KUTEMUKAN LAILATUL QADR
Kutemukan Lailatul Qadr di Way Nipah
(Sebuah
Cerpen oleh haridewa)
Setelah menempuh
perjalanan panjang selama nyaris 24 jam, akhirnya sampai juga kau pada desa
tujuanmu, Way Nipah. Meski temaram sinar jingga sudah mulai memenuhi langit
barat, namun kau masih mampu menikmati pemandangan yang tak jauh berubah
dibanding beberapa puluh tahun lalu ketika terakhir kau berkunjung ke desa ini.
Pohon-pohon kelapa bebaris rapi di sepanjang pinggir aspal seolah menjadi
pembatas wilayah darat dan lautan. Dedaunannya bergoyang ritmis mengikuti
hembusan angin malam, ibarat penari perut menggoda para penontonnya. Beragam
kapal kecil nelayan terparkir tak beraturan di sungai kecil muara. Rumah-rumah
penduduk beratapkan seng juga dibangun tanpa aturan, berserakan sepanjang
pantai.
Bus engkel yang
kau tumpangi mesti berhenti di ujung jalan itu, karena jalanan beraspal yang
bisa dilalui mobil memang benar-benar berakhir di tempat tersebut. Jalanan
selanjutnya menuju daerah sekitar hanya berupa jalan tanah berpasir yang cuma
cukup untuk kendaraan beroda dua.
Agak aneh memang
menyaksikan ujung dari sebuah jalan. Kau merasa seolah sedang berada di ujung
dunia. Secara ironis situasi ini terasa menyindir dirimu. Bisikan halus namun
tajam berujar di antara dua telingamu, "Habislah
kau. Inilah akhir dari perjalananmu!"
Tergeragap, kaget
pada ilusimu sendiri menyerapmu pada kisah panjang beberapa tahun belakangan
ini.
Dimulai dari
pengembaraanmu ke ibu kota yang menghantarkan pada sebuah kedudukan strategis
di badan pemilihan umum nasional. Setelah magang selama beberapa bulan, Dewi
Fortuna berpihak kepada dirimu, karena entah karena satu alasan apa, bakal
calon ketua umumnya tetiba saja dirundung petaka dan masuk penjara. Maka selaku
sekretaris jendral, dirimulah yang kemudian berpeluang menduduki posisi ketua
tersebut.
Hal ini nyaris
sama dengan peristiwa beberapa waktu silam ketika dirimu terpilih menjadi ketua
umum sebuah organisasi mahasiswa, padahal kau sadar bahwa dirimu belum layak
karena belum mengikuti LK IV (Latihan Kepemimpinan). Dewi Fortuna jualah yang
memaksa nasibmu untuk berkuasa waktu itu.
Dan kemudian Dewi
Fortuna kembali memainkan peran ketika dirimu terpilih secara aklamasi untuk
memimpin sebuah partai politik dimana dewan pelindungnya tengah menjadi kepala
negara.
Wow, sebuah pencapaian karir yang luar biasa
pesat. Ibarat meteor yang melesat ke bumi tanpa mampu dibendung atmosfer
lagi.
Dan masih tergambar
jelas di pelupuk matamu, bahwa semua pencapaian tadi telah mengorbankan
nuranimu yang paling dalam. Menggerus lantak semua petatah petitih orangtua
ketika dirimu masih kecil dulu. Haq atau bathil sudah bukan pedulimu lagi, yang
penting tujuan dunia tercapai.
Kau tahu alkohol
itu haram, namun kalau proses meluluskan sebuah tujuan membutuhkan alkohol,
maka semua alkohol itu menjadi harum saja adanya. Kau sadar bahwa membunuh itu
sangat keji, namun ketika ada lawan politik yang selalu menggelitik, tanpa
segan kau akan melumatnya menjadi sebuah titik.
Tanpa mampu kau
kendalikan lagi, semua jenis tipu daya, telikung menelikung kawan serta lawan
telah kau praktekkan. Tak kau sadari bahwa bumi ini terus berputar. Bahwa hukum
tebar-tuai tetaplah berpendar. Dan kini karmapun tak mampu kau elak lagi.
Usai adzan maghrib
sore kemarin, kau mengendus kabar bahwasanya kasus mega korupsi pembangunan
wahana olah raga di bilangan Jawa Barat telah terbongkar. KPK telah menangkap
beberapa pejabat berwenang, termasuk bendahara partai yang kau pimpin. Kau
sadar, sangat sadar bahkan, jika sebentar lagi adalah giliranmu untuk
digelandang menjadi pesakitan kasus mega korupsi ini.
Maka kau bergegas,
hanya membawa satu tas ransel saja yang berisi beberapa dokumen penting serta
beberapa lembar pakaian, menuju terminal antar kota. Kau yakin semua bandara
serta pusat transportasi utama pasti telah berpencar petugas gabungan yang akan
dengan sigap mengamankanmu, maka melarikan diri dengan bergerilya adalah
satu-satunya pilihan yang tersisa.
Kau naik bus
menuju terminal penyeberangan Merak, untuk kemudian menyeberang naik kapal
RORO, bejubelan dengan ribuan orang yang mulai menyemut pulang kampung
menjelang lebaran. Dari pelabuhan Bakauheni, kau lanjut menumpang bus
tigaperempat menuju terminal Raja Basa, kemudian berganti dengan bus engkel,
dan sampailah kau di sini.
***
Kau mengenal
daerah ini ketika menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) beberapa puluh
tahun yang lalu. Terletak sekitar 150 km arah barat laut Bandar Lampung, Way
Nipah merupakan bagian kecamatan Pematang Sawa, Kabupaten Tanggamus.
Awalnya kau sempat heran kenapa kecamatan itu bernama pematang sawa, karena
kenyataannya hampir tidak kau jumpai sawah di sana. Mungkin leluhur daerah ini
dahulunya mendamba bentangan sawah, sehingga melakukan afirmasi dengan nama
kecamatan tadi.
Way Nipah
merupakan desa terakhir yang bisa ditempuh menggunakan mobil. Desa-desa lain di
balik sebuah bukit yang tinggi itu hanya bisa dilalui oleh sepeda motor.
Setelah melewati beberapa tanjakan maut dan jurang yang terjal terdapat
perempatan dari jalan tanah merah untuk menuju ke Tampang, Karang Brak dan
Teluk Brak jika mengambil jalan lurus, sedangkan jika berbelok ke kanan, maka
kita akan sampai ke desa Pesanguan dan Way Asahan.
Hanya berselang 1
kilometer dari perempatan tersebut terdapat daerah hutan lindung TAMAN
NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN, yang konon kabarnya merupakan sarang serta
kuburan rahasia gajah Lampung. Dengan sulitnya rute menuju ke wilayah ini, maka
ini adalah sebuah tempat bersembunyi yang ideal bagimu.
***
Sangat beruntung
bagimu karena selain tidak berubahnya lingkungan desa ini, demikian juga
suasana kekeluargaan warganya. Berbekal nama tetua desa tempat kau mondok saat
KKN dulu, kau diterima menjadi tamu kehormatan di rumah kepala dusun yang
tinggal di seberang surau. Paling tidak malam itu kau bisa tidur dengan tenang,
sebelum esok kau akan mulai menghilang ke tengah hutan lindung.
Tengah malam kau
terjaga dari tidur pulasmu. Seolah ada yang membangunkan, kelopak matamu
terbuka saja dengan sendirinya. Badanmu terasa sangat segar. Belum pernah kau
merasa sesegar ini, semenjak beberapa tahun belakangan ini. Kau lihat jarum
pendek jam tanganmu berada di angka 2. Itu artinya kau tidur baru sejenak,
namun mungkin inilah kualitas tidur terbaik yang pernah kau miliki.
Sayup namun pasti
telingamu mendengar alunan merdu lantunan ayat suci Al Quran. Suaranya mirip
biduanita sebuah cafe yang sering kau datangi, namun syahdunya mampu
menghanyutkan melodi kalbumu yang hampir membatu.
"Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran
ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah. Melainkan sebagai peringatan
bagi orang yang takut (kepada Allah). Diturunkan dari Allah yang menciptakan
bumi dan langit yang tinggi, (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di
atas 'Arsy. Milik-Nya-lah apa yang ada di langit, apa yang di bumi, apa yang
ada di antara keduanya[6] dan apa yang ada di bawah tanah. Dan jika engkau
mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui rahasia dan yang lebih
tersembunyi. (Dialah) Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia,
yang mempunyai nama-nama yang terbaik"
Entah mengapa
gendang telingamu serasa digedor oleh alunan merdu tersebut. Tulang belulangmu
seperti remuk dan dadamu terguncang. Tanpa terasa airmatamu mengalir deras
laksana air bah Nabi Nuh yang mampu meluluhlantakkan sesiapa saja yang
mengingkari kebenaran Nya. Meski setengah menebak, lamat-lamat kau
mengingat, itu adalah surat Thaha 1-8.
Kau jadi teringat
guru ngajimu yang bertutur tentang kisah Umar bin Khatab
Suatu hari Umar
dalam api kemarahan, ia membawa sebilah pedang untuk menumbangkan kepala
Rasulullah, tetapi di persimpangan jalan ia bertemu dengan Nua’im bin Abdillah
yang mengatakan, bahwa ia haruslah memenggal kepala adik perempuannya dahulu,
sebelum membunuh Nabi, karena adiknya telah memeluk Islam
Merasa keluarganya
telah ternoda dengan ajaran baru, Umar langsung pergi ke rumah adiknya itu
dengan amarah meluap dan mendapati adiknya sedang membaca Alquran.
Bertemu dengan
sang adik, Umar langsung memukulnya. Saat tetes darah mengucur deras dari
kepala adiknya, ia merasa bersalah dan meminta maaf, untuk menebus kesalahan
itu ia lalu meminta adiknya membacakan apa itu Alquran di hadapannya.
Begitu dibacakan
awal surat Thaha tersebut, seluruh tubuhnya bergetar, tulang belulangnya
seperti langsung remuk dan tak berdaya. Pedangnya pun terjatuh ke tanah.
Dadanya terguncang.
Umar tahu, bahwa
kata-kata itu bukanlah kata-kata biasa, keindahannya amat melampaui puisi mu’allaqat yang digantung di
dinding Kabah, atau puisi muhadzabat
yang ditulis dengan tinta emas di pintu gerbang kota.
Maka perangai yang
menyeramkan sebelumnya tetiba saja berubah menjadi lemah lembut, ketika Umar
mendengar kalam Ilahi tersebut.
***
Masih dengan dada bergemuruh
dan menahan isakan, kau keluar dari kamar pondokanmu dan mencari asal suara
merdu yang sangat tartil tadi.
Malam itu angin
terasa sangat tenang. Hawanya penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga
tidak begitu dingin. Kau lihat bulan berukuran setengah nampan, tersembul malu
di antara gumpalan awan cirro cumulus.
Laut seolah membeku sehingga tak terdengar sedikitpun suara debur
ombaknya.
Hatimu serasa
diaduk-aduk, campur baur antara syahdu, sedih, gemetar, juga gamang. Surat yang
telah menghancurkan kerasnya hati seorang preman di jaman Rasulullah itu kini
tengah mengebor dinding pertahanan ego duniamu. Satu sisi dirimu ingin segera
menghilang menuju hutan lindung, sementara sisi lainnya bersikukuh untuk
meneruskan menikmati lantunan kalam Ilahi tersebut.
Rupanya
pertarungan bisu di dasar kalbumu dimenangi oleh sisi kedua. Nyatanya kakimu
terseret pelahan menuju surau, daun telingamu bergerak-gerak menajamkan fungsi
auditorinya demi menderes lantunan merdu yang kian menghipnosis itu.
Kau lihat pintu
surau terkuak sedikit, mengirimkan sebuah bayangan hitam sedang duduk khusyuk
dengan posisi tahiyat. Tak sabar kau memasuki surau itu dan tercium aroma
stroberi parfum aigner yang sangat
kau kenal. Sesosok wanita mengenakan gamis hitam
dan pasmina hitam menengok ke arah pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh"
Kau sangat
terkejut begitu mengenali seraut wajah cantik dalam balutan busana hitam tadi.
Saking terkejutnya sampai lidahmu kelu dan tak sanggup membalas ucapan
salamnya. Ternyata dia memang biduanita cafe yang biasa kau datangi bersama
kolega-kolega politikmu. Perasaanmu bergeser menjadi cemas, takjub, bingung dan
sedikit menyisakan rasa syahdu itu.
"Sssiappa sebenarnya Anda?", akhirnya tercetus juga tanya itu dari
mulutmu. Wanita tadi beringsut dari duduk tahiyatnya, beranjak menghampirimu,
dan menjawab tanyamu, "Perkenalkan
nama saya Lailatul Qadr Pak. Saya dari KPK dan bertugas membawa Anda kembali ke
Jakarta!"
Dengan sigap
wanita tadi mengeluarkan borgol dari balik gamis hitamnya, dan sebelum kau
sadar apa yang sedang terjadi, di tanganmu sudah terpasang gelang pesakitan
tersebut.
Tanjung Karang, Ramadhan hari ke 27 1429 H
No comments:
Post a Comment