KEWAJIBAN ISTRI TERHADAP SUAMI –
Bagian 1
Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus
tentram dan langgeng. Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan
adalah pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui
manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena
itu, mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting.
Sehingga istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia
emban dalam rumah tangga. Kali ini rumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban
istri. Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah
bahasan untuk istri selesai. Allahumma
yassir wa a’in.
Keagungan Hak Suami
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan
dalam ayat berikut ini,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا
فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisaa’: 34)
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar
sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ
لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ
لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud
pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada
suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi
kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu
Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang
menyebabkannya masuk surga. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima
waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga
kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka
dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga
melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan
Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق
الزوج
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan
seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami”
(Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka
setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi
kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak
membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik
wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ
وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا
يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu
yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah,
dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci”
(HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan
shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di
neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah
datang ke tempat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam karena
satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ:
كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ:
فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi
Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau
terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak
pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lihatlah
di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah
surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahihsebagaimana kata Syaikh Al Albani
dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika
istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria
lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka
perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ
فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam juga
memperingatkan,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat
kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan
izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ
تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”
(QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali
dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya
ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang
istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata,
“Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas
mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ
فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang,
lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu
Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ
يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي
فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri
menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada
istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no.
1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya
wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah
uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih
Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan,
maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan
izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada
haji Wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ
أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ
اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا
تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita
(istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah
dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak
kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak
kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no.
1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا
شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ،
وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ
شَطْرُه
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa
(sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh
mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia
menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah
pahalanya”.(HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu
Hurairah,
لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا
وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun
untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin
suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth
bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami
ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan
asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan
izin suami
Para fuqoha telah
sepakat bahwa seorang
wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan
izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yangmuttafaqun
‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا
شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa
sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”
(HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa
Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin
suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392
mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
izin bisa jadi dengan ridho
suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di
atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan
waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di
atas adalah larangan haram.”
(Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud
larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di
bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan
dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin
suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin
suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan,
“Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin
suaminya, puasanya
tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat
mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah
menyatakan seperti itu haram
jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak
berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah,
puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin
suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28:
99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada
dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti
puasa senin kamis[1]),
(2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari
yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan
berikutnya.[2]
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri
tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah.
Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang
bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin
melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu
pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di
tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang
menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih
utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak
suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan
dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab
terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak
untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap
harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa
sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim,
7: 115)
Bersambung insya Allah …
Semoga
bermanfaat.
Wasallam, Mimuk Bambang Irawan
Jakarta, 16 Agustus 2014
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
No comments:
Post a Comment