SEJATINYA TAK ADA HIDUP TANPA PERTEMANAN
Sebagai makhluk sosial,
manusia tidak pernah lepas dari teman atau pertemanan, baik teman pada masa
kecil dulu, teman pada waktu sekolah, ataupun teman dalam bisnis dan dalam
perjuangan di jalan Allah SWT. Pertemanan adalah
kecenderungan dasar manusia. Maka, sejatinya tak ada hidup tanpa pertemanan.
Dampak
baik dan buruk pertemanan tak diragukan lagi, baik dilihat dari perspektif
agama maupun dari ilmu pengetahuan. Dalam adagium Arab malah ada ungkapan
“Al-Nas ala dini ash-habihim” (manusia mengikuti agama temannya). Jadi, yang
penting bukan soal pertemanannya, tetapi dengan siapa seseorang berteman atau
menjalin pertemanan.
Seperti dimaklumi, teman itu ada dua macam, yaitu teman baik dan teman buruk. Rasulullah SAW mengumpamakan teman baik seperti penjual minyak wangi. Ia suka mengoleskan minyak wangi ke baju kita atau kita membelinya, atau setidak-tidaknya, kita mengendus aroma wanginya.
Seperti dimaklumi, teman itu ada dua macam, yaitu teman baik dan teman buruk. Rasulullah SAW mengumpamakan teman baik seperti penjual minyak wangi. Ia suka mengoleskan minyak wangi ke baju kita atau kita membelinya, atau setidak-tidaknya, kita mengendus aroma wanginya.
Sedangkan,
teman yang buruk diumpamakan seperti tukang pandai besi. Kalau dekat-dekat,
baju kita bisa terbakar atau paling tidak kita mengendus baunya yang tak enak.
(HR Muslim dari Abu Musa).
Tak heran
bila orang tua, para guru, dan orang-orang saleh, selalu memberi nasihat agar
kita jangan sampai keliru dalam memilih teman atau membangun koalisi
pertemanan. Sebab, akibatnya bisa sangat fatal, yaitu kerugian dan kegagalan,
lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Penulis
kitab Al-Hikam, Ibn Athaillah al-Sakandari, memberi nasihat soal pertemanan
ini. Katanya, “Jangan pernah kamu berteman dengan orang yang sikap dan
perkataannya tidak membimbingmu lebih dekat kepada Allah SWT.”
Ada dua
kriteria yang ditekankan al-Sakandari, yaitu Hal (sikap mental) dan Maqal
(kata-kata/perilaku). Term Hal menunjuk pada kondisi jiwa yang berisi keimanan,
ibadah, dan kepatuhan kepada Allah SWT.
Dalam
bahasa modern, Hal itu dinamai “kekuatan spiritual”. Ia diam, tidak
berkata-kata (shamitah), tetapi pengaruhnya sangat dahsyat, menginspirasi,
menggugah, dan mendorong orang lain pada kemuliaan dan kemenangan.
Sementara,
term Maqal menunjuk pada perilaku dan keluhuran budi pekerti. Maqal adalah
kecerdasan moral. Ia mengajak orang lain kepada yang baik (al-amr bi al-ma`ruf)
dan mencegahnya dari kejahatan (al-nahyu an al-munkar) dengan cara-cara yang
terhormat disertai sikap pantang kompromi dengan kebatilan.
Bagi
al-Sakandari, hanya orang dengan dua kriteria di atas, layak dijadikan sebagai
teman. Dialah teman abadi. Lain tidak! Lantas, siapa mereka? Mereka tak lain
adalah orang-orang yang memperoleh petunjuk dan anugerah dari Allah. Mereka
adalah orang-orang terbaik dan teladan dalam kemuliaan.
Seperti
nasihat al-Sakandari, kita hanya boleh berteman dan membangun koalisi
pertemanan hanya dengan kelompok ini. Pertemanan dengan mereka akan abadi
sebagai koalisi permanen yang akan meraih kemuliaan dan kemenangan sampai kelak
di surga.
Allah SWT
berfirman, “Dan, barangsiapa yang menaati
Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang saleh, dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.” (QS al-Nisa' [4]:
69).
Tulisan: H. Akbar Mardani - https://www.facebook.com/akbar.mardani.39?fref=ts
No comments:
Post a Comment