Sahabat-sahabatku
yang budiman, dalam ibadah haji ada satu ibadah yang disebut tawaf, yaitu
gerakan mengelilingi Ka’bah berlawanan dengan jarum jam sebanyak 7 kali.
Hakekat dari ibadah ini adalah untuk mempertebal keimanan kita kepada Allah
swt. Yang menarik, adalah bagaimanapun kuatnya seseorang, gerakannya tidak
merupakan lingkaran yang sempurna.
Artinya jarak
terhadap pusat Ka’bah tidak selalu sama. Ada saat dimana kita begitu dekat
dengan Ka’bah, tapi tanpa terasa ada kekuatan yang mendorong kita ke pinggir,
sehingga kita harus berusaha untuk kembali lagi ketengah. Yang menakjubkan
adalah, ada jema’ah yang dengan susah payah dan segala tenaganya harus berusaha
mendekat ke Ka’bah, tapi toh tidak berhasil.
Namun ada yang
dengan santai bisa mendekat ke Ka’bah, bahkan mencium Hajar Aswad seolah-olah
ada yang mendorong atau memberinya jalan. Fenomena tawaf ini lebih jelas lagi
kelihatan kalau kita memperhatikan gerakan jema’ah dari lantai tiga Masjidil
Haram. Coba kita perhatikan satu jema’ah, maka akan kelihatan gerakannya yang
berbentuk lingkaran yang tidak menentu.
Gerakan tawaf ini
sama seperti keimanan kita terhadap Allah swt, ada pasang ada surut. Suatu saat
begitu khusyuk kita melakukan ibadah. Tapi di lain kesempatan begitu sulit
untuk khusyuk dalam sholat, begitu sulit untuk melakukan perintahNya
seakan-akan ada tarikan untuk menjauh dariNya.
Ada saat dimana
begitu mudah kita titik air mata mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang
dibaca oleh imam sholat Jum’at. Di waktu yang lain kita tidak merasa apa-apa.
Di satu waktu kita bergetar bila mengucapkan asma Allah, tapi dilain waktu tak
terasa apa-apa juga. Di satu waktu begitu rajin kita mengikuti pengajian, namun
di waktu yang lain timbul kemalasan kita dan sungguh berat untuk berangkat ke
tempat pengajian yang letaknya hanya beberapa rumah dari rumah kita. Di satu
waktu kita begitu taat mengikuti perintahNya, namun di waktu yang lain kita
justru melanggar perintah yang sama. Dulu sholat selalu tepat waktu, sekarang
semakin sering kita menunda sholat. Kenapa dulu bisa sekarang jadi berat?
Ini terjadi
karena godaan dunia dari hari ke hari semakin berat. Seakan-akan semakin besar
kekuatan yang ingin menenggelamkan kita dalam kesibukan dan kenikmatan dunia.
Sebagian besar waktu, tenaga dan pikiran kita dipacu untuk mengurus hal-hal non
spiritual. Sebagian besar untuk urusan fisik dan materi. Mulai dari kita bangun
pagi, setelah sholat beberapa menit, waktu kita habis untuk mengurus keberangkatan
kita ke kantor.
Di jalan
urusannya juga bisa macam-macam. Syukur-syukur bisa berdzikir sambil nyetir
mobil. Sampai di kantor, urusan sudah sepenuhnya tentang kerjaan. Kerja sampai
malam, pulang sudah capai, makan, sholat isya’ sebentar, lalu tidur yang bisa
lelap sampai esoknya. Suatu rutinitas yang membosankan tapi toh kita kerjakan
terus. Kalau demikian adakah waktu kita untuk meningkatkan iman kita? Adakah
waktu untuk menyiram iman kita yang semakin gersang karena kurang mendapat
siraman rohani?
Jawabannya; ada,
kalau kita mau!! Masalahnya adalah kita membiarkan diri kita tenggelam dalam
rutinitas seperti itu. Bukankah kita mengenal time manegement, di
mana kita bisa mengelola waktu yang sedikit itu untuk berbagai hal yang
esensial buat kehidupan kita? Kalau kita mau, sekali lagi, kalau kita mau maka
pasti ada waktu dan cara untuk membuat keimanan kita semakin tebal. Siapa suruh
kita kerja sampai malam? Siapa suruh anda menunda sholat? Siapa suruh anda
tidak ngaji? Itu kan semua berasal dari hati nurani kita sendiri yang enggan
melakukan hal yang sebetulnya bisa. Nah jadi usaha pertama adalah meningkatkan
kemauan ini. Kemauan untuk mengatur waktu, sehingga ada keseimbangan
antara urusan materi dan spiritual.
Usaha lain untuk
membuat iman kita tetap pasang, adalah meng-conditioning tempat kerja
kita dengan kemudahan atau setidaknya mengingatkan kita untuk melakukan
kegiatan spiritual.
Sediakan sejadah
di ruang kerja yang setiap waktu bisa dipakai. Jangan lupa sandal untuk wudhu.
Lebih bagus lagi kalau ada Al-Qur’an, Juz-amma dan buku “Bahan
Renungan Kalbu” plus ”Sentuhan Kalbu melalui Kultum”-nya Kang Dedet
di laci paling atas. Pasang satu panel kecil di dinding ruang kerja yang
mengingatkan kita kepada Allah swt., misalnya panel yang berisi Asmaul Husna.
Kalau ada radio di ruang kerja, pasanglah stasiun radio yang bernafaskan Islam,
karena sekali-sekali ditayangkan terjemahan dan tafsir ayat Al-Qur’an atau
hadits yang bermanfaat buat kegiatan kita sehari-hari.
Ikutilah ceramah
subuh di berbagai stasiun TV. Kita tinggal pilih mana yang mau di dengar. Di
mobilpun kita bisa pasang kaset-kaset atau CD ceramah atau kuliah para ustadz
seperti Aa Gym atau Zaenuddin MZ, bahkan lagu qasidah sekarang juga disamping
mengandung pesan spiritual yang bermanfaat juga enak untuk dinikmati. Ini semua
meng-conditioning kita ke arah spiritualitas.
Keimanan kita
bisa mantap dengan terus melakukan dzikrullah dimana dan kapanpun
sempat. Mengingat Allah adalah salah satu kunci keimanan kita. Berdzikir akan
mendorong kita untuk melakukan ibadah-ibadah lain sesuai perintahNya. Berdzikir
juga akan memudahkan kita meluangkan waktu untuk melakukan ibadah-ibadah itu.
Tanpa terasa kita akan mengutamakan sholat dan ibadah-ibadah lainnya. Dengan
dzikir, kita akan meninggalkan kerja atau rapat sejenak untuk sholat, bilamana
memang waktunya telah tiba. Dengan dzikir kita bisa memaksakan untuk
menghentikan aktifitas kerja hari itu untuk pergi ke tempat pengajian atau
melaksanakan aktifitas spiritual lainnya.
Nah, semuanya itu
tergantung dari hati kita. Sekuat apa kemauan hati kita untuk dekat dengan
Allah dan menjalankan perintahNya serta menjauhi laranganNya. Sama seperti
usaha kita saat bertawaf. Kita perlu usaha yang keras agar bisa dekat dengan
Ka’bah dan tidak membiarkan kekuatan lain mendorong kita ketepi. Modalnya sama;
kemauan dan tekad yang besar. Sungguh ada untungnya kita proaktif mendekatkan
diri kita pada Allah swt, sebagaimana digambarkan dalam hadits dibawah ini:
“Aku selalu menuruti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku.
Dan Aku selalu menyertainya ketika ia berdzikir kepada-Ku. Dan jika ia ingat
kepada-Ku di dalam jiwanya, maka Akupun mengingatnya di dalam Zat-Ku. Dan jika
ia ingat kepada-Ku di tempat yang ramai, Akupun mengingatnya di tempat ramai
yang lebih baik daripadanya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Akupun akan
mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku
sehasta, maka Akupun akan mendekat kepadanya satu depa. Dan jika ia datang
kepada-Ku dengan berjalan, Akupun akan datang kepadanya dengan berlari cepat.” ~ Hadits Qudsi ~
Semoga kita
senantiasa menjadi orang yang beriman mantap. Aamiin ya Rabbal’aalamiin.
Kepustakaan: 1. Al-Qur’an, 2. Bahan Renungan
Kang Dedet
Filename: THINK53-Pasang surutnya iman - Jkt,
06/01/2002, Re-edited: 8 September 2009, Ramadhan 1430 H - Copyright
2009 © Bambang Irawan
No comments:
Post a Comment