SAD
AND WONDERFUL – NAPAK TILAS KEZALIMAN MANUSIA ATAS MANUSIA DI BUMI PAPUA.
Saudara-saudaraku yang di rahmati Allah Subhaanahu wa ta’ala, pada waktu field visit ke Papua 14 tahun yang silam (20/07/99), saya singgah di kota
Biak. Kota biak terletak di satu pulau yang strategis di teluk Cenderawasih
yang terletak pada “bahu” Papua. Semasa Perang Dunia II, pulau Biak menjadi
ajang pertempuran maha hebat antara Jepang yang mempertahankan pulau itu
melawan Sekutu Amerika yang menggempur pulau itu agar Jepang mundur dari situ.
Pulau Biak sebetulnya adalah pulau karang yang memiliki banyak gua dengan
ukuran yang menakjubkan, sehingga satu gua bisa dihuni oleh 5.000 sampa 10.000
orang. Dalam gua-gua inilah tentara Jepang membangun basis pertahanannya. Di
bagian timur pulau, ada gua terbesar yang dijadikan rumah sakit dan diberi nama
Gua Lima Kamar. Di sinilah prajurit Jepang yang terluka di rawat.
Dari luar seakan tidak tampak adanya kehidupan, namun di bawah tanah, dalam
gua-gua itu tentara Jepang mengintai dan siap menembak jatuh pesawat tempur
Sekutu yang terbang di atas Biak. Banyak pesawat tempur sekutu yang berhasil
dirontokkan. Bangkai-bangkai pesawat itu banyak ditemui berserakan di pulau
Biak.
Gua Binsari. Di bagian utara pulau ada satu gua yang mengandung
riwayat yang menyedihkan sekaligus menakjubkan, sebagaimana dicatat dalam buku
tamu oleh seorang turis Amerika pada saat mengunjungi gua itu; It’s
sad and wonderful!, tulisnya. Gua itu bernama Gua Binsari.
Setelah Saya mengunjungi tempat ini, maka sungguh tepatlah ungkapan turis
itu. Binsari adalah nama desa di mana gua itu berada. Kisah gua Binsari ini
memang menyedihkan. Konon tentara Jepang memusatkan pertahanannya di gua ini
beberapa saat sebelum mereka kalah. Sebelumnya, tentara Jepang selalu berhasil
memukul mundur serangan udara Sekutu, sehingga Sekutu menderita banyak kerugian.
Tentara Sekutu kemudian mengirim mata-mata untuk menyelidiki basis
pertahanan Jepang itu, sehingga diketahuilah lokasi gua Binsari ini, lengkap
dengan informasi bahwa gua itu “menyimpan” sekitar 3.000 tentara Jepang yang
sebagian besar berada dalam keadaan lelah karena pertempuran yang terus
menerus.
Tentara Sekutu kemudian menyusun rencana penyerangan besar-besaran. Pada
hari H, Sekutu dengan armada tempur udaranya membmbardir gua Binsari, sehingga
atap gua itu ambrol dan mengubur 3.000 tentara Jepang yang berlindung dalamnya
Setelah perang usai, sanak keluarga korban, baik Jepang maupun Sekutu yang
merasa bahwa salah satu anak, kakak atau ayah mereka gugur dalam medan
pertempuran itu, berdatangan untuk ziarah. Ada satu keluarga Amerika yang melihat
cincin yang biasa dipakai oleh anak lakinya tersimpan di museum. Mereka
berhasil mendapatlkan kembali cinicn kesayangan sang anak, namun tidak
memperoleh kembali putra mereka yang telah gugur.
Ada pula sekelompok orang Jepang yang meyakini bahwa anggota keluarganya
gugur di situ. Mereka mengumpulkan kerangka-kerangka yang tampak berserakan
saat itu, kemudian membakarnya dalam satu upacara keagamaan dan memasang
tonggak sebagai tanda peringatan bertuliskan huruf-huruf Kanji Jepang.
Museum Binsari. Di Binsari ada satu kantor sekaligus semacam “museum”
yang mengumpulkan barang-barang sisa pertempuran itu. Di museum ini kita dapat
melihat senjata dan bahan perbekalan dari kedua belah pihak. Ada botol-botol,
sendok, garpu, piring, kaca mata, jam tangan, kancing-kancing baju, lencana,
sepatu, pakaian yang telah dirobek peluru, bahkan batu cincin dan uang logam
Perlengkapan perang seperti senapan otomatis, laras panjang dan bayonet,
mitralyur, stand-gun, samurai panjang, samurai pendek untuk harakiri, pisau,
helm (dengan lubang bekas peluru), jeriken, macam-macam selongsongan peluru,
granat tangan , bom yang telah meledak maupun yang belum, semuanya dapat kita
temui di museum kecil itu. Dan tentunya semuanya dalam keadaan berkarat.
Sehabis ashar kita sampai di kantor ini. Setalah melihat-lihat museum, tour
guide membawa kita ke lokasi gua Binsari yang letaknya kira-kira 50 meter dari
kantor itu. Mendekati lokasi gua, terlihat satu tonggak dengan aksara Jepang
yang merupakan tempat keluarga Jepang tadi melakukan upacara kremasi sisa
tulang belulang korban reruntuhan gua.
Tak jauh dari situ, kita melihat pagar yang membatasi satu lubang besar
yang menganga. Lubang yang berdiameter sekitar 25 meter itu adalah atap gua
yang runtuh akibat bom dan mengubur ribuan tentara Jepang di bawahnya. Lubang
besar itu kira-kira 15 meter dalamnya. Dan di satu sisi kita bisa melihat
bagian lain dari gua itu yang masih menjorok jauh ke dalam dengan atap gua yang
masih utuh. Di sisi itulah sebenarnya terletak pintu masuk asli ke dalam gua
Binsari.
Kitapun berjalan sekitar 25 meter lagi untuk sampai ke pintu masuk gua.
Pintu masuk ini merupakan anak tangga yang turun ke dasar gua. Gua itu lembab
dengan air yang menetes di sana-sini membuat dasar gua becek dan berlumut.
Ukuran luas gua itu kira-kira 2.000 meter persegi. Di beberapa bagian dinding
gua terlihat beberapa pintu lorong yang katanya bisa menuju gua lain.
Sesampainya ke dasar gua kita berjalan ke arah lubang bekas di bom yang kita
lihat tadi.
Berada dalam gua itu sungguh merupakan suasana yang berbeda dan terkesan
mencekam. Seolah-olah kita berada di tengah “sesuatu”, ada suatu perasaan aneh.
Tepatnya, suatu perasaan menakjubkan. Boleh jadi karena tempat itu merupakan
tempat di mana terjadi kezaliman manusia atas manusia dengan segala akibatnya.
Apalagi si guide bercerita tentang berbagai kisah ynag mendirikan bulu roma.
Tempat-tempat semacam ini bisa saja menjadi tempat yang cocok untuk hunian para
jin. Konon, tempat di mana kita berdiri saat itu, masih mengubur ribuan mayat parjurit
Jepang yang tertimbun longsoran atap gua itu.
Perang Jepang melawan sekutu dimulai ketika tiba-tiba Jepang menjadi bangsa
agressor. Jepang menjadi setan yang berambisi menguasai dunia, sehingga wilayah
Asia Pasifik sempat takluk di bawah Jepang. Untuk mengimbangi agresi ini,
Amerika membentuk pasukan sekutu untuk menjadi “polisi dunia” dan menghentikan
kekejaman Jepang dengan pasukan jibakunya.
Adi tentu tahu akhir dari perang Asia Pasifik Raya ini. Amerika menjatuhkan
bom atom pertama di Hiroshima dan Nagasaki. Bom yang jauh lebih hebat
dari bom yang meledak di gua Binsari. Perang telah usai, namun meninggalkan
jutaan orang yang menjadi korban, baik yang mati maupun yang masih hidup dal
penderitaan karena cacat dan dampak radioaktif bom atom itu. Belum lagi yang
mengalami trauma psikologis. Itulah kekerasan manusia atas manusia.
Sahabat-sahabatku yang baik, kunjungan ke gua Binsari memang mengingatkan saya
betapa bisa kejamnya manusia atas golongan manusia lain. Bukankah semuanya
adalah mahluk yang diciptakan Allah dengan demikian sempurna dibanding mahluk
lainnya? Padahal yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa adalah prinsip
masing-masing tentang kebenaran ciptaan manusia yang belum tentu benar di mata
Allah.
Allah telah berfirman bahwa kita diciptakan bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa supaya saling mengenal (QS 49 - Al-Hujuraat:13) dan
memperoleh manfaat dari hubungan itu bagi kedua belah pihak. Mengapa harus
saling memerangi? Mengapa harus dengan kezaliman? Dan mengapa ini terus terjadi
di berbagai belahan dunia sampai saat ini..
Kekerasan masih terjadi di Ambon. Dalam perjalanan saya pulang dari Biak, aaya
sempat transit di Ambon dan mendapat khabar bahwa kerusuhan di kota Ambon
tengah berlangsung dengan beberapa puluh korban jiwa. Dan Aceh yang terus diterpa
kekerasan manusia atas manusia, bahkan antara sesama muslim. Terakhir, Timor
Timur yang menjadi ajang pembantaian orang Timor Timur yang
sebagian besar tak berdosa oleh para oknum tentara Indonesia yang melakukan
operasi bumi hangus.
Coba kita renungkan firman Allah berikut:
“Telah nampak kerusakan
di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan tangan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar)” ~ QS 30 - Ar-Ruum : 41 ~
No comments:
Post a Comment