Gus Dur menuliskan ini hampir 40
tahun lalu. Dan kita rasakan relevansinya saat ini.
Gus Dur: Salahkah Jika
Dipribumikan?
Islam mengalami
perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan
penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang
nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad,
memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti khalifah meneruskan
kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem
pemerintahan monarki.
Begitu banyak perkembangan
terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim
sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja
saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri
sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba
beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.
Hukum agama masa awal Islam
kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat
pemerintah (qadi, mufti, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat
beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh,
masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.
Terkemudian lagi muncul pula
deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak
radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim
memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan
Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai
anutan mereka sebagai syari’ah.
Kalau di bidang politik -termasuk doktrin kenegaraan- dan hukum
saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi di bidang-bidang lain, pendidikan,
budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin
terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini
lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat
Islam.
Dengan sendirinya lalu muncul
kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang
menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi
semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan
petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’
pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk
menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme
Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri
negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang serba ‘Jawa’,
Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab
dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di
Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.
Begitu juga hukum agama, harus
diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Al-Qur’an
dan hadis, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan
ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’; yang benar hanyalah
paham Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang
sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakn salah.
Lalu, dalam keadaan demikian,
tidakkah kehidupan kaum Muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya?
Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir,
Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang Nasionalisme Arab – yang
juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.
Di India ia menolak wewenang
mayoritas penduduk yang beragama Hindu, untuk menentukan bentuk kenegaraan yang
diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan
melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup
suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara
konfrontatif—yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan
Pancasila dengan Islam.
Anehkah kalau terbetik di hati
adanya keinginan sederhana: bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal
yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen
meninggalkan pola gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar
dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita
sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model
Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan
vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin
‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan
sembahyang?
Juga mengapa harus menggunakan
kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah
harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi
ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru
atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini
pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di
belahan bumi ini?
Kesemua kenyataan di atas
membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari
formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk
kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam
mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan
istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulian mencari kata lain. ‘Domestikasi
Islam’ terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.
Yang ‘dipribumikan’ adalah
manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan
dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’.
Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus
disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai
manifestasi kehidupan?
*) Tulisan
ini dimuat di majalah Tempo, 16 Juli 1983