KUANTITAS ATAU KUALITAS
Dalam era yang
kita namakan demokrasi ini sangat sering kita menentukan atau memutuskan
sesuatu melalui penentuan jumlah. Kita memilih pemimpin, nasional maupun daerah
melalui pemungutan suara yang disebut pilpres atau pilkada. Kita memilih wakil
kita atawa calon legislatif dengan cara yang sama. Semuanya mengacu pada kuantitas. Yang menjadi
pertanyaan ialah, benarkah the majority atau jumlah yang paling
banyak adalah yang terbaik atau paling benar atau paling bermutu?
Manusia memang
sering sekali menghargai atau menilai sesuatu berdasarkan jumlah. Sepertinya,
kalau sesuatu sudah berjumlah banyak maka ia akan lebih baik dari yang
berjumlah sedikit. Padahal Allah mengingatkan kita tentang ini:
“Dan jika kamu ikuti kebanyakan orang-orang yang di muka
bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanya mengikuti persangkaan belaka” ~ QS 6 - Al An’aam : 116 ~
Kalau kita hayati
ayat diatas, maka Allah telah mengingatkan kita bahwa yang berjumlah banyak
belum tentu baik, benar atau berkualitas. Kebenaran atau sesuatu yang
berkualitas justru sering kali berada pada pihak yang sedikit. Banyak sekali
contoh mengenai ini.
Buih di laut sangat
banyak, tapi tidak memiliki kekuatan. Yang benar-benar memiliki kekuatan adalah
arus dan gelombang laut yang datang sesekali-sesekali. Emas dan intan adalah
benda yang sedikit terdapat, namun nilainya sangat tinggi. Bandingkan nilai
satu kilogram emas dengan beronggok-onggok besi atau sebutir intan dengan
butir-butir pasir di gurun Sahara yang luas.
Hal ini juga
berlaku pada manusia. Banyak diantara manusia yang keadaannya seperti buih di
lautan. Hanya sedikit yang berkualitas. Allahpun berfirman mengenai hal ini:
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu, sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan amat sedikitlah mereka
ini” ~ QS 38 – Shaad : 24 ~
Jadi, manusia
yang berkualitas dan menyuarakan kebenaran sesungguhnya amat sedikit. Ini suatu
kenyataan. Kita bisa lihat di sekitar kita betapa banyaknya orang yang masih
belum melaksanakan amal saleh dengan konsekuen.
Kita bisa lihat
betapa bangsa Indonesia yang 90% rakyatnya adalah muslim, tapi ternyata masih banyak
orang yang menampilkan sifat-sifat non-Islami seperti kekerasan, fitnah, saling
menghujat dan membenci, tidak mau bersatu dan lain sebagainya. Sungguh suatu
kondisi yang masih jauh dari masyarakat Madani yang kita inginkan.
Kalau kita
melihat sejarah perkembangan Islam, maka kita tahu betapa committed-nya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam dan para
sahabatnya pada kualitas ummat. Pergerakan dakwah Nabi dimulai dari yang
sedikit tapi berkualitas tinggi, walaupun usaha dari kaum Quraisj untuk
menghambat dakwah Nabi sungguh dahsyat.
Namun dengan
kesabaran dan ketaqwaan yang tinggi Nabi dan pengikutnya akhirnya mencapai
kesuksesan. Dalam 13 tahun pertama dakwah Nabi saw di Makkah pengikut Nabi saw
hanya sekitar 300 orang. Mereka inilah yang turut hijrah ke Madinah dan
merupakan cikal bakal masyarakat Madani yang berhasil membangun kejayaan Islam.
Kehidupan bangsa
di dunia ini - disamping contoh tentang negeri kita di atas - bisa memberikan
gambaran tentang hubungan antara kualitas dan kuantitas. Negara-negara besar
dengan penduduk yang banyak seperti Cina dan Sovyet Uni (dulu) ternyata komunis
dan atheis alias tidak mengakui adanya Tuhan.
Negeri-negeri
kecil di Eropa dengan penduduk yang jauh lebih sedikit malah penganut agama
yang taat, bersifat seperti yang tersurat dalam Al Qur’an walaupun mereka bukan
orang Islam. Di negara-negara kecil yang berpenduduk sedikit itu, kebenaran dan
keadilan lebih bersuara melalui tegaknya hukum yang berlaku. Jarang sekali kita
mendengar adanya pelanggaran HAM karena memang betul-betul ada pemahaman atas
nilai-nilai tentang kemanusiaan dan kehidupan.
Di negara dengan
penduduk banyak, HAM malah sering dilanggar. Contohnya adalah di Indonesia.
Banyak diantara kita - yang kemungkinan besar adalah seorang muslim (probability-nya 90% lho!) - tidak begitu
peduli apakah HAM dilanggar atau tidak.
Ada satu hal
lagi, yaitu bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala menilai kita bukan dari banyaknya
harta (kuantitas) yang kita miliki, namun Allah memuliakan manusia satu atas
yang lainnya berdasarkan ketaqwaannya (kualitas). Oleh karena itu, sifat taqwa
perlu kita latih dan tempa sejak dini yaitu dengan mengutamakan berlatih
kesabaran, mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa Ramadhan dan ibadah-ibadah
lainnya. Ini harus mulai kita lakukan, sedikit demi sedikit. Dengan demikian
ketaqwaan kita akan semakin tertanam dalam diri kita sehingga kita bisa semakin
mulia di dihadapan Allah subhaanahu wa ta’ala.
Saudara-saudaraku
yang di rahmati Allah, seiring dengan itu, ada satu pepatah Inggris terkenal; “Small
is beautiful” yang artinya sesuatu yang kecil atau sedikit itu indah.
Mulailah sesuatu dari yang kecil, tapi jadikanlah sesuatu itu berkualitas.
Jangan langsung mau yang besar atau banyak saja, tanpa memperhatikan
kualitasnya. Yang sedikit namun berkualitas itu, sedikit demi sedikit kita
jadikan banyak, namun tetap harus berkualitas. Begitulah kiranya kita harus
mengisi hidup kita yang penuh taqwa kepada Allah subhaanahu wa ta’ala.
Bagaimana
pendapat anda?
Kepustakaan: Al-Qur’an,
Lembaran Dakwah Keluarga Marhamah no. 389, Pengajian Kang Dedet.
Filename: THINK39-Kuantitas atau
kualitas - Jkt, 20 Oktober 1999, Re-edited: 4 September 2009, Ramadhan 1430 H
Copyright 1999 © Mimuk Bambang
Irawan
No comments:
Post a Comment