Sering muncul pertanyaan apakah kita tetap shalat berjamaah terkait dengan adanya penerapan konsep new normal wabah Covid-19.
Jawabanya: untuk fatwa, kita kembalikan kepada ustadz setempat yang
telah berkonsultasi atau berkoordinasi dengan pemerintah dan dinas kesehatan
setempat.
1. Ada ustadz setempat yang
berfatwa yang boleh shalat berjamaah
2. Ada ustadz setempat yang
berfatwa jangan shalat berjamaah sementara dahulu, bersabar sebentar setelah
wabah berakhir kita shalat berjamaah kembali
Kami menekankan pada kata-kata “berkonsultasi”.
Karena ustadz setempat yang
berfatwa perlu mengetahui gambaran kasus yang benar (tashawwur yang benar),
sehingga dapat mengeluarkan fatwa yang benar pula.
Apabila gambaran kasusnya (tashawwur)
tidak tepat, maka fatwa juga tidak tepat.
Dalam hal ini bukan ustadznya
yang salah, tetapi salah informasi yang masuk atau salah memahami gambaran
kasusnya.
Inilah maksud dari kaidah fikh,
الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
Artinya: “Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang
yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan”
Misalnya ada pertanyaan:
“Ustadz Bagaimana hukum KB
(Keluarga berencana) yang diperintahkan membatasi kelahiran?”
Tentu sang ustadz akan
menjawab:
“Hukumnya haram, karena
bertentangan dengan anjuran Islam memperbanyak keturunan, tentu dengan
memperhatikan nafkah dan pendidikan anak”
Akhirnya menyebarlah
fatwa “Hukum KB adalah haram secara mutlak”,
Padahal gambaran kasus (tashawwur)
KB tidaklah demkian.
Hukum KB ini
dirinci berdasarkan tujuan:
1. Tahdidun nasl [تحديد النسل] yaitu membatasi kelahiran, ini
hukumnya haram
2. Tandzimun nasl [تنظيم النسل] yaitu mengatur jarak kelahiran, ini hukum boleh
bahkan pada beberapa kasus dianjurkan
Fatwanya bisa berbeda-beda setiap
tempat, karena setiap tempat kondisinya berbeda-beda dan kebijakan pemerintah
setempat berbeda-beda serta data di dinas kesehatan berbeda-beda.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
menjelaskan bahwa fatwa dan hukum
berubah sesuai keadaan ‘urf (kebiasaan) dan mashalahat keadaan saat
itu.
Beliau berkata
فإن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والعوائد والأحوال
“Sesungguhnya
fatwa dapat berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, adat istiadat dan
kondisi.” [I’lamul
Muwaqqi’in 6/114]
CATATAN PENTING Terhadap
kaidah di atas.
Yang berubah adalah fatwa yang
terkait dengan ‘urf dan mashlahat keadaan saat itu, BUKAN dengan hukum syariat yang telah pasti dan tidak berubah
sepanjang masa misalnya hukum shalat lima waktu, apapun hukumnya tetap wajib
‘ain.
Syaikh Muhammad Shalih
Al-Munajjid menjelaskan,
التغير في الفتوى ، لا في الحكم الشرعي الثابت بدليله
“Yang
berubah adalah fatwa, bukan hukum syariat yang telah tetap dengan dalil”
Sebagai contoh:
>> Fatwa bolehnya makan
babi karena darurat dan hanya ada daging babi saat itu, apabila tidak makan
bisa mati.
● Hukum makan babi adalah haram
secara syariat dan tidak akan berubah.
Tetapi fatwa saat itu dan kondisi
saat itu saja hukum makan babi menjadi boleh karena darurat.
_________
Dalam kesempatan lain Ibnul
Qayyim menjelaskan bahwa hukum ada dua yaitu yang tidak berubah sepanjang
masa dan hukum yang berubah sebagaima kami jelaskan di atas.
Beliau berkata, Hukum ada dua macam
1. Hukum tidak
berubah dari satu keadaan dan terus-menerus hukumnya seperti itu.
Tidak berubah sesuai dengan
waktu, tempat dan ijtihad para imama seperti kewajiban hukum yang wajib,
keharaman hukum yang haram, hukuman hadd yang telah ditetapkan syariat pada
beberapa kejahatan.
Hukum ini tidak berubah dan tidak
ada ijtihad yang dapat menyelisihi yang telah ditetapkan
2. Hukum yang
berubah sesuai dengan kemashalahatan terkait dengan waktu, tempat dan keadaan
seperti kadar hukum ta’zir, jenis dan tata caranya sesuai dengan
mashlahat.” [Ighatsatul Lahfan 1/330]
Ustadz Raehanul Bahraen
Oleh: Mutiara Risalah Islam
No comments:
Post a Comment