NKRI
BERSYARIAH ATAU…
Seri Renungan Singkat Seputar Isu Pilpres
2019
NKRI
Bersyariah ATAU Ruang Publik Yang Manusiawi?
Oleh: Denny JA
Bagaimana sikap
kita atas NKRI Bersyariah yang berulang ulang diperjuangkan oleh Habib Rizieq?
Ketika ia mendukung capres Prabowo, tahun 2018, sekali lagi Habib Rizieq
menyatakan perlunya NKRI Bersyariah.
Ketika memulai
aksi 212 tahun 2016, isu NKRI Bersyariah sudah digaungkannya. Setahun kemudian,
dalam Reuni 212 tahun 2017, perlunya Indonesia menjadi NKRI Bersyariah kembali
diperkuatnya.
Bagaimana sikap
kita atas seruan NKRI Bersyariah itu? Yang jelas, Habib Rizeq perlu
mendetailkan proposalnya dalam dua tahap lagi.
Tahap pertama, Ia perlu
mengoperasionalkan apa yang dimaksudnya dengan NKRI Bersyariah itu. Sangat
perlu ia turunkan dan ia terjemahkan nilai besyariah itu dalam index yang
terukur. Sehingga konsep NKRI Bersyariah itu tak hanya menjadi list harapan
harus itu dan harus ini, bukan itu dan bukan ini.
Tahap Kedua, setelah menjadi
index yang terukur, ia uji indeks itu dengan melihat dunia berdasarkan data.
Dari semua negara yang ada di dunia, negara mana yang bisa dijadikan referensi
yang paling tinggi skor indeks Negara Bersyariah (perluasan dari NKRI
Bersyariah).
Setelah dua tahap
itu ia selesaikan, kita bisa merespon gagasan NKRI bersyariah itu lebih rinci.
Proposal NKRI Bersyariah itu menjadi konsep yang serius, yang bisa diuji
secara akademik hanya setelah melewati dua tahap itu.
-ooo-
Sebuah lembaga
riset sudah bergerak lebih jauh. Lembaga itu bernama Yayasan Islamicity Index.
Ia dipimpin oleh kalangan sarjana tingkat Ph.D bidang ekonomi, bidang keuangan,
di samping yang ahli AlQuran.
Lembaga itu
dikendalikan antara lain oleh PhD bidang ekonomi
(Hossein Askari), finance specialist (Hossein Mohammadkhan), PhD dalam Islamic
Economics/Finance (Liza Mydin), web specialist (Mostafa Omidi). Dalam Web resmi
lembaga ini, mereka memang meniatkan ingin melembagakan ruang publik sesuai
dengan arahan kitab suci Al Quran.
Mereka menurunkan
aneka nilai yang diperjuangkan dan direkomendasikan Al Quran dalam sebuah indeks. Termasuk di
dalamnya nilai seperti keadilan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih,
penghormatan pada manusia.
Cukup kompleks,
aneka indeks itu ia masukkan ke dalam empat kategori: Economic
Islamicity, Legal and Governance, Human and Political Rights, dan International
Relation Islamicity Index.
Tim ini merumuskan
nilai Al Quran hanya pada
sisi hubungan sosial saja. Sementara hubungan individu pada Tuhannya, seperti
prinsip Tauhid dan akidah tidak diukur. Hal ini dilakukan agar nilai sosial
Islami itu dapat pula diukur dalam masyarakat yang tidak secara resmi memeluk
Islam.
Di tahun 2017,
setelah Islamicity index resmi
dibuat, mereka pun mencari data negara di seluruh dunia. Negara manakah yang
paling tinggi skor index Islamicitynya: yang bersih pemerintahan, ketimpangan
ekonomi kecil, tinggi penghormatan pada hak asasi.
Dua tahap yang
saya tuliskan di awal telah dipenuhi oleh Yayasan yang mengajukan Islamicity
Index.
Temuan lembaga ini
menarik. Ternyata Top 10 negara yang paling islami, yang paling tinggi skor
Islamicity-nya adalah negara di Barat. Di tahun 2017,
negara itu antara lain: Selandia Baru, Netherland, Swedia, Irlandia,
Switzerland, Denmark, Kanada, Australia.
Sedangkan negara
yang mayoritasnya Muslim justru skor Islamicity-nya biasa saja dan
cenderung rendah. Misalnya: Malaysia (rangking 43), United Arab Emirat
(rangking 47), Indonesia (rangking 74), dan Saudi Arabia (rangking 88).
Kesimpulan riset
menohok: masyarakat yang mempraktekkan nilai-nilai sosial yang islami, yang
dianjurkan Al Quran justru terjadi di negara Barat.
Banyak negara yang
bahkan berlabel negara Islam tidak berhasil menggapai rangking teratas dalam mempraktekkan nilai
yang islami.
-ooo-
Yang mana yang
lebih kita pentingkan? Label? Atau substansi? Label Islam atau praktek nilai
Islami?
PBB, lembaga dunia
untuk semua negara (Persatuan Bangsa Bangsa) mengembangkan indexnya sendiri
untuk menguji kemajuan sebuah bangsa. Mereka membentuk khusus lembaga bernama
UN Sustainable Development Solution Network (SDSN).
PBB beranggapan
kemajuan sebuah negara tak bisa diukur hanya oleh kemajuan ekonomi semata. Yang
utama, negara harus mampu membuat warga negara merasa bahagia.
Untuk bahagia, tak
hanya kebutuhan dasarnya tercukupi, tak hanya pertumbuhan ekonomi dan
pendidikan. Namun tercipta pula ruang sosial yang penuh dengan trust, tolong
menolong, dengan pemerintahan yang bersih dan kompeten.
SDSN menamakannya
World Happiness Index. Aneka list mengenai prinsip manusiawi dirumuskan
dalam index yang terukur. Lalu aneka negara di seluruh dunia diuji dengan data
terukur. Dua tahap yang kita tuliskan di awal juga sudah dilakukan oleh SDSN.
Apa hasilnya? Top
10 negara yang paling tinggi skor Happiness Index tak banyak beda dengan
Islamicity Index. Top 10 itu di tahun 2018 adalah negara: Finlandia, Norwegia,
Denmark, Iceland, Switzerlands, Netherland, Canada, Selandia Baru, Australia.
Negara yang
mayoritasnya Muslim berada di level tengah: United Arab Emirat (20), Malaysia
(35), Indonesia berada di bawah top 50.
Pertanyaannya
mengapa hasil Islamicity Index berdasarkan arahan kitab suci Al Quran hasilnya tak banyak beda dengan World
Happiness Index.
Pada dasarnya
nilai terbaik dari agama Islam, sebagaimana agama lain, jika diuniversalkan,
itu sama dengan aneka nilai manusiawi yang dirumuskan oleh peradaban
mutakhir.
Nilai yang Islami
itu ternyata juga nilai yang manusiawi. Itulah ruang publik yang
universal yang bisa dinikmati semua manusia, apapun agama dan keyakinannya.
Semua negara
modern pada dasarnya mencoba menggapai Ruang Publik yang manusiawi.
-ooo-
Bagaimana dengan
akidah Islam dalam Ruang Publik Manusiawi itu? Baik dalam Islamicity Index
ataupun World Happiness Index, hak beragama sesuai dengan keyakinan setiap
individu warga negara dijunjung sangat tinggi. Itu adalah hak asasi yang paling
dasar.
Negara tak boleh
mengintervensi dan menghalangi pelaksaan akidah warga negara. Yang dilarang
hanya jika ada upaya pemaksaan kehendak dan penyeragaman tafsir dengan
kekerasan.
Pancasila bahkan
potensial lebih ekstra memberi perhatian lebih terhadap agama. Kita
mengembangkan kementerian agama secara khusus. Negara demokrasi yang lain tidak
memilikinya.
Para pendiri
bangsa, the founding fathers, sudah benar ketika mereka merumuskan fondasi
bagsa. Dalam list pendiri bangsa juga terdapat tokoh Muslim seperti Wahid
Hasyim, putra dari pendiri NU. Juga Mohammad Hatta yang pengetahuan keislaman
dan integritas pribadinya sangat dipuji.
Apa yang pendiri
bangsa rumuskan sebagai fondasi bangsa? Itu adalah Pancasila, bukan NKRI
Bersyariah!
Karena itu
teruslah kita gapai ruang publik yang manusiawi. Dunia sudah terbang menuju
revolusi industri ke empat. Dunia sudah mengembangkan artificial inteligence,
robot yang bisa berpikir, menciptakan lagu dan mengganti banyak sekali
pekerjaan manusia. Fokus ke sana!
Soal fondasi
bangsa selesai sudah. Sekali Pancasila tetaplah Pancasila karena fondasi itu
sudah memadai mengantar indonesia menggapai ruang publik yang manusiawi.
Desember 2018