TUNTUNAN SHALAT
RAWATIB – Bagian 2
Oleh: As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-‘Anzly
Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh saudara-saudaraku yang dirahmati Allah Subhaanahu wa ta’ala,
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan shalat-shalat dari tuntunan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan 17
rakaat dari shalat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari shalat rawatib, 11
rakaat atau 13 rakaat dari shalat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat.
Adapun tambahan shalat selain yang tersebutkan, bukanlah shalat rawatib … maka
sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus
menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah
yang lebih cepat terkabulkannya doa dan tersegaranya dibukakan pintu bagi orang
yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta
pertolongan” (Zadul Ma’ad
1/327)
Berikut ini adalah lanjutan dari Tuntunan Shalat Rawatib
Bagian -1
16.PENGURUTAN
KETIKA MENG-QODHO’
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila
di dalam shalat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’daiyah, dan shalat rawatib
qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan terlebih dahulu adalah ba’diyah
kemudian qobliyah. Contoh: seorang masuk masjid yang belum mengerjakan shalat
rawatib qobliyah, mendapati imam sedang mengerjakan shalat dzuhur, maka apabila
shalat dzuhur telah selesai, yang pertama dikerjakan adalah shalat rawatib
ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Dholihin,
3/283)
17.MENGQODHO’
SHALAT RAWATIB YANG BANYAK TERLEWATKAN
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Diperbolehkan mengqodho’ shalat rawatib dan selainnya, karena merupakan shalat
sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah). Kemudian jika shalat yang
terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan
yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah
perkara yang utama, sebagaimana “Ketika Rasulullah mengerjakan empat shalat
fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya secara
berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasanya Rasulullah mengerjakan shalat
rawatib di antara shala-shalat fardhu tersebut… Dan jika hanya satu atau dua
shalat yag terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana
perbuatan Nabi SAW pada saat shalat subuh terlewatkan, maka beliau
mengqodho’nya bersama shalat rawatib (Syarh Al-‘Umdah, hal. 238)
18.MENGGABUNGKAN
SHALAT-SHALAT RAWATIB, TAHIYATUL MASJID, DAN SUNNAH WUDHU’
As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Apabila seseorang memasuki masjid di waktu shalat rawatib, maka ia bisa
mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat shalat rawatib tan tahiyatul masjid,
dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian
juga shalat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (shalat rawatib dan tahiyatul masjid) atau digabungkan dengan salah satu
dari keduanya” (Al-Qawaid Wal-ushul Al-Jami’ah,
hal. 75)
19.MENGGABUNGKAN
SHALAT SEBELUM SHUBUH DAN SHALAT DHUHA PADA WAKTU DHUHA
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata:
“Seseorang yang shalat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahri terbit, dan
waktu shalat dhuha tiba, maka pada keadaan ini shalat rawatib subuh tidak
terhitung sebagai shalat dhuha, dan shalat dhuha juga tidak terhitung sebagai
shalat rawatib shubuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu
niat. Karena shalat dhuha itu tersendiri dan shalat rawatib shubuhpun juga
demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap)
sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin, 20/13)
20.MENGGABUNGKAN
SHALAT RAWATIB DENGAN SHALAT ISTIQORAH
Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata: “Rasulullah SAW
mengajarkan kami shalat istiqorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana
mengajarkan kami surat-surat dari Al
Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang di antara kalian
mendapatkan permasalahan, maka shalatlah dua rakaat dari selain shalat fardhu
…” (HR Bukhari no.1166). Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika
seseorang berniat shalat rawatib tertentu digabungkan dengan shalat istiqorah,
maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda, jika tidak diniatkan”.
(Fathul Bari 11/189)
21.SHALAT RAWATIB
KETIKA IQOMAH SHALAT FARDHU TELAH DIKUMANDANGKAN.
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW bersabda: “Apabila
iqomah shalat telah ditegakkan, maka tidak ada shalat kecual shalat fardhu” (HR
Muslim bi As-syarh An- Nawawi 5/222.
An Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang
jelas dari mengerjakan shalat sunnah setelah iqomah shalat dikumandangkan
sekalipun sgalat rawatib seperti rawatib shubuh, dzuhur, ashar dan selainnya”.
(Al-Majmu’ 3/378)
22.MEMUTUS
SHALAT RAWATIB KETIKA SHALAT FARDHU DITEGAKKAN
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata:
“Apabila shalat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan
shalat tahiyatul masjid atau shalat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk
memutus shalatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat fardhu… “,
akan tetapi seandainya shalat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada
posisi rukuk di rakaat kedua, maka tidak ada halangan baginya untuk
menyelesaikan shalatnya. Karena shalatnya segera akan berakhir pada saat shalat
fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)
23.APABILA
MENGETAHUI SHALAT FARDHU AKAN SEGERA DITEGAKKAN, APAKAH DISYARI’ATKAN
MENGERJAKAN SHALAT RAWATIB?
As-Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya
(mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan shalat
rawatib di atas keyakinan yang kuat bahwasanya shalat fardhu akan terlewat
dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (shalat rawatib) karena
mengetahui akan ditegakkan shalat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah)
adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga shalat fardhu dengan
waktu-waktunya lebih utama daripada shalat sunnah rawatib yang bisa
dimungkinkan untuk diqodho’ (Syarh Al-‘Umdah hal. 609)
24.MENGANGKAT
KEDUA TANGAN UNTUK BERDOA SETELAH MENUNAIKAN SHALAT RAWATIB.
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata:
“Sahalat rawatib, saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua
tangan setelah mengerjakannya untuk berdoa, dikarenakan beramal dengan keumuman
dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdoa). Akan tetapi lebih
diutamakan untuk tidak melakukannya terus menerus dalam hal itu (mengangkat
tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW
mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai shalat
rawatib, pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para
sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
Rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan Rasulullah
SAW dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal.
171)
25.KAPAN SHALAT
RAWATIB KETIKA SHALAT FARDHU DIJAMA’
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Shalat rawatib
dikerjakan setelah kedua shalat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di
antara keduanya. Dan demikian juga shalat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan
sebelum kedua shalat fardhu dijama’”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)
26.APAKAH
MENGERJAKAN SHALAT RAWATIB ATAU MENDENGARKAN NASIHAT?
Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi:
“Disyari’atkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah
shalat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan
shalat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah LilBuhuts Al-‘Alamiyah Wal Ifta’, 7/234)
27.MENDAHULUKAN
MENYEMPURNAKAN DZIKIR-DZIKIR SETELAH SHALAT FARDHU SEBELUM MENUNAIKAN SHALAT
RAWATIB.
As-Syaikh bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya
mengerjakan shalat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan
shalat rawatib setelah selesai shalat jenazah ataukah menyempurnakan
dzikir-dzikir kemudian shalat rawatib?”
Jawaban beliau rahimahullah” “Yang lebih utama ialah
duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir, kemudian menunaikan shalat rawatib.
Maka perkara ini disyari’atkan baik ada atau tidaknya
shalat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah shalat fardhu merupakan
sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka
jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan shalat jenasah, maka
setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya di tempat anda berada, kemudian
mengerjakan shalat rawatib yaitu shalat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya
dengan mengakhirkan shalat rawatib setelah berdzikir” (Al-Qoul Al-Mubin fii
Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal 471)
28.TERSIBUKKAN
DENGAN MEMULIAKAN TAMU DARI MENINGGALKAN SHALAT RAWATIB.
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada
dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama)
kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan
adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di
saat adanya shalat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan dari pada
mengerjakan shalat rawatib” (Majmu’ Fatawa As- As-Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-Utsaimin 16/176)
29.SHALATNYA
SEORANG PEKERJA SETELAH SHALAT FARDHU DENGAN RAWATIB MAUPUN SHALAT SUNNAH
LAINNYA.
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata:
“Adapun shalat sunnah setelah shalat fardhu yang bukan rawatib maka tidak
boleh. Karena waktu yang digunakan merupakan bagian dari waktu kerja.semisal
akad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan shalat rawatib (ba’da shalat
fardhu), maka tidak mengapa. Karena hal itu merupakan hal yang biasa dilakukan
dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya”
30.APAKAH
MENINGGALKAN SHALAT RAWATIB TERMASUK BENTUK KEFASIKAN?
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’:
(Sesungguhnya meninggalkan shalat rawatib termasuk fasiq). Merupakan perkataan
yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena shalat rawatib itu adalah nafilah
(sunnah). Maka barang siapa yang mengerjakan shalat fardhu dan minggalkan
maksiat tidaklah dikatakan fasiq, bahkan
ia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikan juga sebagian
perkataan Fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga shalat rawatib merupakan bagian dari
syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena
setiap orang yang menjaga shalat fardhu dan meninggalkan maksiat, maka ia
adalah orang yang adil dan tsiqoh. Akan tetapi dari sifat seorang mukmin yang
sempurna, selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan shalat rawatib
dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk
mengerjakannya” (Majmu’ Fatawa 11/382)
Semoga bermanfaat
Wassalam, Mimuk Bambang Irawan
No comments:
Post a Comment