Panduan I'tikaf Ramadhan
I’tikaf secara bahasa
berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap
di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan,
“Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika
seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]
Dari Abu Hurairah, ia
berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا
كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari.
Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]
Waktu i’tikaf yang lebih
afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan)
sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى
تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga
wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan
untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala
kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan
banyak berdzikir ketika itu.[5]
I’tikaf Harus Dilakukan
di Masjid
Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah
kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS 2 - .Al
Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan
tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk
wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika
dilakukan selain di masjid.[7]
I’tikaf Boleh Dilakukan
di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama,
i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas
(yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]
Imam Bukhari membawakan
Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan
i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al
Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid
tertentu”[9].[10]
Para ulama selanjutnya
berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana
dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah
masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan
bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima
waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ
“sedang kamu beri’tikaf
dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy
Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan
syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya
di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf
tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di
masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah
itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan
i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa
terjadi dua dampak negatif:
(1) meninggalkan shalat
jama’ah yang hukumnya wajib, dan
(2) terus menerus keluar
dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini
yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah
untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ
دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila
selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia
(Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin
untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى
تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga
wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]
Namun wanita boleh
beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:
(1) Meminta izin suami
dan
(2) Tidak menimbulkan
fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar
menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]
Lama Waktu Berdiam di
Masjid
Para ulama sepakat bahwa
i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat
berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]
Bagi ulama yang
mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah
sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap
disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam
Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari.
Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal
dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini
tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]
Yang tepat dalam masalah
ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19].
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya
boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al
Mardawi rahimahullah mengatakan,
“Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang
mutlak[21] adalah
selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]
Yang Membatalkan I’tikaf
1.
Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa
ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
2.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan
Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’
(kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat
187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika
I’tikaf
1.
Keluar masjid disebabkan ada hajat yang
mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak
bisa dilakukan di dalam masjid.
2.
Melakukan hal-hal mubah seperti
mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap
dengan orang lain.
3.
Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan
berdua-duaan dengannya.
4.
Mandi dan berwudhu di masjid.
5.
Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar
Masjid
Jika ingin beri’tikaf
selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai
memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat
shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat
dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ
دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila
selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia
(Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin
untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]
Namun para ulama madzhab
menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20
Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah
jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika
beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti
berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits.
Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak
bermanfaat.[25]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel :
http://muslim.or.id/ramadhan/panduan-itikaf-ramadhan.html
1] Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 2/1699.
[2] Al
Mughni, 4/456.
[3] HR.
Bukhari no. 2044.
[4] HR.
Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172.
[5] Latho-if
Al Ma’arif, hal. 338
[6] Fathul
Bari, 4/271.
[7] Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.
[8] Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.
[9] Fathul
Bari, 4/271.
[10] Adapun
hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada
tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu
diketahui, hadits ini
masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf
(perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan
Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat
Fathul Bari, 4/272.
[11] Walaupun
namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla,
langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan
shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu
musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum
muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan
dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat
penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.
[12] Lihat
Al Mughni, 4/462.
[13] Al
Mugni, 4/461.
[14] HR.
Bukhari no. 2041.
[15] HR.
Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172.
[16] Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.
[17] Lihat
Fathul Bari, 4/272.
[18] Idem.
[19] Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.
[20] Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.
[21] I’tikaf
mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.
[22] Al
Inshof, 6/17.
[23] Fathul
Bari, 4/272.
[24] HR.
Bukhari no. 2041.
Dari artikel 'Panduan I’tikaf Ramadhan — Muslim.Or.Id'
Terima kasih atas pencerahan yang sangat berguna ini, Syukur Alhamdulillah
ReplyDeleteYours
Udik Samekto Budi