Friday, September 7, 2018

PANDUAN MENYEBARKAN BERITA

PANDUAN MENYEBARKAN BERITA
PETUNJUK NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DALAM MENYEBARKAN BERITA..
Oleh Ustadz Nur Kholis bin Kurdian Lc
Di era globalisasi ini, dunia betul-betul terasa kecil seperti bola. Berita dari ujung dunia dalam hitungan detik dapat disebarkan ke seluruh penjuru, melalui situs-situs internet maupun jejaring sosial. Akan tetapi, tidak semua berita yang disebar tersebut benar dan baik untuk dikonsumsi masyarakat. Terkadang berita itu bohong belaka, mengandung unsur fitnah dan hasutan, dan ada pula yang membuat kerdil hati kaum Muslimin. Amat disayangkan, ada di antara pengguna dari kaum Muslimin yang mudah mengutip dan menyebarkannya kepada yang lain, tanpa memperhatikan kebenaran dan madharat sebuah berita. Tulisan ini akan membahas etika-etika yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim dalam menyebarkan berita berdasarkan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
JANGAN MUDAH MENYEBARKAN SETIAP BERITA
Hendaknya seorang Muslim berhati-hati dalam berbicara dan berbuat, jangan mudah menyebarkan setiap berita yang didengar atau yang dibaca, tanpa mengetahui kebenarannya, karena perbuatan tersebut madharatnya lebih besar dan tercela. Nabi  Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang yang seperti itu dengan sebutan pendusta dalam hadits.
 كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukup seseorang itu dikatakan pendusta jika ia mudah menyebarkan setiap berita yang ia dengar [Shahih Muslim no.4]
Disamping perbuatan tersebut menyebabkan si pelaku mendapatkan predikat pendusta, hal itu juga merupakan sebuah perbuatan yang juga dibenci oleh Allah  Azza wa Jalla, karena masuk dalam penyebaran desas-desus. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنِّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثاٌ : قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ المَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membenci tiga perkara : menyebarkan desas-desus, menghambur-hamburkan harta, banyak pertanyaan yang tujuannya untuk menyelisihi jawabannya [Shahih al-Bukhari no. 1477, Lihat Shahih Muslim no. 1715]
LAKUKAN KLARIFIKASI TERLEBIH DULU
Seorang Muslim jika ingin menyebarkan suatu berita, hendaknya ia mengecek kembali kebenarannya sebelum menyebarkannya. Mungkin saja, berita tersebut bersumber dari orang fasik atau pendusta atau musuh Islam atau sekedar dugaan belaka, yang efek negatifnya mungkin bisa merugikan si penyebar berita itu sendiri atau kaum Muslimin.
Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah ditanya, “Apa yang pernah engkau dengarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang prasangka atau dugaan?. Ia menjawab, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوا
“Dugaan-dugaan adalah sejelek-jelek sandaran seseorang[Sunan Abu Dawud no. 4972. Hadits Shahih lihat Ash-Shahihah no.866]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena kebodohanmu,  yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu it ~ QS 49 - Al-Hujurat : 6 ~
PIKIRKANLAH SISI POSITIF DAN SISI NEGATIFNYA
Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberikan kabar kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu tentang hak Allah Azza wa Jalla atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah Azza wa Jalla. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa hak Allah Azza wa Jalla atas hambaNya adalah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hak hamba atas Allah Azza wa Jalla adalah tidak menyiksa hamba yang bertauhid dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, kemudian ketika Muadz Radhiyallahu anhu meminta ijin kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengabarkan hal itu kepada yang lainnya. Akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dengan bersabda.
لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
Jangan kamu beritakan hadits ini kepada mereka, (dikhawatirkan salah paham), sehingga merasa cukup dengan tauhid dalam hati dan meninggalkan amal shalih [Shahih al-Bukhari no. 2856, Lihat shahih Muslim no. 49]
Di sini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memikirkan madharat dan fitnah yang akan terjadi jika umatnya yang waktu itu belum siap mendengarkan hadits tersebut lalu mendengarnya, karena tidak semua orang memiliki pemahaman seperti Muadz Radhiyallahu anhu, dan tidak semua orang dapat memahami hadits tersebut dengan pemahaman positif. Akhirnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyampaikan hadits tersebut kepada yang lainnya.
Tindakan tersebut adalah tindakan yang arif dan bijaksana, tidak seperti tindakan sebagian orang yang mudah menyebarkan perkataan seseorang dengan tanpa melihat sisi madharatnya, sehingga menimbulkan fitnah yang tidak karuan akibatnya. Hasbunallahu wani’mal wakil.
BERSIKAPLAH TENANG, JANGAN TERBURU-BURU
Ketika mendapatkan suatu berita, janganlah kita terburu-buru menyebarkannya. Mari kita bersikaplah bijak dan tenang, karena sesungguhnya sikap tenang itu terpuji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
التَّأَنَّي مَنَ اللَّهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
Sikap tenang itu dari Allah Azza wa Jalla, sedangkan sikap tergesa-gesa adalah dari setan [Hadits hasan, Lihat Ash-Shahihah no. 1795]
Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh kepada umat. Saat itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menyerang orang-orang kafir Quraisy di Makkah. Akan tetapi berita ini dibocorkan oleh Hathib bin Abi Balta’ah Radhiyallahu anhu secara sembunyi-sembunyi melalui surat yang ia tulis. Singkat cerita, setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan surat tersebut. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan bertanya-tanya kepadanya, “Kenapa kau lakukan ini, wahai Hathib?”. Di sini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tergesa-gesa menghukumnya atau langsung membunuhnya disebabkan perbuatan kufur tersebut. Akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan terlebih dahulu sebab yang melatarbelakangi perbuatannya itu. Kemudian Hathib Radhiyallahu anhu menjawab, “Wahai Rasulullah, meskipun aku dekat dengan mereka tapi aku bukan dari mereka. Aku melakukan ini bukan karena aku benci dan keluar dari Islam, akan tetapi aku meninggalkan kerabatku di Makkah. Aku tidak ingin kalau mereka di sakiti oleh orang-orang Quraisy. Aku lakukan ini agar kerabat-kerabatku selamat dari gangguan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memakluminya. Tatkala Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memenggal kepala Hathib, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ : اعْمَلُوامَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Dia pernah ikut berjihad di Perang Badar, Wahai Umar!. Dan ketahuilah bahwa Allah ketika melihat para pasukan Perang Badar, Dia Azza wa Jalla berfirman, “Lakukanlah apa saja yang kalian mau, maka sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian” [Shahih al-Bukhari no. 3007]
Semoga Allah  Azza wa Jalla senantiasa memberikan taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga bisa mengamalkan petunjuk-petunjuk Nabi-Nya yang mulia.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Sumber: http://almanhaj.or.id

No comments:

Post a Comment