Selasa 11
August 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Saya kontak satu persatu teman saya di Beirut.
Sudah lebih satu tahun saya tidak mengontak mereka. Kali ini saya harus
melakukannya: ledakan 4 Agustus itu begitu dahsyat –158 orang meninggal. Masih banyak
yang dinyatakan hilang. Yang terluka sampai 6.000 orang. Yang kehilangan rumah
300.000 orang.
Teman saya termasuk yang selamat.
Kabar itu baru saya terima kemarin. Mereka menceritakan kengerian ledakan itu.
Yang setara dengan gempa bumi 3,3 skala richter – tapi pusat gempanya di
permukaan bumi. Di pelabuhan Beirut, ibu kota Lebanon.
Getaran ledakan itu sampai terasa
di negara Cyprus. Di Israel. Di Syria. Maklum yang meledak adalah 2.750 ton
ammonium netrat. Yang kekuatannya setara dengan 1,2k ton bom TNT.
Saya kembali terbayang ketika
seminggu penuh di Beirut tahun lalu. Dari lantai atas hotel saya bisa melihat
pelabuhan itu. Saya juga membayangkan Beirut Souk, mal termodern di sana. Yang
tiap hari saya jalan-jalan di Souk itu. Yang kini tetap utuh tapi kaca-kacanya
berantakan.
Kemarin, setelah empat hari,
jelaslah asal usul peristiwa itu. Jelas juga bahwa Presiden Donald Trump sangat
ngawur – yang buru-buru menyebut ledakan itu sebagai serangan.
Ternyata begitu sepele penyebab
ledakan itu. Ini ibarat manusia satu kota minum air PDAM yang pipanya dibiarkan
keropos kemasukan racun. Padahal posisi pipa itu di atas tanah, di depan mata.
Cerita agak lengkapnya begini:
ini adalah kisah sedih kapal dari negara miskin, membawa barang dari negara
miskin untuk dibawa ke negara miskin. Tentu kapal itu sudah sangat tua: bikinan
tahun 1984. Yang diangkut kapal itu adalah bahan baku peledak. Untuk perusahaan
pembuat peledak di Mozambique, di pantai timur Afrika. Di seberang pulau
Zanzibar itu.
Rupanya ongkos angkut menjadi
masalah. Mereka pun mencari ongkos angkut yang paling murah. Yang biasanya
hanya bisa dilakukan oleh kapal-kapal tua.
Perusahaan angkutannya pun dicari
perusahaan yang mau banting harga. Yakni perusahaan kecil dari negara miskin
Cyprus. Perusahaan inilah yang terakhir membeli kapal tua itu. Yang sudah
pindah tangan 12 kali itu.
Bahan baku peledak itu sendiri
berasal dari negara miskin pecahan Uni Soviet, Georgia. Lewat pelabuhannya yang
di pantai Laut Hitam, Batuni.
Nama kapal tua itu bernama
Rhosus. Itulah nama terakhir setelah berganti nama lebih dari 10 kali.
Panjangnya 86 meter. Ukurannya 3.200 Dwt. Sebenarnya kapal itu buatan Jepang
tapi memang sudah harusnya diskrab. Itulah kapal angkutan umum dengan tempat
barang di dua section.
Sebenarnya kapal tua ini tidak
harus lewat Beirut. Tujuan akhirnya adalah Mozambique. Berarti dari Batuni
kapal itu harusnya mengarungi Laut Hitam menuju selat Bosporus di Istanbul.
Lalu masuk Laut Marmara.
Masuk lagi Laut Tengah – menyusuri
lepas pantai Izmir, Turki. Dari situ kapal ini bisa langsung menuju terusan
Suez. Lantas menyusuri lepas pantai timur Afrika. Tibalah di Mozambique.
Mestinya.
Tapi kapal itu tidak punya uang
untuk membayar ongkos tol melewati terusan Suez. Terusan ini dibangun sangat
mahal oleh Inggris. Di tahun 1876. Sekarang dikuasai sepenuhnya oleh Mesir.
Ongkos tol Suez itu mahal. Untuk
ukuran kapal seperti Rhosus ongkos tolnya bisa 13.500 dolar. Atau hampir Rp 500
juta. Maka untuk bisa membayar ongkos lewat terusan Suez kapal Rhosus harus
ngompreng: mencari angkutan tambahan di perjalanan.
Ada.
Yakni mesin tua yang sangat besar
ukurannya. Media di Lebanon, yang menjadi sumber tulisan ini, tidak menyebut
mesin apa. Mesin itu ada di pelabuhan Beirut. Harus diangkut ke pelabuhan
Aqaba, di Jordania.
Ongkos angkut mesin itu cukup
untuk membayar toll terusan Suez. Toh, untuk menuju pelabuhan Aqaba juga
harus melewati terusan sepanjang 190 Km itu.
Berarti dari lepas pantai Izmir,
kapal tua Rhosus harus mampir dulu ke Beirut. Kapal itu bersandar di pelabuhan
Beirut bulan September 2013. Untuk mengambil mesin tua itu.
Tapi mesin itu terlalu besar.
Peralatan di pelabuhan Beirut tidak seperti di negara maju. Saat dicoba
diangkat naik ke kapal mesin tua itu menghantam kapal tua. Kapalnya rusak.
Kapal Rhosus harus diperbaiki di
situ. Tapi tidak punya uang. Kapal harus lebih lama bersandar di pelabuhan
Beirut. Berarti ongkos sandar pun bertambah-tambah. Apalagi harus membayar
denda –akibat pembayaran yang tidak juga dilakukan.
Tapi muatan awal yang ada di
kapal itu, kalau disita, masih ada harganya: bahan baku peledak itu. Asalkan
kapal itu tidak tenggelam. Padahal di kapal itu mulai terlihat ada rembesan
air.
Maka pihak pelabuhan membongkar
bahan baku peledak itu. Agar tidak terpendam air. Dimasukkanlah bahan baku
peledak itu ke gudang di pelabuhan itu. Ke gudang nomor 12.
Aman.
Setidaknya bisa untuk jaminan
pembayaran ongkos sandar. Tidak disangka gegara ingin menyelamatkan uang receh
ini bencana besar terjadi. Tujuh tahun kemudian –4 Agustus barusan. Yang merugikan
negara Rp 300 triliun.
Ketika muatan bahan baku peledak
itu sudah pindah ke gudang, awak kapal masih harus tetap di dalam kapal.
Pekerjaan rutinnya: menguras air laut yang mulai masuk ke kapal. Mereka adalah
7 orang asal Ukraina. Satu orang kapten asal Rusia. Status mereka yang warga
negara asing membuat awak kapal harus tetap di kapal.
Perusahaan kapal itu tidak mau
tahu. Tidak lagi punya kemampuan keuangan. Belakangan perusahaan itu sendiri
tidak bisa bertahan hidup: bangkrut. Untuk biaya sehari-hari awak kapal pun
menjual minyak kapal.
Mereka menyedotnya dari tangki
kapal. Dijual eceran. Toh kapal tidak bisa jalan dalam waktu yang tidak bisa
ditentukan.
Setelah 10 bulan terlantar di
pelabuhan Beirut, pemerintah Ukraina menyelamatkan awak kapal itu. Mereka bisa
pulang ke Ukraina. Tinggallah kapten kapal asal Rusia itu sendirian. Ia harus
bertahan di dalam kapal. Sambil menunggu penyelesaian.
Tidak bisa selesai.
Ups... akhirnya bisa selesai.
Dengan sendirinya. Tuhan yang menyelesaikannya.
Problem itu selesai justru karena
tidak ada lagi awak yang menguras air laut yang masuk ke kapal. Bahkan kapten
kapal itu pun akhirnya sudah diselamatkan pemerintah Rusia. Kapal Rhosus
tunggal sendirian terapung di laut dekat pelabuhan.
Lama-lama kapal Rhosus itu pun miring.
Air laut yang masuk kapal kian banyak. Dalam tiga hari miringnya bertambah
dalam. Akhirnya kapal tua itu tenggelam dengan damai. Oktober 2018.
Ketika Minggu lalu gudang itu
meledak Rhosus sendiri hanya bisa melihat keruntuhan Beirut dari dasar laut sambil
tetap memejamkan matanya. Sebenarnya saat itu sedang diproses: mau diapakan
bahan baku peledak yang sudah 7 tahun di gudang itu?
Tidak bisa diapa-apakan. Harus
menunggu putusan pengadilan. Yang rupanya di mana-mana sama: lama dan sangat
lama. Begitulah hukum. Harus ditegakkan –sebagaimana mottonya-- biar pun langit
runtuh.
Tujuh tahun setelah kapal Rhosus
sandar di pelabuhan Beirut langit memang tidak runtuh.
Beirut yang runtuh.(Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment