ANJING YANG MASUK SURGA
Oleh: Prof. M. Dawam Rahardjo
(Cendekiawan muslim dan tokoh Muhammadiyah)
Usamah adalah seorang keturunan Arab Pekalongan, tapi kawin dengan seorang keturunan Arab juga asal Solo. Karena itu ia bergaul dengan teman-temannya, dari kampung Pasar Kliwon, daerah permukiman keturunan Arab di Solo. Ia juga mengikuti sejumlah orang yang hijrah ke Jakarta. Teman-temannya itu, termasuk ia sendiri, semuanya telah lulus perguruan tinggi, tapi tak semuanya jadi pegawai, sebagian memilih jadi pengusaha. Tapi semuanya sukses, seorang di antaranya berhasil menjadi Direktur Kredit Deutsche Bank, Bank Jerman, dan seorang lagi menjadi direktur sebuah hotel berbintang tiga. Usamah sendiri memilih jadi wartawan sebuah majalah berita terkemuka.
Hampir semuanya mula-mula tinggal di rumah sewa. Tapi suatu
ketika mereka sepakat untuk membeli tanah di sepanjang jalan kecil di bilangan
Ciputat. Mereka mendirikan rumah berderetan. Usamah juga ikut membeli tanah,
tapi ia terpisah, karena ingin memberi tanah yang lebih murah di bagian yang
agak dalam, bahkan dekat sawah yang hanya dibatasi oleh sebuah kali kecil. Di
situ ia mampu membangun rumah sederhana tapi berhalaman luas. Sebagian
pekarangannya dipakai untuk memelihara ayam. Peternakan ayam yang hanya 100 ekor
itu memang cukup berkembang. Tapi pada suatu hari, beberapa ekor dicuri orang.
Karena itu seorang sahabatnya menganjurkan agar ia memelihara seekor anjing
Memelihara anjing di kampung Betawi itu memang sangat riskan,
yang memelihara bisa tidak disukai orang sekampung. Teman-temannya dari Solo
pun ikut menyarankan agar Usamah tidak memelihara Anjing. Tapi sahabatnya yang
mengusulkan itu memberi tahu bahwa memelihara anjing itu diperbolehkan agama.
Kebetulan ia mengikuti aliran modern, al Irsyad.
Tapi sebelum memutuskan memelihara anjing itu Usamah pernah sowan ke Buya Hamka di Kabayoran Baru, dekat Masjid al Azhar.
“Boleh tidak Buya, seorang Muslim memelihara anjing?” tanyanya,
memberanikan diri, maklum bertanya kepada ulama besar.
“Tengok ke halaman rumah. Itu ada anjing besar,” jawab Buya.
“Di Minangkabau, memelihara anjing sudah biasa. Bahkan
ulama-ulama juga memelihara anjing. Sebagian orang kampung memelihara anjing
untuk berburu di hutan. Bahkan Pesantren Putri Pandang Panjang, Rahmah el
Yunusiyah, itu separuh penghuninya adalah anjing,” jelas ulama asal Minang itu.
“Di Mekkah, banyak penduduk yang memelihara anjing,” jelasnya
lagi.
“Orang Muslim dianjurkan untuk menyayangi binatang, termasuk
anjing. Nabi sendiri suka dengan kucing. Nabi Daud suka burung dan Nabi
Sulaiman bersahabat dengan semua binatang. Pernah ada hadist yang menceritakan
adanya seorang pelacur yang dinyatakan Nabi akan masuk surga, hanya karena ia
memberi minuman kepada anjing yang mau mati kehausan. Bahkan ada pula anjing
yang masuk surga, yaitu anjing yang menemani pemuda-pemuda Askhabul Kahfi yang
melarikan diri dari tirani raja kafir dan mengungsi di gua dan atas izin Allah,
tertidur selama 300 tahun itu,” jelas ulama pengarang Tafsir al Azhar itu, yang
menceriterakan kisah para pemuda beriman dan seekor anjingnya dalam Al Quran.
Dengan keterangan Buya Hamka itu Usamah, dengan persetujuan
seluruh keluarga, memutuskan untuk memelihara seokor anjing. Tak
tanggung-tanggung, ia memelihara jenis herder yang disebut German Shepherd yang
diberinya nama Nero.
Tapi baru berjalan satu setengah tahun, anjing itu pun mati.
Menurut dugaan Usamah sendiri yang mendapat informasi dari orang kampung,
anjing yang masih muda usianya itu mati diracun, mungkin oleh tetangga yang tak
suka.
Ia dan keluarga, terutama anak kecilnya, Najib, sangat sedih
kehilangan Nero. Tapi kemudian ia bertekad untuk memelihara lagi. Kali ini ia
memelihara jenis Doberman yang diberinya nama Hector.
Sehari-hari Hector menemani anaknya yang terkecil, Faris,
bersama pengasuhnya, Minah, bermain-main di rerumputan pinggir kali, dekat
sawah. Hector selalu menggonggong keras, jika Faris ingin bermain-main di kali.
Jika istri Usamah pergi ke pasar, Hector selalu dibawanya, tapi ia selalu
disuruh menunggu di jalan di luar pasar, karena jika ikut masuk, akan
mengganggu orang yang takut atau jijik pada anjing.
Pada suatu hari, setelah selesai belanja, barang-barang
belanjaannya ditaruh di dekat mobil, sedangkan ia kembali ke pasar membeli
barang yang kelupaan dibeli. Hector disuruh menunggu. Namun ternyata ada juga
orang yang berusaha mengambil barang belanjaan itu.
Ketika mau mengambil kompor, rupanya pencuri itu tidak sadar
bahwa ada seekor anjing yang menjaganya. Maka meloncatlah Hector menerkam
pencuri itu sambil menggonggong keras-keras.
Mendengar gonggongan anjingnya, maka istri Usamah kembali ke
mobilnya. Pencuri itu tidak mengaku mau mencuri, bahkan marah-marah kepada
Hector dan istri Usamah.
“Kenapa kamu mau mencuri ?” tanya Bu Usamah.
“Tidak, tidak, saya tidak mencuri,” jawab si pencuri.
“Tidak mungkin kamu diterkam oleh anjing saya, jika tidak mau
mengambil barang saya.”
“Ibu percaya pada saya atau percaya kepada binatang najis itu?”
Ibu Usamah merasa gelagapan mendengar tangkisan pencuri itu.
Orang-orang yang berkerumun sepertinya memahami pertanyaan si pencuri.
“Walaupun seekor anjing, ia tak pernah berbohong. Anjing juga
tidak pernah mencuri. Hanya manusia yang suka berbohong dan mencuri,” jawab Bu
Usamah.
Tapi karena tak ada bukti bahwa barangnya telah dicuri, maka
pencuri itu pun bebas.
Pernah suatu pagi hari, ada seorang yang rupanya pemuda
sekampung sendiri, berusaha mencuri ayam. Ia sempat membawa lari seekor ayam,
tapi orang itu keburu lari melompat pagar tanaman, karena mendapat gonggongan
Hector. Ketika lari terbirit-birit, Hector mengejarnya sampai tertangkap.
Pencuri itu pun, setelah melepas ayam curiannya, teriak-teriak minta tolong.
Penduduk kampung pun berusaha menolong si pencuri dengan
melepaskan gigitan anjing di bajunya, dan seorang di antaranya mengambil
sepotong kayu untuk memukul Hector. Untung Usamah sempat datang mencegah
pemukulan. Tapi penduduk malah memarahi Usamah.
“Jaga dong anjingnya. Kalau Bapak tidak datang, anjing itu pasti
mati kami hajar.”
“Lho Pak, mana mungkin anjing saya ini mengejar orang ini tanpa
alasan sepagi hari ini? Ayam saya di kandang ramai berkotek, tanda ada yang
mengganggu. Dulu saya pernah kecurian ayam, sebelum punya anjing.”
“Apa Bapak tidak tahu, menyentuh anjing saja itu najis hukumnya?
Apalagi memelihara. Haram.”
“Tidak ada di Quran maupun Hadits yg menyatakan anjing itu
haram. Di Hadits dinyatakan liurnya yg najis (najis bukan haram) jika mengenai
Walago (bejana/mangkuk makan). Yang najis itu air liur anjing gila. Anjing ini
sehat dan bersih, setia menjaga rumah dan majikannya. Tak pernah mencuri dan berbohong,
karena tidak bisa."
"Anjing itu seperti malaikat. Hanya bisa menjalankan tugas
menurut kodratnya,” jawab Usamah.
“Masya Allah, Pak Usamah ini termasuk orang yang sesat. Minta
ampun pada Tuhan dong karena melanggar ketentuan agama. Benar tidak pak haji?”
tanya orang kampung itu kepada seorang yang pakai kopiah putih di sampingnya.
Orang yang ditanya itu tidak berkata apa-apa, cuma mengangguk.
Usamah tidak mau terlibat dalam perdebatan agama dengan orang
kampung yang menurutnya tidak ada gunanya sama sekali.
Sejak peristiwa yang tersebar di seluruh kampung itu, tidak ada
lagi orang yang mencoba mencuri ayam. Cuma, ada yang takut bertamu ke rumah Pak
Usamah. Padahal Hector tidak menggonggong jika ada tamu.
Pernah ada seorang kiai di kampung itu yang menasihati Usamah
bahwa rumah yang ada anjingnya tidak dimasuki oleh malaikat. Teman-temannya
dari Solo pun menjadi enggan bertamu. Tapi Usamah sendiri percaya bahwa Hector
itu sendiri adalah malaikat yang hanya bisa mengabdi tanpa sedikit pun niat
untuk berkhianat atau bersikap munafik.
Hector tidak pernah menimbulkan masalah bagi Usamah dan
keluarganya dan bahkan merupakan teman baik seluruh anggota keluarga. Kalau
siang, Hector sering masuk rumah dan bersama-sama anggota keluarga yang nonton
TV. Ia terutama dekat sekali dengan Faris, anaknya yang terkecil. Dan Faris
sangat menyayanginya, sering mengelus-elusnya dan mengajaknya bicara.
Tapi kalau malam, Hector rela dan biasa tidur di luar rumah,
maksudnya mungkin mau menjaga rumah itu dari pencuri yang suka datang
malam-malam. Kalau ada yang dicurigainya, baru Hector menggonggong. Karena itu
orang yang berniat jahat, mengurungkan niatnya.
Pada suatu sore di hari Sabtu, Usamah sekeluarga menonton TV.
Faris sudah berangkat besar, sudah masuk SMP. Ia masih akrab saja dengan
Hector. Ketika Usamah sekeluarga sedang santai nonton TV, tiba-tiba Hector
masuk ke ruangan. Ia pun dengan santai nongkrong seolah-olah ikut menonton TV.
Setelah sejenak duduk, tiba-tiba kepala Hector lunglai kemudian seolah-olah
tertidur. Tapi lama benar ia tidur sampai waktunya ia seharusnya keluar rumah.
Faris pun menggoyang-goyangkannya, tapi Hector tidak bangun
juga. Rupanya, Hector sudah berhenti bernapas.
Melihat Hector tak bangun lagi, seluruh keluarga gempar. Ibu
Usamah menangis menjerit-jerit yang diikuti oleh anak-anaknya, terutama Faris.
Melihat keadaan itu maka Usamah pun, dengan suara tersendat-sendat berkata:
“Anak-anak, manusia pun akan mati, apalagi binatang yang umurnya
lebih pendek dari manusia. Hector sudah berumur hampir lima belas tahun,
padahal anjing-anjing yang lain hanya berumur sekitar tujuh atau delapan tahun.
Inna lillahi wa inna lilahi rojiun. Semuanya berasal dari Allah. Ia dan kelak
kita semua juga akan kembali kepadaNya. Abah yakin, Hector akan masuk surga,
seperti anjing para pemuda Ashabul Kahfi.”
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Hector dimandikan dan
dibungkus dengan kain kafan putih, seperti manusia. Ia pun dikuburkan. Pak
Usamah sempat membaca doa, sambil menitikkan air matanya. Ia kehilangan malaikat
penjaga keluarganya.
Sebenarnya, tanpa doa pun, malaikat akan masuk surga. Tapi
Hector lebih menyerupai manusia, bagian dari keluarga Usamah.
*Cerpen yang terinspirasi dari kisah nyata ini pernah dimuat di
KOMPAS, 19/6/2005, dan diterbitkan kembali dlm buku kumpulan tulisan M. Dawam
Rahardjo, "Anjing yang Masuk Surga" (Penerbit Jalasutra, 2007).
"Ber-agama
yang hanya menjalankan Syariat namun tanpa memahami Hakikat, hanya menghasilkan
banyak Mudharat & sedikit manfaat."
No comments:
Post a Comment