kepada mereka. Tidak mungkin pula hal itu dilakukan
tanpa mengusik hati-nurani bangsa Myanmar sendiri, kini atau nanti.
Pada tingkat yang paling dasar, solusi politik itu bermakna
pengakuan atas kewarganegaraan orang Rohingya. Status stateless Rohingya harus
diakhiri.
4. Terus terang, selama saya menulis artikel ini saya tergoda
untuk mengatakan, "Belajarlah dari Indonesia bagaimana memperlakukan
minoritas." Secara moral, para bapak bangsa kita telah meletakkan fondasi
yang benar, yaitu meletakkan keberagaman sebagai kekayaan. Konstitusi dan hukum
kita pun telah didesain dengan perlindungan maksimal atas hak-hak minoritas.
Tetapi apakah kita telah memiliki hubungan antar-etnis dan antar-agama yang
berkeadilan dan harmonis? Ternyata pihak majoritas maupun minoritas sama
menyatakan tidak puas. Lantas, apa yang salah?
Pertanyaan ini menghentikan niat saya untuk menyombongkan diri
sendiri. Walau saya tahu orang Myanmar sangat ramah, saya khawatir di belakang
punggung mereka menertawakan saya.
Penutup
Apa yang saya sampaikan di atas pada dasarnya hanyalah sebuah
sikap moral. Dalam tingkatan praktis, moralitas berarti daftar keinginan.
Ketika daftar itu dinyatakan tidak lantas semua masalah terkait
keberadaan Rohingya akan berakhir. Antara keinginan dengan kenyataan terbentang
jurang yang lebar.
Dulu ketika muda saya senang sekali mengutip Tan Malaka,
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Saya
membutuhkan kemewahan itu agar memiliki sense of direction, memiliki harapan.
Saya masih belum mau bagian muda dari diri saya itu menghilang sekarang. Namun,
sekalipun kita tahu mawar lebih harum daripada kubis jangan kemudian
beranggapan bahwa sup akan lebih nikmat bila mawar menggantikan kubis.
Perjalanan seorang idealis tidak berbeda dengan orang mengupas
bawang. Ia menyingkap lapis ilusi untuk menemukan lapis ilusi yang baru. Burma
telah memulainya dengan sangat baik. Aung San, bapak bangsa Burma sekaligus
bapak Aungsan Suu Kyi, memiliki tujuan yang jelas bahwa Burma yang bersatu
haruslah melibatkan semua etnis yang ada. Katanya:
"Bangsa adalah sebuah kolektivitas orang-orang dari manapun
asal etnisnya, yang berhubungan erat, yang memiliki kepentingan bersama,
berbagi kesedihan dan kegembiraan, di saat-saat bersejarah yang membutuhkan
rasa kesatuan. Sekalipun ras, etnis, agama dan bahasa berbeda, namun hasrat dan
keinginan untuk bersatu dalam suka dan duka akan mengikat kebersamaan dan
menjadikan semuanya sebagai satu bangsa dengan kesediaan membelanya sepenuh
jiwa."
Aung San telah menuliskan pernyataan moral yang indah. Setelah
70 tahun merdeka dan ilusi demi ilusi tersingkap, kita senang menyaksikan Burma
masih tetap setia kepada garis yang telah dituliskan pendirinya. Mungkin tidak
sedikit orang melecehkan mengingat realitas saat ini. Ya, pasti ada orang
senang melihat dari sisi gelap. Saya lebih senang melihat dari sisi terang,
idealisme adalah visi yang tengah diwujudkan. Burma tidak gagal, hanya kurang
berhasil.
Referensi:
Akhter, S., & Kusakabe, K. (2014). Gender-based Violence
among Documented Rohingya Refugees in Bangladesh. Indian Journal of Gender
Studies, 21(2), 225–246. http://doi.org/10.1177/0971521514525088
Ansel, S. A., Mahāwitthayālai Chīang Mai. Regional Center for Social
Science and Sustainable Development. (n.d.). Stateless Rohingya... running on
empty.
Brooten, L. (2015). Blind Spots in Human Rights Coverage:
Framing Violence Against the Rohingya in Myanmar/Burma. Popular Communication,
13(2), 132–144. http://doi.org/10.1080/15405702.2015.1021466
Burma. (2005). The Development of a Muslim Enclave in Arakan
(Rakhine) State of Burma (Myanmar), 1–25.
Carey, P. (2008). Burma: The Challenge of Change in a Divided
Society, 1–279.
Cheesman, N. (2017). How in Myanmar “National Races” Came to
Surpass Citizenship and Exclude Rohingya. Journal of Contemporary Asia, 00(00),
1–23. http://doi.org/10.1080/00472336.2017.1297476
Chatty, D., & Finlayson, B. (2010). Dispossession and
displacement: forced migration in the Middle East and North Africa.
Routledge. http://doi.org/10.4324/9781315556925
Cheung, S. (2012). “Migration Control and the Solutions Impasse
in South and Southeast Asia: Implications from the Rohingya Experience.”
Journal of Refugee Studies, 25(1), 50–70. http://doi.org/10.1093/jrs/fer048
Farzana, K. F. (2015). Boundaries in Shaping the Rohingya
Identity and the Shifting Context of Borderland Politics. Studies in Ethnicity
and Nationalism, 15(2), 292–314. http://doi.org/10.1111/sena.12142
---. Memories of Burmese Rohingya Refugees. Springer.
Gravers, M. (1994). Nationalism as Political Paranoia in Burma:
An Essay on the Historical Practice of Power. (Vol. 53). Curzon Press. http://doi.org/10.2307/2059806
Islam, N. (1999). Islam: The Rohingya Problem - Google Scholar.
Arakan Rohingya National Organisation (ARNO).
Kingston, L. N. (2015). Protecting the world“s most persecuted:
the responsibility to protect and Burma”s Rohingya minority. The International
Journal of Human Rights, 19(8), 1163–1175. http://doi.org/10.1080/13642987.2015.1082831
Kipgen, N. (2013a). Addressing the Rohingya Problem. Journal of
Asian and African Studies, 49(2), 234–247. http://doi.org/10.1177/0021909613505269
Kipgen, N. (2013b). Conflict in Rakhine State in Myanmar:
Rohingya Muslims' Conundrum. Journal of Muslim Minority Affairs, 33(2),
298–310. http://doi.org/10.1080/13602004.2013.810117
Kironska, S. C. Y. K. K. (2016). The Rohingya Oxymoron:
Stateless People Leaving their Home Country, 1–28.
Kosem, S., & Saleem, A. (2016). Religion, Nationalism, and
the Rohingya's Search for Citizenship in Myanmar. Muslim Minority-State
Relations: Violence, 3(2), 211–224. http://doi.org/10.1007/978-1-137-52605-29
Lancet, T. (2016). Recognising the Rohingya people. The Lancet,
388(10061), 2714. http://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)32458-8
Lee, R. (2014). A Politician, Not an Icon: Aung San Suu Kyi's
Silence on Myanmar's Muslim Rohingya. Islam and Christian–Muslim Relations,
25(3), 321–333. http://doi.org/10.1080/09596410.2014.913850
Myint-U, T. (2004). The Making of Modern Burma, 1–294.
Rieffel, A. (2010). Myanmar/Burma. Brookings Institution Press.
Thawnghmung, A. M. (2011). Beyond armed resistance:
ethnonational politics in Burma (Myanmar). Policy Studies.
No comments:
Post a Comment