Akhir-akhir ini ujaran kebencian
begitu marak kita baca di media social. Hoax atau berita-berita yang tidak
benar dan cenderung fitnah mudah sekali kita temukan. Kata-kata yang kasar dan
jauh dari kesantunan begitu mudah keluar dari lisan kita. Padahal Islam adalah
agama akhlak, bahkan hakikat agama adalah akhlak yang baik, termasuk akhlak
ketika kita berbicara atau menulis sesuatu.
Ada sebuah pepatah, “Lidah itu tidak
bertulang, tetapi ia lebih tajam daripada pedang”. Pepatah ini benar adanya.
Terluka oleh lisan akan lebih sakit dibanding terluka oleh pedang. Luka karena
pedang banyak medical service yang memungkinkan penyembuhan. Tetapi, luka karena lisan belum
tentu ada penawarnya, karena yang terluka bukanlah fisik melainkan batin.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam
kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin
Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku
(untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya,
kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.” Yang dimaksud dengan “sesuatu yang
ada di antara dua janggutnya” adalah mulut, sedangkan “sesuatu yang ada di
antara dua kakinya” adalah kemaluan.
Di Hadits yang lain Rasulullah Saw.
bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah
ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)
Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i mengatakan,
“Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu.
Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya dan merugikan atau
menyakiti orang lain, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada
mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).” Sebagian ulama
berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang
mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada
berbicara.”
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti
berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal
selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang
menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling
celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya
senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.
Beliau berkata pula di hlm. 47,
“Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya
daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan
diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena perkataan yang
diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Menarik
diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik
perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila
seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya.
Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol
perkataan-perkataannya.”
Beliau menambahkan di hlm. 49, “Lisan
seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak
berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan
tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak
bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di
bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh
lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham
terhadap agamanya.”
Rasulullah pun bersabda, “Seorang
muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan
dan tangannya.”(H.R. Bukhori). Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) ketika
menjelaskan hadis ini berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan
kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang sesuatu yang
telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga yang akan terjadi pada
masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan tidak seluas pengaruh
lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas
sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah
hebatnya dengan pengaruh lisan.”
Oleh karena itu, dalam sebuah syair
disebutkan, “Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya tanganku kan
lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi. Bila tanganku menulis kebaikan, kan
diganjar setimpal Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.” Bukankah
Allah berfirman, “Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di
dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan
hasil lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no.
5136). ”Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang
sebenarnya maka ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia
tidak berbicara kecuali kebaikan atau diam.” (Tafsir As-Sa’di)
Mukmin yang Baik dan Benar
bukanlah Pelaknat
Seorang Mukmin yang benar, bukanlah
seorang yang banyak mencela, bukan yang banyak melaknat, bukan orang yang keji,
dan bukan pula orang yang omongannya kotor. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam suri tauladan kita, bukan seorang yang sering melontarkan celaan,
kutukan dan ucapan-ucapan keji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن ي لَ مْ أُ بعَ ثْ لَعَّانًا وَإِّنَّْمَا بُعِّ ثتُْ رَ حمَةًْ
Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai
tukang melaknat, tetapi aku diutus sebagai rahmat. (H. R. Muslim). Beliau juga
bersabda :
سِّبَابُْ الم سلِّمِّْ فُسُ و قْ
Mencaci maki seorang Muslim adalah
suatu kefasikan. Dalam riwayat lain disebutkan :
لْمُسْتَبَّان شَيْطَانَا نِ يَتَهَاتَرَا
نِ وَيَتَكَاذَبَا نِ
Dua orang yang saling memaki adalah
seperti dua syaitan yang saling menjatuhkan dan mendustakan lawannya. Dalam
sebuah riwayat dari Jabir disebutkan:
قَال جَاب رِ بن سليْم رَضيَِ
اللُِ عَنْه : قُلْتُِ : اعْهَدِْ إ لَيَِّ يَا رَسُوْلَِ
الل ، قَالَِ : لَِ تَسُبَّنَِّ أَحَدًا قَالَِ : فَمَا سَبَبْتُِ بَعْدَهُِ حُرًّا، وَلَِ عَبْدًا،ِ وَلَِ
بَ عيرًا، وَلَِ شَاةًِ ،
Dari Jabir bin Salîm bercerita, “Aku
berkata, ‘Buatlah ikatan perjanjian denganku wahai Rasûlullâh!’ Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menjawab, “Janganlah sekali-kali engkau
memaki orang lain“. Kata Jabir, “Sejak itulah aku tidak pernah memaki seorang
pun, baik ia orang merdeka atau hamba sahaya, termasuk tidak memaki unta dan
kambing”. [HR Abu Dawud]. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda kepadanya, “Jika ada orang yang mencela dan memakimu dengan celaan
yang dia tahu ada pada dirimu, maka janganlah kamu balas mencelanya dengan
celaan yang engkau tahu ada pada dirinya. Karena akibat celaannya itu hanya
kembali kepada dia.” [HR. Abu Daud]
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
juga bersabda,
لَيْسَِ الْمُؤْ منُِ ب الطَّعَّا
نِ وَلَِ اللَّعَّا نِ وَلَِ الْفَا ح شِ وَلَِ الْبَ ذي ءِ
“Seorang mukmin bukanlah orang yang
banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang keji
(buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya” (HR. Tirmidzi, no.
1977; Ahmad, no. 3839 dan lain-lain).
Allah pun melarang hamba-Nya untuk
saling mencela dan memanggil yang lain dengan panggilan yang tidak pantas,
اَيُّهَا الَّ ذيْنَِ اٰمَنُوْا
لَِ يَسْخَرِْ قَوْ مِ منِْ قَوْ مِ عَسٰٰۤى اَنِْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا
منْهُمِْ وَلَِ ن سَآ ءِ منِْ
ن سَآ ءِ عَسٰٰۤى اَنِْ يَّكُنَِّ خَيْرًا منْهُنَِّ وَلَِ
تَلْ مزُوْٰۤا اَنْفُسَكُمِْ وَلَِ
تَنَاِ بَزُوْا ب اِ لَِْ لْقَا بِ ب ئْسَِ ا لسْمُِ الْفُسُوْقُِ
بَعْدَِ ا ليْمَا نِ وَمَنِْ لَّمِْ
يَتُبِْ فَاوُلٰٓئ كَِ هُمُِ الظّٰ لمُوْنَِ
"Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan
pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi
perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).
Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 11)
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam bersabda : “Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti
membunuhnya ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464). Beliau juga bersabda:
“Orang yang banyak melaknat tidak akan diberi syafaat dan syahadatnya tidak
akan diterima pada Hari Kiamat” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi
Darda radhiallahu ‘anhu)
Allâh Azza wa Jalla juga melarang
kaum Muslimin dari perbuatan mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik agar
itu tidak menjadi alasan mereka untuk membenarkan tindakan mereka yang mencaci
maki Allâh Azza wa Jalla . Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَِ تَسُبُّوا الَّ ذينَِ يَدْعُونَِ
منِْ دُو نِ اللَّّ فَيَسُبُّواِ اللََِّّ
عَدْوًا ب غَيْ رِ علْ مِ
“Janganlah kalian memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allâh, karena nanti mereka akan
memaki Allâh dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” [Al-An’âm/6:108]
Sungguh cacian dan celaan yang
diarahkan kepada tuhan-tuhan sesembahan mereka hanyalah akan membuat mereka
semakin ingkar, keras kepala dan semakin menjauhi kita. Jika demikian, ini
bertentangan dengan misi dakwah yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla.
Cara Berkumunikasi Menurut Al
Quran
Dalam berkumunikasi, Nabi Muhammad
SAW selalu memperhatikan ketepatan gaya bahasa yang dipilih. Semua orang yang
pernah bertemu dan berinteraksi dengan Nabi merasakan kedekatan. Hal ini
tercemin dari keyakinan setiap sahabat merasa menjadi orang dekat Nabi. Tutur
kata dan sikap Nabi membuat setiap orang yang berkomunikasi dengan beliau
merasa dekat. Merasa dihormati dan dihargai. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an
surat Ali Imran ayat 159,
فَب مَا رَحْمَ ةِ منَِ اللّّٰ
لنْتَِ لَهُمِْ وَلَوِْ كُنْتَِ فَظًّا غَ ليْظَِ الْقَلْ بِ لَِ
نْفَضُّوْا منِْ حَوْ لكَِ فَاعْفُِ
عَنْهُمِْ وَاسْتَغْ فرِْ لَهُمِْ وَشَا ورْهُمِْ ف ى الَْمْ رِ
فَ اذَا عَزَمْتَِ فَتَوَكَّلِْ
عَلَى اللّّٰ ا نَِّ اللَِّّٰ يُ حبُِّ الْمُتَوَ ك ليْنَِ
"Maka berkat rahmat Allah engkau
(Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu
maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawaralah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang
bertawakal."
Andaikata Nabi bersikap keras dan
berhati kasar, niscaya orang yang diajak oleh Nabi akan lari menjauh. Mereka
tidak akan terkesan dan berkenan untuk masuk Islam. Dakwah mestinya dimulai
dengan hati yang lembut, serta ucapan yang santun. Bukan dengan perkataan yang
isinya menyakiti atau merendahkan orang lain
Allah menciptakan manusia dengan
seindah-indahnya dan sesempurnanya dibandingkan makhluk yang lain. Keindahan
dan kesempurnaan manusia hendaknya diiringi dengan keindahan dan kesempurnaan
perangai. Salah satunya, manusia mesti mengindahkan dan menyempurnakan diri
dengan komunikasi yang baik. Allah memberi kelebihan kepada kita sebagai
manusia pandai berkomunikasi sebagaimana dijelaskan dalam QS ar-Rahman ayat 4,
“Allah mengajarkan manusia
pandai berbicara”. Ayat
tersebut menyiratkan perintah supaya kita berkomunikasi dengan baik.
Melihat begitu pentingnya kata-kata,
Al-Quran pun memberikan bimbingan kepada manusia ketika mereka hendak
berkomunikasi, agar komunikasi mereka benar dan menyelamatkan dan bukannya
malah membawa kepada kehinaan dan celaka. Sebuah pepatah Arab menyatakan: “Salamatul insan fi hifzhil
lisan”
(Keselamatan manusia itu sangat tergantung pada pemeliharaan lisan).
Ketika berbicara tentang perkataan
(qoulan), Al Quran menggunakan beberapa macam bentuk, yang itu sebenarnya
batasan dan arahan agar perkataan kita baik dan benar. Di antaranya :
1. Qaulan ma’rufa (perkataan yang baik)
Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang
baik, ungkapan yang pantas, santun, tidak menggunakan sindiran (tidak kasar),
dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga bermakna
pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, Qaulan Ma’rufa yaitu
melembutkan kata-kata dan menepati janji. (QS An-Nissa :5 dan 8; QS.
Al-Baqarah:235 dan 263; QS. Al-Ahzab: 32)
2. Qaulan sadida (perkataan yang tegas dan benar).
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, as-sadid yaitu perkataan yang bijaksana dan
perkataan yang benar. Dalam berkomunikasi (berbicara) harus menginformasikan
atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak
berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. (QS. An-Nisaa’ :9;
QS. Al-Ahzaab :70)
3. Qaulan layyina (perkataan yang lemah lembut)
Qaulan Layina berarti pembicaraan
yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan,
sehingga dapat menyentuh hati. “Maka berbicaralah kamu berdua kepada Fir’aun
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS.
Taahaa :44). Ayat ini adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar
berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati
komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya
tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
4. Qaulan maisura (perkataan yang mudah)
Qaulan Maisura (Maisuran) bermakna
ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah dimengerti, dan dipahami oleh
komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal
yang menggembirakan. ”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh
rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan
Maisura -ucapan yang mudah” (QS. Al-Isra: 28).
5. Qaulan baligha (perkataan yang membekas pada jiwa)
Dalam Tafsir al-Maraghi diterangkan, Qoulan Balighan yaitu
“perkataan yang bekasnya hendak kamu tanamkan di dalam jiwa mereka”. Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan
jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif,
tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau
bertele-tele. Allah berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang
(sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” (QS. An-Nisaa’ :63)
6. Qaulan karima (perkataan yang mulia)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada
keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah
kepada keduanya perkataan yang baik” (Al-Israa’ :23)
Qaulan Karima adalah perkataan yang
mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar,
lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut perkataan yang mulia wajib
dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang membentak mereka
atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati mereka.
Semoga Allah selalu menjaga lisan
kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir
dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia.
Jangan sampai ibadah yang kita lakukan hilang pahalanya karena seringnya kita
menyakiti sesama dengan kata-kata dan tulisan kita. “Dikatakan kepada Rasulullah
saw., “Sesungguhnya si Fulanah shaum di siang hari dan tahajud di malam hari.
Namun akhlaknya buruk. Ia suka menyakiti hati tentangganya dengan mulutnya”.
Rasulullah bersabda, “Tidak ada kebaikan pada diri Fulanah itu. Ia termasuk
ahli neraka”. (H.R.
Ahmad).
Wallahu a`lam bish shawab, Dan Allah lah yang lebih mengetahui yang sejatinya benar