MBAH JUM
Oleh : Irene Radjiman
Begitulah beliau
dipanggil. Aku sempat bertemu dengannya 5 tahun yang lalu saat berlibur di
Kasian Bantul Yogyakarta. Nama desanya saya lupa.
Mbah Jum seorang tuna
netra yang berprofesi sebagai pedagang tempe. Setiap pagi beliau dibonceng
cucunya ke pasar untuk berjualan tempe. Sesampainya dipasar tempe segera
digelar. Sambil menunggu pembeli datang, disaat pedagang lain sibuk menghitung
uang dan ngerumpi dengan sesama pedagang, mbah Jum selalu bersenandung
sholawat. Cucunya meninggalkan mbah Jum sebentar, karena ia juga bekerja
sebagai kuli panggul dipasar itu. Dua jam kemudian, cucunya datang kembali
untuk mengantar simbahnya pulang kerumah. Tidak sampai 2 jam dagangan tempe
mbah Jum sudah habis ludes. Mbah Jum selalu pulang paling awal dibanding
pedagang lainnya. Sebelum pulang mbah Jum selalu meminta cucunya menghitung
uang hasil dagangannya dulu. Bila cucunya menyebut angka lebih dari 50 ribu
rupiah, mbah Jum selalu minta cucunya mampir ke masjid untuk memasukkan uang lebihnya
itu ke kotak amal.
Saat kutanya : “Kenapa begitu ?”
“Karena kata simbah modal simbah bikin tempe Cuma 20 ribu.
Harusnya simbah paling banyak dapetnya yaa 50 ribu. Kalau sampai lebih berarti
itu punyanya gusti Allah, harus dikembalikan lagi. Lha rumahnya gusti Allah kan
dimasjid mbak, makanya kalau dapet lebih dari 50 ribu, saya diminta simbah
masukkin uang lebihnya ke masjid.”
“Lho, kalo sampai lebih
dari 50 ribu, itukan hak simbah, kan artinya simbah saat itu bawa tempe lebih
banyak to ?” Tanyaku lagi
“Nggak mbak. Simbah itu
tiap hari bawa tempenya ga berubah-ubah jumlahnya sama.” Cucunya kembali
menjelaskan padaku.
“Tapi kenapa hasil
penjualan simbah bisa berbeda-beda ?” tanyaku lagi
“Begini mbak, kalau ada
yang beli tempe sama simbah, karena simbah tidak bisa melihat, simbah selalu
bilang, ambil sendiri kembaliannya. Tapi mereka para pembeli itu selalu bilang,
uangnya pas kok mbah, ga ada kembalian. Padahal banyak dari mereka yang beli
tempe 5 ribu, ngasih uang 20 ribu. Ada yang beli tempe 10 ribu ngasih uang 50
ribu. Dan mereka semua selalu bilang uangnya pas, ga ada kembalian. Pernah
suatu hari simbah dapat uang 350 ribu. Yaaa 300 ribu nya saya taruh dikotak
amal masjid.” Begitu penjelasan sang cucu.
Aku melongo terdiam
mendengar penjelasan itu. Disaat semua orang ingin semuanya menjadi uang,
bahkan kalau bisa kotorannya sendiripun disulap menjadi uang, tapi ini mbah
Jum…?? Aahhh…. Logikaku yang hidup di era kemoderenan jahiliyah ini memang
belum sampai.
Sampai rumah pukul 10:00
pagi beliau langsung masak untuk makan siang dan malam. Ternyata mbah Jum juga
seorang tukang pijat bayi (begitulah orang dikampung itu menyebutnya). Jadi
bila ada anak-anak yang dikeluhkan demam, batuk, pilek, rewel, kejang, diare,
muntah-muntah dan lain-lain, biasanya orang tua mereka akan langsung
mengantarkan ke rumah mbah Jum. Bahkan bukan hanya untuk pijat bayi dan
anak-anak, mbah Jum juga bisa membantu pemulihan kesehatan bagi orang dewasa
yang mengalami keseleo, memar, patah tulang, dan sejenisnya. Mbah Jum tidak pernah
memberikan tarif untuk jasanya itu, padahal beliau bersedia diganggu 24 jam
bila ada yang butuh pertolongannya. Bahkan bila ada yang memberikan imbalan
untuk jasanya itu, ia selalu masukan lagi 100% ke kotak amal masjid. Ya ! 100%
! anda kaget ? Sama, saya juga
kaget.
Ketika aku kembali
bertanya : “kenapa harus semuanya dimasukkan ke kotak amal ?”
Mbah Jum memberi
penjelasan sambil tersenyum :
“Kulo niki sakjane
mboten pinter mijet. Nek wonten sing seger waras mergo dipijet kaleh kulo, niku
sanes kulo seng ndamel seger waras, niku kersane gusti Allah. Lha dadose
mbayare mboten kaleh kulo, tapi kaleh gusti Allah.” (Saya itu sebenarnya nggak
pinter mijit. Kalau ada yang sembuh karena saya pijit, itu bukan karena saya,
tapi karena gusti Allah. Jadi bayarnya bukan sama saya, tapi sama gusti Allah).
Lagi-lagi aku terdiam.
Lurus menatap wajah keriputnya yang bersih. Ternyata manusia yang datang dari
peradaban kapitalis akan terkaget-kaget saat dihadapkan oleh peradaban sedekah
tingkat tinggi macam ini. Dimana di era kapitalis orang sekarat saja masih bisa
dijadikan lahan bisnis. Jangankan bicara GRATIS dengan menggunakan kartu BPJS
saja sudah membuat beberapa oknum medis sinis.
Mbah Jum tinggal bersama
5 orang cucunya. Sebenarnya yang cucu kandung mbah Jum hanya satu, yaitu yang
paling besar usia 20 tahun (laki-laki), yang selalu mengantar dan menemani mbah
Jum berjualan tempe dipasar. 4 orang cucunya yang lain itu adalah anak-anak
yatim piatu dari tetangganya yang dulu rumahnya kebakaran. Masing-masing mereka
berumur 12 tahun (laki-laki), 10 tahun (laki-laki), 8 tahun (laki-laki) dan 7
tahun (perempuan).
Dikarenakan kondisinya
yang tuna netra sejak lahir, membuat mbah Jum tidak bisa membaca dan menulis,
namun ternyata ia hafal 30 juz Al-Quran. Subhanallah…!! Cucunya yang paling
besar ternyata guru mengaji untuk anak-anak dikampung mereka. Ke-4 orang
cucu-cucu angkatnya ternyata semuanya sudah qatam Al-Quran, bahkan 2
diantaranya sudah ada yang hafal 6 juz dan 2 juz.
“Kulo niki tiang
kampong. Mboten saget ningali nopo-nopo ket bayi. Alhamdulillah kersane gusti
Allah kulo diparingi berkah, saget apal Quran. Gusti Allah niku bener-bener
adil kaleh kulo.” (saya ini orang kampong. Tidak bisa melihat apapun dari bayi.
Alhamdulillah kehendak gusti Allah, saya diberi keberkahan, bisa hafal
Al-Quran. Gusti Allah itu benar-benar adil sama saya).
Itu kata-kata terakhir
mbah Jum, sebelum aku pamit pulang. Kupeluk erat dia, kuamati wajahnya. Kurasa
saat itu bidadari surga iri melihat mbah Jum, karena kelak para bidadari itu akan
menjadi pelayan bagi mbah Jum.
Matur nuwun mbah Jum,
atas pelajaran sedekah tingkat tinggi 5 tahun yang lalu yang sudah simbah
ajarkan pada saya di pelosok desa Yogyakarta.
SILAHKAN SHARE ATAU
COPAS DENGAN MENYERTAKAN LINK BLOG INI.
DILARANG KERAS MENGAMBIL
IDE CERITA INI UNTUK TUJUAN KOMERSIL
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1630417800338523&id=100001109553805