800.000 TITIK CAHAYA
Tetiba
Saya dapat WA japri dari Pak Ki Isnadi, Guru senior kami di padepokan Grounded,
pemilik Geprek Group dan aktivis filantropi, Ketua Lazismu Jawa Tengah. Beliau
menyampaikan bahwa tulisan yang berjudul "Negeri Ramah Filantropi" cukup
menjadi bahasan di grup WA beliau.
Keberadaan
beliau saat ini sedang ziarah di Nabawi dan Umroh Mekkah, tetapi perhatiannya
pada kehidupan ummat masih terus menyala. Dalam percakapan sederhana, Saya
berjanji menulis lengkap tentang ide
pemberdayaan masjid. Semoga bermanfaat bagi seluruh pemakmur masjid di
seluruh nusantara.
Bismillah...
*****
Sahabat,
jika organisasi bisnis kita sedang sulit, kas mengering, modal terbatas, aset
mesin sedikit, maka pada situasi seperti ini, kita memerlukan kreativitas tingkat
tinggi. Dan kreativitas bisnis yang paling utama itu adalah MEMANFAATKAN apa
yang kita miliki hari ini. Usabilitynya
kita maksimalkan.
Misalnya
kita punya mesin yang beroperasi 10 jam sehari, mari kita berfikir bagaimana
bisa 20 jam sehari.
Misalnya
kita punya ruko 3 lantai, lantai 1 outlet, lantai 2 kantor, lantai 3 kosong,
maka mari kita berfikir untuk memaksimalkan semua lantai agar menghasilkan REVENUE. Kalo perlu kantor pindah ke
rumah kontrakan, ruko pinggir jalan tersebut, 3 lantainya kita buat bisnis
Lantai
1 outlet makanan
Lantai 2 bimbel
Lantai 3 fitness muslimah
Misalnya
begitu.
Ini
pulalah yang harus kita fikirkan dalam membangun kekuatan ekonomi di tubuh
ummat, jangan sampai kita malah membelanjakan kekuatan dana pada tempat yang
tidak semestinya.
Saya
ambil contoh, ketika kita bicara tentang pendidikan tingkat tinggi, kita
berbicara tentang kampus. Dan ketika kita berbicara tentang biaya kuliah, porsi
uang masuk dan uang gedung menjadi bagian paling besar.
Sementara,
ummat ini memiliki 800.000 gedung yang
hanya dipakai 5 jam per hari. Gedung itu bernama : MASJID.
Disinilah
awal mula ide pemberdayaan Masjid sebagai asset ummat. Dari pondasi pemikiran
ini, kita harus kembali memaknai... sudah sejauh mana kita MEMANFAATKAN 800.000
asset ini.
*****
Narasi
tentang pemberdayaan masjid ini akan Saya sampaikan secara runut.
Pertama,
optimalisasi masjid sebagai sarana ibadah.
Kedua, optimalisasi masjid sebagai
titik manajemen ummat.
Ketiga,
optimalisasi masjid sebagai asset fisik.
*****
Kita masuk pada
pemikiran pertama, masjid sebagai sarana ibadah.
Sahabat,
masjid biasanya dibangun secara bersama-sama oleh warga, walaupun ada masjid
yang memang dibangun oleh pribadi. Perbedaan yang nampak nyata adalah... masjid
yang dibangun oleh kekuatan publik biasanya lemah pada pengelolaan, dan masjid
yang dibangun personal biasanya terkelola baik. Sederhananya, karena ada
sponsor personal yang terus menyuplai kebutuhan perawatan masjid.
Pada
ruang pemikiran pertama ini, Saya lebih memodelkan masjid yang memang dibangun
bersama.
Masjid
yang dibangun bersama berarti dimiliki bersama, dimiliki oleh warga. Artinya ia
adalah milik ummat. Didalam bisnis, ummat menjadi "owner" dari masjid.
Tapi
disisi lain, masjid juga dituntut melayani ibadah jamaah, maka ummat juga
berada pada posisi "market"
dalam waktu yang bersamaan.
Yang
biasanya belum ada adalah "Dewan Eksekutif" yang memang menjalankan
masjid secara profesional. Dewan direksi beserta jajarannya.
Sebagian
masjid membentuk Dewan Kepengurusan Masjid (DKM), dan DKM secara sukarela
menyisihkan waktu untuk mengurus masjid. Pada pengurus DKM usia produktif,
mengurus masjid tidak bisa menjadi aktivitas utama, karena harus bekerja dan
berbisnis mencari nafkah. Akhirnya mengurus masjid menggunakan waktu sisa.
Jika
para pensiunan mewarnai DKM, aura eksekusinya juga tidak bisa diharapkan cepat,
karena natural organisasi itu dijalankan oleh usia produktif. (Dengan tetap
menghargai para pensiunan yang menjadi DKM)
Maka,
perlu digagas dewan eksekutif yang profesional dalam kepengurusan masjid. Muda, berkapasitas dan memang full dedikasinya
untuk mengurusi masjid.
Akhirnya,
ada Owner beserta jajaran komisaris dan ada CEO beserta jajaran eksekutornya.
Ide
gila nya disini : 1 masjid, harus dikelola oleh 1 CEO profesional dengan kepuasan
jamaah sebagai Key Performance Indicator
nya.
1
CEO
1 direktur operasional-ibadah
1 direktur keuangan
1 direktur komunikasi-media
1 direktur ziswaf
1 direktur pembinaan jamaah
1
direkrur General Affair
1
CEO... 6 Direktur ... 7 BOD. 1 direktorat bisa merekrut lagi 5 staff. Akhirnya
1 masjid bisa menyerap 37 tenaga kerja.
Bayangkan
angka 800.000 masjid x 37 tenaga pengelola. Anggaplah dengan masjid kecil,
menjadi 20 pengelola per masjid, berarti untuk ranah pelayanan masjid saja,
terbuka 16 juta lebih lapangan kerja baru.
Turunan
dari cara kerja seperti ini akan sehat. Bapak-bapak DKM tetap elegan menjadi
pengurus DKM. Bapak-bapak akan menjadi owner dan mengawasi kerja jajaran eksekutif.
Ini mirip owner bisnis ngontrol pekerja.
Kan
memang iya, uang ummat menggaji CEO+team dan mereka kembali melayani ummat,
diawasi oleh perwakilan ummat... share holders..., namanya DKM.
Selanjutnya,
SDM timur tengah yang sudah belajar diinul Islam, Quran, Hadist, akan
terberdayakan dengan baik. Jika 1 masjid butuh 1 imam hafidz dan terdidik, maka
kita bisa menyerap 800.000 hafidz. 800rb imam, 800rb muadzin.
Selanjutnya,
SDM yang sekolah zakat, sekolah ekonomi, bisa duduk di direktorat keuangan dan
zakat. Semua terberdayakan. Belum lagi kita bicara direktorat pembinaan jamaah
yang akan saya sampaikan detail di poin ketiga.
*****
Poin kedua adalah
masjid sebagai titik menajemen ummat.
Jika
kita bicara manajemen, kita bicara tentang SIAPA yang kita kelola dan
BAGAIMANA, mau diapakan.
Jika
kita hadir ke sebuah masjid, dan hadir ke jajaran DKM, mari tanyakan hal ini :
1.
Berapa KK yang dilayani oleh masjid ini.
2. Ada berapa laki-laki dewasa yang
telah sadar menjadi jamaah ini, nama, usia, profesi, keahlian, dan rumahnya
dimana.
3. Berapa anak-anak muslim yang harus
menjadi perhatian masjid ini.
4.
Berapa muslimah...
Terus..
terus dan terus.. data.. data.. dan data.. dan saya yakin.. datanya tidak ada.
Kecuali memang masjidnya profesional.
Saya
ingin membuka mata anak bangsa : Jumlah kelurahan dan desa di Negeri ini,
menurut data BPS 2016, itu ada 82,030. Ada selisih dengan data lain, tapi bisa
dibilang 80.000an
Jika
jumlah masjid ada 800.000 dan jumlah desa kelurahan ada 80rb, berarti 1
desa/kelurahan terdapat 10 masjid. Sebuah proporsi yang pas untuk manajemen
ummat.
Sahabat,
bayangkan,....
Islam
menuntun shalat berjamaah 5 waktu di masjid. Berarti ada sekumpulan laki-laki
baligh dewasa yang "meet up" 5x sehari. Anehnya, meet up 5x sehari...
tetapi hampir tidak ada sinergi yang terjadi. Yang nganggur tetap nganggur,
yang sulit kuliah tetap sulit kuliah. Aneh bukan?
Konsep
masjid sebagai wahana manajemen ummat, dalam benak Saya adalah benar-benar
mengurus dan mensinergikan seluruh kekuatan yang ada dalam tubuh ummat.
Masjid
memutuskan sejauh mana rentang wilayah layanannya. Petakan. Tarik area pake
spidol. Arsir. Ini wilayah layanan masjid A. Clear.
Lalu
masjid mendata seluruh kaum muslimin pada area tersebut, pokoknya yang muslim
didata. Mau ke mesjid atau tidak, harus menjadi target layanan masjid. Kan
dimandikan dan disholatkannya disitu toh?
Dari
data ini akan terbaca, tingkat pendidikan, keahlian, engagement dengan masjid,
bahkan sampai kebutuhan dan masalah yang sedang dihadapi.
Lucu
donk, ada anak muda bolak balik 5 waktu ke masjid, 5 bulan nganggur, sementara
di mesjidnya ada pengusaha yang punya bisnis 100 outlet. Ini gak lucu blasss.
Lucu
donk, ada jamaah yang bingung nyari guru private kalkulus anaknya, sementara
sarjana matematika bolak balik berjamaah disebelah si bapak.
Pendataan
ini adalah fungsi manajamen dan dengan begini... CEO masjid tidak hanya
berfikir proses ibadah berjalan baik, tetapi juga beliau memiliki LIST UMMAT
yang harus dilayani. Makanya wajar SDM dedicated, karena kerjanya full time.
-
bapak itu sudah dapat kerjaan belum?
- ibu itu single parent butuh
dicarikan suami nggak?
- anak keluarga itu pinter tapi kok
gak kuliah kenapa?
- adek itu kok masih nganggur aja.
-
mas itu bisnis kayaknya kurang modal.
Hayuk..
masjid bantu.. kira-kira jamaah kita ada yang punya solusi gak ya?
Bahasan-bahasan
seperti ini harusnya menjadi wahana kerja setiap BOD masjid di 800.000 masjid
yang ada. Bayangkan... saya membayangkan saja merinding.
Konsep
pelayanan seperti ini akan menarik kekuatan donasi ummat lebih besar. Karena
ada programnya be-RESONANSI. Ummat Islam Indonesia ini mudah, selama ada
program, urunan jalan. Gampang. Asal konkret, komunikasi baik. Semua akan
mengalir.
Dengan
begini, potensi kekuatan ummat akan hadir. Setiap warga muslim yang terdaftar
di masjid tertentu akan terperhatikan. Ikatan-ikatan sosial kita sebagai ummat
akan kokoh. Karena masjid hadir bukan hanya sebagai fungsi fisiknya, tetapi
fungsi intrinsiknya : melayani kebutuhan ummat
*****
Poin ketiga, masjid
sebagai asset fisik ummat.
Sahabat,
jika Anda berbisnis, Anda pasti memahami usability = Tingkat kegunaan asset
yang Anda punya.
Masjid
yang dibangun oleh sebagian besar ummat ini, relatif HANYA digunakan 5 waktu
dalam sehari. Itu saja. Jika dari adzan hingga selesai dzikir dan doa itu
anggaplah 1 jam, maka masjid hanya digunakan 5 jam dari 24 jam yang ada.
Anda
punya pabrik, dipakai 5 jam saja.
Anda punya warung, buka 5 jam saja.
Anda
punya mesin fotokopi, bekerja 5 jama saja.
Bagaimana
perasaan Anda?
Ratusan
bahkan miliaran rupiah UANG UMMAT sudah di investasikan untuk bangun masjid,
tetapi dipakai hanya 5 jam bahkan kurang per hari. Bagaimana perasaan Anda?
Bagaimana guncangan fikiran Anda saat ini?
Dari
pemikiran ini, sahabat muslim dengan fikiran pemberdaya, tidak boleh
mengijinkan hal ini terjadi. Mubazir.
Mari
tantang fikiran kita.
Setelah
subuh, masjid lengang mulai pukul 7.00. Coba kita bikin program :
7.00
sd 9.00 : ruang utama masjid jadi wahana kelas hafalan quran untuk remaja yang
belum kerja, masih nunggu kuliah, atau memang bisnis, entrepreneur waktunya
bebas.
09.00
sd 11.30 : masjid menjadi kampus. Buka kelas non formal. Bikin silabus.
Pengajar cari relawan. Masjid dipakai gratis. Berarti mahasiwanya bisa gratis.
Ini solusi pendidikan.
Pada
jam ini, ibu-ibu relatif sudah antar anak ke sekolah. Bisa dilakukan taklim
ibu-ibu. Jika tidak, selasar masjid menjadi wahana pengajaran bikin roti,
menyulam, kerajinan, bahkan kejar paket A, B, C. Apa aja... yang penting
manfaat untuk ummat.
13.00
sd 15.00 : mata kuliah kedua. Untuk masjid kampus. Selasar bisa adakan kegiatan
lain.
16.00
sd 17.00 : TQA dihidupkan, jika sudah banyak anak-anak yang sekolah si SDIT,
bisa jadi sekolah Quran untuk jamaah dewasa.
20.00
keatas : dirosah islami, ajarkan ummat shiroh, hadist, fiqh, selesai jam 21.00.
Majelis cair terbuka setiap malam.
Pertanyaannya,
yang ngajar siapa, SDM nya mana...
Kan
ada nomor 2 diatas. Masjid banyak uang. Manajemen kokoh. Ada SDM dedicated. SDM
pengajar bisa dibayar secara profesional. Dan akan sangat layak.
Intinya
mari kita maksimalkan. Bahkan lebih dahsyat lagi, malam harinya bisa gunakan
area tertentu untuk tempat inap musafir atau sahabat tunawisma. Kenapa nggak?
Semacam shelter inap semalam.
Ambil
satu space, lapisi karpet khusus, beri hijab pembatas, jadikan masjid ramah
musafir, ramah orang lemah. Disitulah da'wah akan terasa sangat mendalam dihati
ummat.
Anak-anak
muda bisa wifi-an di masjid. Block aja konten yang negatif.
Beri
space berkumpul dan bercengkarama di masjid. Masjid ramah pertemuan.
Ada
area masjid untuk playground anak-anak balita. Biar akrab sama masjid, dan saat
shalat fardhu dijaga baby sitter khusus. Digaji oleh masjid.
Masjid
menjadi tempat bimbel, pelatihan bisnis, diskusi, meet up, yang gak boleh kan
jualan di dalam masjid. Pekarangan boleh kayaknya. Banyak koperasi di komplek
mesjid kok.
Intinya
gunakan. Jangan begitu mau digunakan, ada info : "adik-adik remaja masjid
pake acaranya di selasar ya, soalnya karpet masjidnya baru beli"
Ya
Salaammm... ini terjadi... aseli... karpet dibelain.. generasi muda Islam gak
dikasih tempat... YA Rabb...
*****
Tulisan
Saya apa adanya. Saya sudah memaksimalkan diri sesopan dan sesantun mungkin.
Ini sebabnya, dalam setiap roadshow, Saya selalu minta sesi kuliah subuh ke
masjid-masjid.
Alasan
pertama biar ada yang jemput paksa shalat subuh. Hehehehe..
Alasan
kedua, karena di masjidlah kekuatan utama ummat ini. Itupun kalo
dimaksimalkan.
Karakteristik
ummat Islam Indonesia ini "wait and see". Mereka tidak begitu cepat
dan inisiatif membangun sesuatu. Pemalu, gak enakan, takut konflik, malas
ngasih saran. Keranan masjid bocor aja gak ada yang berani ngasih masukan.
Tetapi
ketika ruang-ruang kolaborasi dan sinergi dibuka, maka kekuatan akan datang.
Ketika pelayanan jelas terasa, donasi akan hadir berlimpah.
Sama
seperti bisnis. Maaf banget. Logika ini harus saya sampaikan.
Jika
perusahaan Anda jasa layanannya baik, maka market akan berulang beli layanan
Anda. Jika tidak. Market tidak repeat.
Saya
merasakan sendiri, jika sebuah masjid progressnya baik, terawat, ekosistem
pengelolaannya terasa, maka kita pasti mau dukung maksimal.
Saya
secara pribadi berharap, tulisan ini bisa mendorong banyak DKM untuk berbenah
diri. Kemudian melangkah berani membangun sistem layanan profesional pada
masjid. Dan kemudian menyadarkan ummat Islam, untuk kemudian MENGINDUK ke
masjid-masjid terdekat. Shalatlah fardhu di masjid, dan bangunlah ikatan sosial
sesam ummat Islam.
Perlu
ada keberanian membayar 1 CEO masjid senilai 15 juta rupiah per bulan, ketika
memang beliau mampu membangun layanan untuk 1.000 KK muslim, dengan raihan
donasi 1M per bulan, baik dari jamaah, donatur corporate ataupun amal usaha
masjid. Kenapa tidak?
Jika
masjid melakukan 3 fungsi diatas, maka secara cepat kita akan meningkatkan
kualitas pendidikan ummat, kualitas ekonomi ummat dan kualitas sosial ummat.
Ummat
Islam yang 225 juta ini akan ter urus baik melalui kehadiran masjid-masjidnya
yang menjadi simpul layanan sosial.
Pada
keadaan yang cukup gelap, maka Saya menyebut masjid sebagai 800.000 titik cahaya.
Teranglah
wahai bangsa ku.... nyalakan cahayamu...
Narator Bangsa, Rendy Saputra
No comments:
Post a Comment