Joni Hermana - Rektor ITS 10 Desember 2017
Jerusalem, atau yang juga dikenal dengan nama Al-Quds, menjadi topik pembicaraan hangat akhir-akhir ini, terutama setelah Trump secara terbuka menyampaikan pengakuannya sebagai Ibukota Israel. Pernyataan yang menyulut kemarahan banyak pihak, karena seolah menafikkan sejarah peradaban umat manusia bahwa kota itu merupakan tempat suci bagi 3 penganut agama samawi, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Daerah inilah yang menjadi tempat tinggalnya banyak Nabi dan Rasul serta juga tempat yang menjadi awal perjalanan menuju Sidratul Muntaha oleh Rasulullah SAW saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Mungkin Trump perlu belajar sejarah, setidaknya ia perlu meneladani bagaimana Khalifah Umar bin Khattab, menunjukkan kebesarannya sebagai seorang pemimpin, penguasa sekaligus negarawan yang mulia.
Saat terjadi pertempuran pembebasan wilayah utara Timur Tengah; dari mulai wilayah Palestina, Yordania, pesisir Levantina, dan Suriah oleh
pasukan Islam dari penguasaan tentara Byzantium (Kekaisaran Romawi-Yunani) yang
berakhir dengan pengepungan Jerusalem pada tahun 637 M, terjadi perdebatan
antara pimpinan pasukan Byzantium, Artavon dengan Uskup Agung Gereja Jerusalem
yaitu Patriarch Sophronius. Artavon tidak ingin bila Jerusalem diserahkan pada
pasukan Islam. Di lain sisi, Sophronius menginginkan Jerusalem diserahkan pada
pasukan Islam dengan damai. Dia yakin kedatangan pasukan Islam sebagai bentuk
kehendak Tuhan.
Keputusan akhir inilah yang
kemudian diambil, dan hal itu lalu disampaikan kepada pasukan Islam dengan syarat
bahwa yang harus menerima kunci kota
adalah Khalifah Umar bin Khatab
sendiri dari tangan Sophronius.
Menerima kabar ini, maka berangkatlah Sang Khalifah dari Madinah memenuhi
undangan itu menuju Jerusalem.
Yang ingin diceritakan disini adalah bagaimana *reaksi kekaguman dan rasa hormat Uskup Sophronius kepada Khalifah Umar
ketika beliau tiba di kota Jerusalem.
Pertama, beliau
sudah menyiapkan penyambutan arak-arakan yang meriah, namun terkejut ketika
melihat kenyataan bahwa yang datang adalah hanya dua orang berpakaian sederhana
bersama seekor keledai. Yang satu naik di atas punggung keledai, sedangkan
satunya menuntun keledainya. Banyak orang yang menyambut saat itu mengira bahwa
Khalifah Umar adalah yang di punggung keledai. Dugaan itu keliru, sebab justru Sang Penguasa lah yang menuntun keledai,
sebab ia memberlakukan pengawalnya *secara manusiawi*, artinya mereka bergantian
menunggangi keledai itu selama menempuh perjalanan panjang ke kota Jerusalem.
Saat itu, kebetulan giliran sang pengawal lah yang menunggangi keledai.
Keduanya, beliau juga terkesima ketika
mengajak Khalifah Umar berkeliling kota Jerusalem, termasuk mengunjungi Gereja Makam Suci (dalam
keyakinan Kristen, Nabi Isa dimakamkan di gereja ini). Karena sudah tiba waktu
shalat, Uskup Sophronius mempersilakan Khalifah Umar untuk shalat di dalam
gereja, namun beliau serta merta menolaknya,
lalu memilih shalat di luar gereja.
Khalifah Umar khawatir kalau seandainya ia shalat di dalam gereja tersebut,
nanti umat Islam yang tidak paham di masa depan akan merubah gereja ini menjadi masjid dengan dalih
Khalifah Umar pernah shalat disitu. Ini dikhawatirkan akan menzalimi hak umat Nasrani. Kelak sebagai bentuk penghormatan atas
kemuliaan hati sang Khalifah, di tempat beliau shalat lalu dibangunlah Masjid Umar bin Khattab r.a.
Ketiga, ketika
kemudian Khalifah Umar minta diantar ke Kuil
Sulaiman di kompleks Al Aqsha, beliau mendapati bahwa lokasi itu telah
berubah menjadi tempat penimbunan sampah
yang sengaja dibuang disana sebagai bentuk penghinaan
kepada orang Yahudi yang telah membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia
(namun dalam kitab Yahudi dituliskan bahwa penimbunan sampah, bahkan kotoran
bulanan wanita pun sengaja dibuang kesana, karena rasa kemarahan umat Kristen
kepada umat Yahudi yang dianggap bertanggungjawab terhadap kematian Nabi Isa Al
Masih). Sang Khalifah kemudian dengan
tangannya sendiri dan dibantu pasukannya, serta masyarakat Yahudi, membersihkan lokasi tersebut dan lalu
merenovasi Komplek Al Aqsa sehingga suci kembali. Dalam penguasaan muslim selama 462 tahun*kemudian, Jerusalem
berubah menjadi tempat peribadatan yang
aman bagi 3 agama samawi, termasuk didirikannya Dome of Rock (Qubatu
Shakhrah) di komplek tersebut pada tahun 691 M.
Keempat, perlakuan adil yang diberlakukan oleh
Khalifah Umar dan penerusnya Bani Umayyah di wilayah Jerusalem, merupakan pengejawantahan dari perjanjian tertulis
yang telah ditandatangani Khalifah Umar saat menerima kunci kota dari Uskup
Sophronius, yang bunyinya antara lain adalah sbb:
“Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada
penduduk Jerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta,
gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipaksa
meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa
terancam dan diusir dari Jerusalem....”
Dari semua hal di atas, kita bisa
belajar bagaimana seharusnya berlaku
adil dalam menghormati keyakinan agama yang berbeda-beda. Bahkan pada saat
berkuasa pun, ia akan menjamin hak masing-masing sepenuhnya secara adil, termasuk
pihak minoritas sekalipun.
Kemuliaan tidak diperoleh dari
sikap kesewenang-wenangan, terutama pada saat kekuasaan dan kekuatan di tangan
kita, tetapi justru digunakan untuk melindungi hak-hak setiap orang yang berada
di bawah kekuasaannya.
Trump harus belajar dari sikap elegan ini, agar ia tidak terkubur oleh sikap
arogansi dan kesewenang-wenangannya sendiri di masa yang akan datang. Sebab
keyakinan adalah sesuatu yang tidak perlu digugat apalagi dihinakan, kecuali
untuk saling dihormati dan diterima apa adanya.
Semoga.
Surabaya, 10 Desember 2017
No comments:
Post a Comment