KAJIAN AL
QUR’AN
HUBUNGAN SUAMI ISTRI DI BULAN RAMADAN
Pengajian
Subuh Masjid At Taubah – Ustadz Abdullah Amin – Bekasi, Selasa-Kamis, 22 - 24 Mei 2018
Topik kajian kali ini membahas
tentang ‘HUBUNGAN SUAMI
ISTRI DI BULAN RAMADAN’
dalam surat Al Baqarah : 187 serta surat-surat/ayat-ayat lainnya yang berkenaan
dengan topik tersebut
QS 2 : 187: Dihalalkan bagimu pada malam
hari bulan puasa bercampur dengan istrimu. Rafaśa = berkata jorok. Istri adalah pakaian bagi suami dan
sebaliknya. Urusan ranjang sama-sama punya hak yang sama. Suami atau istri
boleh minta dulu. Dua-duanya harus menikmati hubungan suami istri.
QS 2 : 197; Rafaśa = berkata jorok, kata-kata yang menimbulkan birahi, perbuatan yang tidak
senonoh, hubungan seksual, bercampur laki-laki dan perempuan. Siang hari tidak
boleh rafaśa & berhubungan badan dengan istri pada bulan puasa. Pada malam
hari kalau istri lagi mens haram hukumnya untuk berhubungan badan.
QS 2 : 222; “Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang tempat waktu
haid. Katakanlah ‘itu adalah sesuatu yang kotor’”. Kotor = gangguan kecil, boleh bersetubuh kalau suci dan bersuci. Taqrabūhunna = suci, taţahharna = bersuci.
QS 3 : 111;
Ażā = gangguan kecil = layyada
QS 33 : 48; Ażāhum = gangguan orang-orang kafir (gangguan kecil)
QS 2 : 264; Ażā = menyakiti (perasaan penerima sedekah), mengganggu
QS 5 : 90; Rijsum = keji – dalam konteks meminum minuman keras, berjudi, berkurban untuk
berhala dan mengundi nasib dengan anak panah. Semua itu adalah perbuatan keji
(rijsum) dan termasuk perbuatan
setan.
QS 22 : 30; Rijsum, rijsa = berhala yang najis
QS 2 : 223; “Istri adalah ladang bagimu,
maka datangilah ladangmu kapan saja dengan cara yang kamu suka”, kecuali dalam bulan Ramadan hanya boleh malam hari.
QS 2: 228; Para suami mempunyai 1
tingkat kelebihan di atas wanita dalam masalah perceraian dan rumah tangga
karena ia yang bertanggung jawab sebagai kepala keluarga.
QS 4 : 34; “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah
menjadikan laki-laki memberi nafkah dan hartanya kepada istrinya”.
Pelindung = pemimpin à Pemimpin yang wajib melindungi karena: 1. Allah telah kasih kelebihan
pada laki-laki, 2. Laki-laki memberi nafkah dan harta. Kalau sebaliknya maka
laki-laki menjadi DKI = Dibawah Kekuasaan Istri.
Kesimpulan: Di luar perkara ‘hubungan suami istri’,
suami adalah pemimpin. Dalam parkara ‘hubungan suami istri’, keduanya punya hak
yang sama.
QS 4 : 32; ”…Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi
perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan”. Artinya,
laki-laki dan perempuan sama-sama berhak untuk bekerja, namun penghasilan suami
untuk istri dan keluarga, sedangkan penghasilan istri untuk dirinya bukan untuk
suami.
QS 4 : 4; Laki-laki harus memberi
maskawin (kewajiban) walaupun calon istri lebih kaya. Dan kelak bila istri
menyerahkan kembali sebagian maskawinnya dan ikut bekerja dan ikut menanggung
keluarga, maka terimalah dan nikmati pemberian itu dengan senang hati.
-----------------------------------------------------------------------------
Disarikan oleh H.R.Mimuk Bambang
Irawan - Jakasampurna, Bekasi, Selasa - Kamis, 22 - 24 Mei 2018
No comments:
Post a Comment