Tuesday, September 4, 2018

MENYAMBUT KEMATIAN

MENYAMBUT KEMATIAN
Copas kiriman WA dari Dr Gunawan Halim - Holicare.
Saya share tulisan dari seorang dokter yang bertugas di RS Swasta - Jogjakarta..
Seringnya mendapat giliran tugas menunggui mereka yang sedang menghadapi sakaratul maut alias detik-detik menjelang lepasnya ruh dari tubuh fisiknya, membuat saya banyak merenungkan  apa arti dari semua ini.
Sebuah kesempatan belajar yang langka dan tidak semua orang bisa mengalaminya.
Apa pentingnya buat saya?
Sangat penting, karena dari peristiwa itulah saya terus disadarkan bagaimana mengisi hari-hari yang saya jalani ini, agar bisa berakhir dengan penuh makna, mencapai tujuan yang diagendakan sejak sebelum saya diturunkan ke dunia, dan belajar menghargai waktu yang tersisa dengan hidup yang lebih berkualitas.
Cara orang meninggal dunia itu berbeda-beda.
Kemiripannya hanya pada tanda-tanda yang menyertai sebelum maut menjemput.
Wajah yang mendadak berubah, seperti bukan yang kita kenali selama ini.
Pucat, bahkan putih seperti tembok.
Terutama sorot mata mereka, yang sebentar kosong, sebentar gelisah, sebentar marah.
Perilaku juga berubah.
Ada yang keinginannya harus dituruti betapapun anehnya.
Atau membuat orang lain kesal, dan yang bersangkutan sendiri marah atau uring-uringan.
Mereka juga jadi labil secara emosi.
Sedih, sering menangis tanpa tertahan lagi, takut ditinggal sendirian.
Semakin mendekati waktunya, semakin gelisah menanyakan hari, tanggal atau jam.
Juga tak betah lagi mengenakan segala macam alat bantu medis yang dimaksudkan untuk membuat mereka lebih lama bertahan hidup.
Yang membedakan adalah seberapa pasrah atau seberapa besar keyakinan mereka terhadap amal soleh yang mereka jalani semasa hidupnya.
Kebanyakan mereka yang simpel dan lurus-lurus saja hidupnya, tak banyak kuatir memikirkan ini itu hingga detil, lebih cepat "berangkat"nya.
Tapi jika masih ada banyak ganjalan di hati dan pikirannya, seringkali mengalami kesusahan pada saat jiwanya akan lepas dari tubuhnya.
Hal ini membuat saya berpikir, bahwa untuk mati dengan mudah tanpa melalui banyak siksaan, adalah dengan melatihnya semasa kita masih hidup di dunia.
Berlatih mati?
Ya, Anda tidak salah baca, dan saya tidak sedang becanda.
Yang pertama perlu dilatih adalah soal keyakinan kita.
Yakin dan menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa segala sesuatu itu datang dari Allah dan baik adanya, segala sesuatu senantiasa berujung kebaikan, termasuk di saat mengalami sakaratul maut yang bisa sangat menyakitkan.
Ini adalah fondasi yang sangat penting ketika kita mengalami sakaratul maut nanti.
Mengingat dan meyakini Kebaikan Allah yang ada dalam pikirkan kita akan membuat kita menyambut kematian dengan tersenyum dan pasrah
Putusnya ruh dan keluarnya ruh dari tubuh fisik kita akan lancar sama seperti ketika buang hajat besar, semakin kita rileks, akan semakin mudah, tapi semakin kita tegang, semakin susah lepas.
Latihan kedua adalah berlatih untuk ikhlas.
Ini mengikhlaskan apa saja yang selama ini kita anggap sebagai milik dan hak kita.
Sadarilah bahwa kita tidak memiliki apa-apa dan tidak berhak atas apapun, termasuk memikirkan nasib orang-orang yang kita kasihi yang akan kita tinggalkan.
Itu bukan urusan dan tanggung jawab kita.
Mereka adalah milik Allah dan masing-masing memiliki urusannya sendiri-sendiri dengan Allah Sang Pencipta kita.
Ikhlaskan juga segala urusan harta, kekayaan dan apapun yang masih mengikat dan menguasai kita, sejak sekarang ini, selagi kita masih hidup.
Artinya, ini adalah latihan mental agar kita tidak terus menerus kuatir dan memikirkan sesuatu yang nantinya akan kita tinggalkan.
Ikhlas juga berarti melepaskan dendam, kemarahan, kepahitan, luka batin yang masih ada.
Bersihkanlah hati kita mulai dari sekarang ini, hingga tak ada sisa sama sekali.
Juga maafkan dan doakan mereka yang pernah menyakiti hati, mengkhianati, mengakali kita dengan seikhlas-ikhlasnya.
Latihan juga tidak berhenti di aspek spiritual dan mental saja, namun juga di aspek fisik.
Memang tubuh fisik kita nantinya akan kita tinggalkan.
Tapi lebih enak mana meninggal dengan sehat atau dengan sakit?
Berlatihlah menghormati dan menghargai tubuh kita mulai dari sekarang.
Mulai belajar mendengarkan suaranya, apa yang sebenarnya ia butuhkan, bukan apa yang kita (ego/nafsu) butuhkan.
Berikanlah apa yang tubuh inginkan sejak sekarang, agar ia tak membangkang atau menusuk di belakang pada saat kita tak berdaya lagi.
Tapi ini bukan berarti manipulasi ya.
Lakukanlah dengan ikhlas, karena mengasihi tubuh sendiri sama dengan melayani orang yang sedang sekarat.
Perlu hati-hati, cermat, penuh hormat.
Daripada nantinya tubuh kita habis dimakan obat, lebih baik memeliharanya dengan baik semasa kita masih bisa.
Berikan makanan yang sehat, olahraga yang cukup, sinar matahari pagi, dan air bersih yang sesuai kebutuhan.
Banyak lagi yang bisa kita latihkan untuk menyambut kematian dengan gembira dan bukan dengan air mata.
Sudah waktunya kita mengubah persepsi tentang kematian bukan lagi sebagai peristiwa dukacita tapi sebagai pintu masuk ke keindahan alam kehidupan akhirat yang perlu kita syukuri.
Selamat merenungkan dan mulai berlatih.
Edited by ; MBI

No comments:

Post a Comment