Qodaran
Sebuah kontemplasi kehidupan rakyat
kecil yang nggak mengenal gaji ke-13, THR..dsb..
‘Wah…pisangnya bagus-bagus Mbah…’ Kataku sembari berjongkok di
depan perempuan sepuh yang berjualan di pinggir jalan depan pasar..’
‘Lha monggo dipundut....… " kata perempuan itu riang.
Sungguh sudah sangat sepuh, rautnya penuh kerut. Kulitnya hitam.
Kurus badannya. Tapi suaranya cemengkling riang, giginya terlihat masih
utuh....
‘Ini kepok kuning… bagus dikolak. Ini kepok putih… kalau
digoreng sangat manis’. Lha kalau itu… pisang pista, kulit tipis… harum manis. Tapi
jangan dibeli karena belum mateng…...’
Aku hanya diam memperhatikan gerak tangannya yang cekatan, meskipun
telah ndredheg (gemetar.) ‘Sudah lama jualan, Mbah…?’
'Belum, ini ngejar rejeki buat lebaran?’
‘Putranya berapa Mbah?’
‘Kathah , banyak ..… pada glidik/kerja…’
‘Kok nggak rehat aja to Mbah… siyam-siyam kok jualan’
‘Lha nggih, ini karena siyam niku to, nggak boleh rehat… Mumpung
Gusti Allah paring sehat…’
Aku tercenung dengan jawaban perempuan sepuh itu.... Kulihat
tangannya ngelap kening dan dahinya yang
dlèwèran keringat dengan selendang lusuhnya.... Diantara para penjual ‘liar’
dipinggir jalan depan pasar itu, perempuan sepuh ini satu diantaranya yang
menggelar dagangan tanpa iyup iyup/ peneduh. Padahal hari itu panas luar
biasa...
‘Kalau pulang jam berapa Mbah?’
‘Kalau pulang jam berapa Mbah?’
‘Jam tiga sudah pulang ..…, lha ada kewajiban nyiapkan wedang
buat anak-anak TPA’
‘Kok kewajiban, yang mewajibkan siapa Mbah ?’
‘Nggih kula, ya saya sendiri …’
‘Ooo…begitu…. Setiap hari, selama puasa?’
“Inggih… wong cuma anak limapuluhan..’
‘Wah panjenengan hebat nggih Mbah…’
‘Halah cuma wedang sama penganan kecil-kecil.. Yang penting
bocah-bocah rajin ngaji…, mbah sudah seneng. Jangan bodoh kaya Mbahe yang cuma
bisa Fathikah…’
Aku makin tercekat.
Kumasukkan semua pisang yang ditawarkan ke dalam tas kresek.
‘Kok banyak banget ...... mau buat apa?’ Tanya si mbah
heran.
Aku hanya tersenyum. ‘Semua berapa Mbah?’
Perempuan sepuh itu menyebutkan nominal yang membuatku
tercengang... ‘Kok murah banget Mbah…’
‘Mboten… itu sudah pas, ini bukan pisang kulakan, panen kebun
sendiri...’
‘Nggih…matur nuwun…’ kataku sembari mengulurkan uang....
‘Aduh… mboten wonten susukepun/nggak ada kembalian, dereng kepayon/
belum laku…’
‘Saya tukar dulu Mbah…’ Aku sengaja meninggalkan perempuan sepuh
itu. Pisang telah kuletakkan di
motor. Mesin motor pun kunyalakan... Agak menjauh dari perempuan sepuh itu.. Kumasukkan
beberapa lembar uang lima ribuan yang masih baru, ke dalam amplop, Cukup dibagi
satu satu untuk anak TPA yang
katanya cah limapuluhan tadi. Penutup lem ampop kubuka lalu kurapatkan. ‘Niki
mbah, sudah saya tukar, sudah pas nggih…’ Perempuan sepuh itu menerima amplop
masih dengan tangan dredheg gemetar. Tanpa menunggu jawaban, aku segera
pergi...
Esoknya aku mampir lagi…tapi kosong. Berikutnya aku mampir
lagi…kosong juga. Penasaran kutanyakan pada ibu pedagang sebelahnya. ‘Mbahe kok
nggak jualan Mbak?,
‘Oh nggak, beliau … jualan kalau panen pisang aja, . ‘Sampyean
to yang kemarin ngasih amplop ... Walah Mbahe nangis ngguguk ..…jare bejo,
dapet qodaran.' . ujarnya
Qodaran barangkali yang dimaksudkan adalah Lailatul Qadar. Malam
yang konon lebih baik dari 1000 bulan. Para malaikat turun dari langit, Langit hati kita. Allah melapangkan rejeki
dan kemuliannya bagi yang dikehendaki, Pun mempersempit bagi yang dikehendaki
pula... Rejeki sesuai kapasitas kita... Lantas siapakah yang mendapatkannya??
Barangkali perempuan sepuh inilah yang mendapatkannya. Bukan
karena ia ahli ibadah.... Bukan pula karena I’tikafnya yang kuat di
masjid. Tapi dialah pelaksana dari yang katanya ‘hanya’ bisa fathikah itu.
Kesungguhan I’tikaf yang luar biasa. Bertindak, berlaku, dan berpasrah
dalam keriangan rasa. I’tikaf di masjid yang digelar dalam keluasan yang maha. Bukan
masjid yang sekadar bangunan ibadah. Kecintaannya yang sederhana dengan
penyiapan wedang dan penganan bagi limpuluhan bocah selama puasa, sungguh bukan
perkara mudah. Hanya cinta tuluslah yang bisa.
Aku jadi teringat pertanyaan teman, tentang pencapaian Lailatul Qadar. Benarkah
memang malam Lailatul Qadar turun di 10 hari terakhir malam ganjil? Maka … malam
terbaik dari 1000 bulan bukanlah instan... Tak bisa dijujug dengan akhiran,
semua butuh proses… karena karunia terindah butuh wadah. Yang dibangun dengan
menapis kebaikan sebelum, selama dan sesudah Ramadhan. Itulah sesungguhnya QODARAN, hakekat dari Lailatul Qadar, Rejeki
tak terduga ..... Subhanallah, semoga terinspirasi..
No comments:
Post a Comment