Aku Benar Kau Salah
Al-Hafizh As Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Al-Shiddiq Al-Ghumari
Al-Hasani adalah seorang ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar
AL-HAFIZH (Gelar tertinggi dalam bidang ilmu hadits).
Beliau memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan
ulama kaum Wahhabi. Dalam kitabnya: ( جؤنة
العطار في طرف الفوائد ونوادر الأخبار), sebuah autobiografi yang melaporkan
perjalanan hidupnya, beliau mencatat sebuah kisah sebagai berikut ;
“Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya
berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di
Mekkah yang beliau juga seorang ulama Wahhabi dari Najd.
Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka
ahli hadits, amaliahnya paling sesuai dengan hadits dan anti terhadap taklid.
Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah
Subhanahu wa Ta‘ala dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy
sesuai dengan ideologi Wahhabi.
Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal
(zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala itu ada di
atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka. Seperti ayat ;
الرَّحْمَنُ
عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ) طه/ 5
“Ar Rahman yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS Thoha : 5)
ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ ) الأعراف/ 54
“Kemudian IA bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS Al A’raaf :
54)
Akhirnya saya (Ahmad Al-Ghumari) berkata kepada mereka:
“Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bahagian dari
al-Qur’an?”
Para Ulama Wahhabi itu menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat
tersebut dihukumi wajib?”
Para ulama Wahhabi serentak menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Lalu bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa
ta‘ala:
وَهُوَ
مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ). (الحديد : ٤)
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada?!” (QS.
al-Hadid : 4).
Apakah ini juga termasuk al-Qur’an?”
Para ulama Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, tentu saja termasuk
al-Qur’an.”
Saya berkata:
“Lalu bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
مَا
يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ وَهُوَ رَابِعُهُمْ. (المجادلة : ٧).
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan
Dia-lah yang keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7).
Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Para ulama Wahhabi itu menjawab: “Ya, itupun termasuk
al-Qur’an.”
Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala tidak di langit). Lalu mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda
sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya
sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala tidak ada di
langit..?!
Padahal kesemua ayat tersebut juga dari Allah Subhanahu wa
Ta‘ala?”
Para ulama Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad yang mengatakan
demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Nah, mengapa kalian kali ini malah
taklid kepada pendapat Imam Ahmad dan tidak mengikuti dalil..?!”
Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun
keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka yang lain,
yaitu bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara
ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala ada di langit tidak
boleh dita’wil…
Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan
bertanya lagi kepada mereka, lalu siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat
yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan
tadi…?!
Seandainya mereka pun mengklaim adanya ijma’ ulama yang
mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan
menceritakan kepada mereka informasi beberapa ulama Muhaddits besar seperti
al-Hafizh Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua
ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan
tafwidh (menyerahkan pengertiannya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala).”
Demikian kisah Al-Imam Al ‘Allamah Al-Hafizh Ahmad bin
Al-Shiddiq Al-Ghumari dengan tiga ulama besar kaum Wahhabi pada masanya.
KESIMPULAN :
Saya menceritakan kisah ini bukan untuk mencela siapapun, dan bukan untuk berdebat kepada siapapun, karena umur saya sangat pendek dan saya tak sempat mengisinya dengan perdebatan, namun saya hanya ingin menunjukkan bahwa jangan pernah kita mengklaim bahwa KEBENARAN adalah hanya milik satu kelompok, dan yang lain adalah salah. Bersikeras bahwa ‘aku benar, kau salah’ hanyalah menimbulkan pertentangan, bukan saling pengertian dan kedamaian. Hendaklah kita saling menghormati walau dalam perbedaan, Islam hanya akan menjadi indah jika kita bisa saling mengakui kelebihan dan kelemahan kita dan juga orang lain wahai saudaraku.. So, hindarilah sikap ‘aku benar kau salah’
Nafa’ana
waiyyaakum… AamiinSaya menceritakan kisah ini bukan untuk mencela siapapun, dan bukan untuk berdebat kepada siapapun, karena umur saya sangat pendek dan saya tak sempat mengisinya dengan perdebatan, namun saya hanya ingin menunjukkan bahwa jangan pernah kita mengklaim bahwa KEBENARAN adalah hanya milik satu kelompok, dan yang lain adalah salah. Bersikeras bahwa ‘aku benar, kau salah’ hanyalah menimbulkan pertentangan, bukan saling pengertian dan kedamaian. Hendaklah kita saling menghormati walau dalam perbedaan, Islam hanya akan menjadi indah jika kita bisa saling mengakui kelebihan dan kelemahan kita dan juga orang lain wahai saudaraku.. So, hindarilah sikap ‘aku benar kau salah’
sangat bermanfaat ustadz.. ijin share ya.
ReplyDelete