KEWAJIBAN ISTRI TERHADAP SUAMI –
Bagian 2
Saat ini kita kembali akan melanjutkan
bahasan kewajiban istri. Semoga dengan mengetahui hal ini kita selaku istri
mengetahui kewajibannya dan bisa meraih predikat wanita sholehah serta istri
yang taat.
Keenam: Tidak menginfakkan harta suami kecuali
dengan izinnya
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ
بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari
rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670.
Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Ketujuh: Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya
Semestinya seorang istri membantu suaminya
dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari
kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya,
Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan
suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya,
serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah
milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar
2/3 farsakh[1].” (HR. Bukhari no. 5224 dan
Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah binti
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di
rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling
gandum. (HR. Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir
bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan
mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia
meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di
tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi
seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا
-
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata,
“Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Muslim no. 715)
Kedelapan: Menjaga kehormatan, anak dan harta suami
Allah Ta’ala berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (QS.
An Nisa’: 34). Ath Thobari mengatakan dalam kitab tafsirnya (6: 692), “Wanita
tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan
dan harta suami. Di samping itu, iawajib menjaga hak Allah dan hak selain itu.”
Kesembilan: Bersyukur dengan pemberian suami
Seorang istri harus pandai-pandai berterima
kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila
tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka AllahTa’ala.
Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat
Gerhana), Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda
menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat,
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ
كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا:
لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟
قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ
إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ
مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah
sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata
mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa
para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang
bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?”
Beliau menjawab, “(Tidak,
melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu
waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan
di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat
kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907).
Lihatlah bagaimana kekufuran si wanita cuma karena melihat kekurangan suami
sekali saja, padahal banyak kebaikan lainnya yang diberi. Hujan setahun seakan-akan terhapus dengan kemarau
sehari.
Kesepuluh: Berdandan cantik dan berhias diri di
hadapan suami
Sebagian istri saat ini di hadapan suami
bergaya seperti tentara, berbau arang (alias: dapur) dan jarang mau berhias
diri. Namun ketika keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini sungguh
terbalik. Seharusnya di dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami.
Demikianlah yang dinamakan sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ
إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا
وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu
yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah,
dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci”
(HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan
shahih)
Kesebelas: Tidak mengungkit-ngungkit pemberian yang
diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya dari hartanya
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah:
264).
Keduabelas: Ridho dengan yang sedikit, memiliki sifat
qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami lebih dari kemampuannya
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)
Ketigabelas: Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya
marah
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي
الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ
, قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ
إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia
melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau
menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di
sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”.
(HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ahmad 5: 242. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Keempatbelas: Berbuat baik kepada orang tua dan kerabat
suami
Kelimabelas: Terus ingin hidup bersama suami dan tidak
meminta untuk ditalak kecuali jika ada alasan yang benar
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا
الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .
“Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya
tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi
surga.” (HR. Tirmidzi no. 1199, Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no.
2055. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Keenambelas: Berkabung ketika meninggalnya suami selama
4 bulan 10 hari
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
(QS. Al Baqarah: 234)
Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ
، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari
tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh
hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)[2]
Supaya mengimbangi pembahasan ini, nantikan
bahasan mengenai kewajiban suami yang menjadi hak istri. Semoga Allah mudahkan
untuk menyusunnya.
Semoga bermanfaat.
Wasallam, Mimuk
Bambang Irawan
Jakarta, 16
Agustus 2014
Sumber: @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 26 Shafar 1433 H - Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
No comments:
Post a Comment