KEWAJIBAN SUAMI – Bagian 4
Setelah membahas kewajiban
suami sampai serial ketiga, saat ini kita akan melanjutkan ke serial
terakhir. Moga dengan mengetahui kewajiban ini, kita sebagai suami bisa
menjalankan kewajiban dalam rumah tangga dengan baik sehingga bisa menggapai
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Ketujuh: Tidak
mempersoalkan kesalahan kecil istri
Inilah petunjuk Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ
مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin
membenci seorang mukminah. Jika si pria tidak menyukai suatu akhlak pada si
wanita, maka hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridhoi” (HR. Muslim no.
1469). Karena istri tentu saja dalam bersikap dan kelakuan tidak bisa seratus
persen perfect sebagaimana yang suami inginkan. Bersabarlah
dan tetap terus menasehati istri dengan cara yang baik.
Kedelapan: Tidak memukul istri di wajah dan tidak
menjelek-jelekkan istri
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu
‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا
طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ
الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan
sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau
berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di
wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam
rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits inihasan shahih).
Kenapa tidak
boleh memukul wajah istri?
Karena wajah adalah bagian
tubuh yang paling mulia dan paling terlihat oleh orang lain. Di wajah terdapat
anggota lainnya yang mulia dan lembut. Hadits ini merupakan dalil wajibnya
menjauhi memukul wajah ketika mendidik istri.
Dalam hadits di atas pun
terdapat ajaran tidak menjelek-jelekkan istri dan tidak mencela atau mendoakan
jelek pada istri seperti dengan do’a “semoga Allah menjelakkanmu”. Seperti ini
tidak dibolehkan (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 6: 127).
Dalam hadits lainnya dari
‘Abdullah bin Zam’ah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda,
لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ
امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ الْيَوْمِ
“Salah seorang di antara
kalian tidak boleh mencambuk istrinya seperti cambukan pada seorang budak lalu
ia menyetubuhi istrinya di akhir malam” (HR. Bukhari no. 5204).
‘Aisyah menceritahkan mengenai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ
قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku tidaklah pernah sama
sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu,
begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan
tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Bukhari-Muslim)
Boleh mendidik istri dengan
memukul namun tidak di wajah dan tidak dengan pukulan yang keras atau tidak
boleh dengan pukulan yang menampakkan bekas. Sebagaimana nasehat Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ
لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban istri bagi
kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang
kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan
pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).
Kaedah dalam
memukul istri
Diterangkan dalam ayat berikut
ini,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya (pembangkangannya), maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS. An Nisaa’: 34).
Disimpulkan bahwa ada tiga kaedah ketika ingin memukul istri:
1.
Ketika nasehat tidak lagi
diperhatikan dan tidak ada manfaat setelah berpisah dengan istri dari ranjang.
2.
Pukulannya dalam rangka
mendidik dan tidak membekas serta tidak merusak tulang.
3.
Tidak lagi memukul istri
ketika istri sudah berubah menjadi taat dan menurut pada perintah suami.
Kesembilan: Tidak meng-hajr (pisah ranjang)
dalam rangka mendidik selain di dalam rumah
Hal ini sebagaimana
diterangkan dalam ayat dan hadits sebelumnya di atas. Mengenai makna hajrdi
ranjang pada ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka”, Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As Sa’dirahimahullah mengatakan bahwa maknanya adalah tidak
satu ranjang dengannya dan tidak berhubungan intim dengan istri sampai ia sadar
dari kesalahannya (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, 177).
Ibnul Jauzi menerangkan
mengenai makna hajr di ranjang ada beberapa pendapat di
kalangan pakar tafsir:
1.
Tidak berhubungan intim
2.
Tidak mengajak berbicara,
namun masih tetap berhubungan intim
3.
Mengeluarkan kata-kata yang
menyakiti istri ketika diranjang
4.
Pisah ranjang (Lihat Zaadul
Masiir, 2: 76).
Dan hajr boleh
dilakukan di luar rumah jika ada maslahat sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr istri-istrinya selama
sebulan di luar rumah mereka.
Kesepuluh: Memberikan hak
istri dalam hubungan intim
Hal ini dapat kita ambil
pelajaran dari hadits Abu Darda’ berikut ini.
آخَى النَّبِىُّ – صلى الله
عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا
الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا
شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا
. فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ
فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ .
فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ .
فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ
اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم
– « صَدَقَ سَلْمَانُ »
Nabi –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat Salman
mengunjungi –saudaranya- Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istrinya, Ummu
Darda’, dalam keadaan tidak mengenakkan. Salman pun berkata kepada Ummu Darda’,
“Kenapa keadaanmu seperti ini?” “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan ia tidak
lagi mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. Abu Darda’ kemudian
datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”.
“Maaf, saya sedang puasa”, jawab Abu Darda’. Salman pun berkata, “Aku
pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ menyantap
makanan tersebut.
Ketika malam hari tiba, Abu
Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Salman malah berkata pada Abu Darda’, “Tidurlah”.
Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian
Salman berkata lagi yang sama, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir
malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata
lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu.
Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri (yaitu memberi supply
makanan dan mengistirahatkan badan, pen), dan engkau pun punya
kewajiban pada keluargamu (yaitu melayani istri, pen). Maka berilah
porsi yang pas untuk masing-masing kewajiban tadi.” Abu Darda’
lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lantas beliau bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari no. 968).
Menurut pendapat Imam Abu
Hanifah, Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, suami itu wajib
menyetubuhi istrinya sesuai dengan kemampuan suami dan kecukupan istri. Inilah
pendapat yang tepat, berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharuskan
suami harus menyetubuhi istrinya minimal empat bulan sekali. Namun yang tepat
adalah pendapat pertama.
Kesebelas: Memberikan
istri kesempatan untuk menghadiri shalat jama’ah selama keluar dengan hijab
yang sempurna dan juga memberi izin bagi istri untuk mengunjungi kerabatnya,
sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam kisah Ummu Zar’ dan Abu Zar’
sebelumnya.
Keduabelas: Tidak menyebar
rahasia dan aib istri, sebagaimana pernah diterangkan dalam kewajiban istri.
Ketigabelas: Berhias diri di
hadapan istri sebagaimana suami menginginkan demikian pada istri
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Keempatbelas: Selalu berprasangka
baik dengan istri
Inilah mengapa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan agar suami tidak terlalu penuh curiga
ketika ia meninggalkan istrinya lalu datang dan ingin mengungkap aib-aibnya.
Sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ
لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ
وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
“Jika salah seorang dari
kalian datang pada malam hari maka janganlah ia mendatangi istrinya. (Berilah
kabar terlebih dahulu) agar wanita yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu
kemaluannya dan menyisir rambutnya” (HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no.
715).
Dari Jabir bin Abdillah, ia
berkata,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ
يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
“Rasulullah shallallahu
‘alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk
mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya atau untuk mencari-cari
kesalahannya” (HR. Muslim no. 715).
Hadits semacam ini kata Al
Muhallab adalah dalil yang menunjukkan terlarang mencari-cari kesalahan dan
kelengahan istri karena ini adalah bagian dari fitnah dan termasuk berburuk
sangka padanya (Lihat Syarh Al Bukhari li Ibni Battol, 13: 372, Asy Syamilah).
Semoga Allah memudahkan kita
selaku para suami untuk memenuhi kewajiban ini terhadap istri dan anak-anak
kita. Semoga dengan mengamalkannya keluarga kita akan mendapatkan rahmat Allah
dan selalu diisi dengan kasih sayang.
Wallahu waliyyut taufiq. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Referensi:
1.
‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi
Daud, Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyyib, terbitan Darul Kutub
Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1415 H
2.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik
Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, 3: 213-215
3.
Syarh Al Bukhari li Ibni
Battol, Asy Syamilah
4.
Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah , cetakan
pertama, tahun 1423 H
5.
Zaadul Masiir, Ibnul
Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 8
Rabi’ut Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Seri Artikel KEWAJIBAN SUAMI TERHADAP ISTRI:
No comments:
Post a Comment