TURUNNYA SURAH 4 – AN NISAA
AYAT 128
Kisah Saudah
binti Zam’ah RA yang ingin dibangkitkan sebagai isteri Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam.
“Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. ~ QS 4 – An Nisaa’ : 128 ~
Pada tahun
ke 10 setelah kenabian, kaum Muslim dikejutkan dengan meninggalnya Khadijah
bint Khuwaili, Ummul Mukminin yang pertama, isteri yang sangat dicintai dan
dimuliakan Rasulullah. Kematian Khadijah yang senantiasa mendampingi Rasulullah
dalam suka dan duka, semakin memberatkan tekanan hidup Rasulullah. Para pemuka
Quraisy semakin gencar menyerang dan menyakiti beliau dan kaumnya, sementara
Rasulullah harus membagi waktu antara menyebarkan ajaran Islam dan mengurus
rumah tangganya yang ditinggal Khadijah.
Khaulah
bint Al Hakim, wanita shaleha pelayan Rasulullah menyarankan agar Rasulullah
menikah lagi. Mula-mula Rasulullah diminta meminang Aisyah bint Abu Bakar,
namun mengingat Aisyah masih kanak-kanak, maka pernikahannya ditangguhkan
hingga ia dewasa. Kemudiah Khaulah menyarankan Rasulullah untuk melamar Saudah
bint Zam’ah yang belum lama ditinggal mati suaminya Al Sukran ibn Amr.
Siapakah
Saudah...? Dia adalah seorang janda tua, yang tidak cantik, tidak menarik hati
kaum laki-laki, berbeda jauh dengan Khadijah yang membuat para lelaki cemburu
ketika dinikahi Rasulullah.
Pada saat
Saudah bersuamikan Al Sukran, dia bermimpi: ‘Yang Pertama Rasulullah memeluk
lehernya dan yang kedua bulan menjauhi dirinya’. Dia menceritakan mimpi itu
kepada suaminya. Allah seakan-akan menyingkapkan tirai zaman dari Al Syukran,
ia tiba-tiba berkata: “Seandainya mimpimu benar aku sebentar lagi akan mati dan
engkau akan dinikahi Rasulullah”. Tidak ada sebercikpun dalam pikiran Saudah
untuk menjadi pendamping Rasulullah, mengingat dia tahu siapa dirinya. Namun
Allah berkehendak lain, Dia menjadikan Saudah bint Zam’ah, janda dari Al Sukran
menjadi isteri Rasulullah setelah Khadijah.
Mulai saat
itu Saudah hidup menjadi pasangan suami isteri dan hidup tenang, damai dan
bahagia bersama Rasulullah. Dia mengambil peran sebagai pemelihara dan pengasuh
anak-anak Rasulullah serta mengatur rumah tangga. Ketika Rasulullah sudah
menetap di Madinah dan Aisyah sudah cukup dewasa, beliau resmi menikahi Aisyah.
Tentu saja usia Aisyah dengan Saudah terpaut sangat jauh, sehingga perasaan
Aisyah kepada Saudah layaknya anak terhadap ibu yang mengasihinya. Namun
keduanya hidup dengan tenang sebagai isteri-isteri Rasulullah.
Tidak lama
setelah itu masuk pula beberapa wanita lain yang menjadi isteri-isteri
Rasulullah, yaitu Hafshah bint Umar ibn Khathab, Zainab bint Jahsy dan Ummu
Salamah yang masing-masing memiliki hak yang sama di sisi Rasulullah.
Namun
sebagai manusia biasa, Rasulullah memiliki kendala untuk menundukkan
perasaannya dalam bersikap adil terhadap Saudah sebagaimana diperintahkan Allah
SWT. Agar Saudah dapat hidup bebas dari rasa ketidak adilannya, maka beliau
berniat untuk menceraikan Saudah. Mendengar Rasulullah akan menceraikannya,
Saudah dengan hati yang sedih dan duka memohon kepada Allah agar dia sampai
kapanpun tetap menjadi isteri Rasulullah.
Ia berkata
kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu atas nama Dzat Yang
Menurunkan KitabNya kepadamu dan aku memuliakanmu diantara seluruh ciptaanNya,
janganlah engkau menceraikanku. Biarkan aku sebagai isterimu...akan kuberikan
malam-malam giliranku kepada Aisyah. Aku tidak menghendaki darimu sesuatupun
seperti yang dikehendaki wanita-wanita lain”.
Rasulullah
sangat memahami perasaan Saudah dan Allah Subhanahu wa ta’ala langsung
menyayangi keduanya sehingga turunlah ayat:
“Wa imra
atun khaafat mimba’lihaa nusyuuzan aw i’raadhan falaa junaaha ‘alaihimaa
ayyushlihaa bainahumaa shulhaa. Washshulhu khair. Wa uhdhiratil anfususysyuhh.
Wa intuhsinuu wa wattaquu fainnallaaha kaana bimaa ta’maluun”
“Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. ~ QS
4 – An Nisaa’ : 128 ~
Rasulullah
menyadari kedudukan Saudah yang sangat mengasihinya dan memahami bahwa Saudah
ingin selalu mendampinginya, karena itu beliau tidak jadi menceraikannya.
Saudah
berbahagia hidup selamanya bersama Rasulullah dan tenteram, damai bersama para
isterinya yang lain meskipun Rasulullah wafat mendahuluinya.
Saudah bint
Zam’an, wanita yang taat, tulus mengurus Rasulullah dan putera-puterinya wafat
pada tahun 54 Hijriah. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menyayanginya.
Bekasi, 24 Jumadil Awal 1436 Hijriyah atau 15 Maret 2015.
Edited and posted by: Rika Rakasih
Sumber : Kitab Asbabun Nuzul
Penulis : Fathi Fauzi Abd Al Mu’thi
Disarikan oleh : Idih Ruskanda
Thema: SURAH 4 –
AN NISAA AYAT 128 - Kisah Saudah binti Zam’ah RA yang ingin dibangkitkan
sebagai isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
No comments:
Post a Comment