SHALAT JUM’AT DI HARI RAYA
Hukum Sholat
Jumat Bersamaan Dengan Hari Raya (Idul Fitri / Adha)
Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tahun ini (1436 H/2015 M), kemungkinan hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Jumat. Apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari
penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka
diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau
padang gurun (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak
dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka
–yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka
terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini
pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jumat wajib tetap
ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh
penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya
shalat hari raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi
orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka
wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama
gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi
shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah.
Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.
Kami berpendapat bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal,rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai
berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan
shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban
atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan
boleh juga tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan
shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan
shalat Jumat.
Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan
shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib
melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak
melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat,
tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum:
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah
melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang
shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata
:
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ
رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat)
kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat.
Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah
dia shalat.” (HR.
Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :
قَدْ اجْتَمَعَ فِي
يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا
مُجَمِّعُونَ
“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya.
Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari
raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan
Jumat.” (HR.
Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu
Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan
ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain
menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah
shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh
dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama)
Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan
rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya
ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang
disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu
udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan
mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena
terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu
tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap
disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.
Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam
kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli”
(barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah
manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari
hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai
syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak
perlu shalat Jumat.”
Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya,
gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan
shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama
(afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya,
antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih
utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan
salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.
Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan
shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits
kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan
mengerjakan Jumat).
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk
meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib
shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.
Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang
telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak
mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah
kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti
(badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu
shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum
asalnya, yaitu shalat zhuhur.
Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari
raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan
baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan
shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya.
Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah,
sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi
SAW bersabda “fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang
berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak
perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya,
yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut
menjalankan shalat Jumat.
Pendapat Imam Syafi’i:
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang
jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut
hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk
desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota
untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak
diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik
bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung
atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi
kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari
raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak
dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu)
dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk
kepadanya…”
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik
bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung
atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi
kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari
raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak
dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu)
dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk
kepadanya…”
Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.
Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.
Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang
shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut
Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis
hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah
(tidak wajib).
Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah
ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah
bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak
wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat.
Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan
dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib
shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.
Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut
didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA
sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :
عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي
يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ
يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul
pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan
melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak
menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR Abu Dawud).
Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat,
sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka
dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum
penggantinya.
KESIMPULAN
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari
raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied),
gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat
dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat
Jumat.
Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya
tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya
melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan
shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk
meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai
dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.
M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, adalah
Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia dan pengasuh Pondok Pesantren
Semoga bermanfaat
Wasallam, Mimuk Bambang Irawan
Bekasi, 1 Syawal 1436 H
No comments:
Post a Comment