SEBUTIR KURMA PENGHALANG DOA
Usai
menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke mesjidil Aqsa.
Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat
mesjidil Haram.
Setelah
kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak didekat
timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan
memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa.
Empat
bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah
tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa
khusuk sekali.
Tiba
tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu,
Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu
dikabulkan ALLAH SWT,” kata malaikat yang satu.
“Tetapi
sekarang tidak lagi. doanya ditolak karena 4 bulan yang lalu ia memakan sebutir
kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat mesjidil haram,” jawab
malaikat yang satu lagi.
Ibrahim
bin Adham terkejut sekali, ia
terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin
amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir
kurma yang bukan haknya. “Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar.
Ia
langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual
kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Begitu
sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak
menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya
membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang ?” tanya
ibrahim.
“Sudah
meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang
kurma” jawab anak muda itu.
“Innalillahi
wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan?”.
Lantas Ibrahim menceritakan peristiwa
yang dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah” kata Ibrahim setelah bercerita,
“Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir
kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”.
“Bagi
saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan
saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama
kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.”
“Dimana
alamat saudara-saudaramu? Biar saya temui mereka satu persatu.”
Setelah
menerima alamat, Ibrahim bin Adham pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga.
Semua setuju menghalalkan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim.
Empat
bulan kemudian, Ibrahim bin Adham sudah berada di bawah kubah Sakhra. Tiba tiba
ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap-cakap. “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak
gara-gara makan sebutir kurma
milik orang lain.”
“O,
tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari
ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali
dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang
ia sudah bebas.”
Luar
biasa. Cerita ini seolah menampar kita smua. Jangankan sebutir kurma...mungkin sudah tidak terhitung berapa banyak hak
orang lain yang kita rebut selama ini? Dengan menghalalkan segala cara kita berbisnis, menggarap
proyek, berpolitik, berkuasa untuk mendapatkan materi. Setelah materi di tangan dengan tanpa sadar kita menganggap itu hak kita
rizki kita. Kalau sebutir kurma saja membuat doa terhalang, bagaimana dengan
puluhan juta, ratusan juta bahkan milyaran
uang yang kita tilap selama ini?
Wajar
kalau akhirnya kita jauh dari Allah. Sulit menerima hidayah.
Berani menentang aturan Allah. Mudah menghalalkan segala cara. Mudah berbohong. Tidak malu ingkar janji. Kenapa? Karna harta yang masuk
perut kita terlalu kotor keadaannya. Wajar anak2 nakal,
suami/istri ribut, penyakit banyak, sering ditipu, keluarga galau. Mungkin juga
karna harta yang kita anggap rizki itu sebenarnya bukan hak kita.
Harta "penghalang" doa yang membuat doa2 kta tidak sampai ke langit. Wallahu
a'lam bi showab
No comments:
Post a Comment