Sunday, November 19, 2017

ROHINGYA, THE SPOILS OF IMPERIALISM

ROHINGYA, THE SPOILS OF IMPERIALISM
Oleh: Radhar Tribaskoro (Alumni ITB) - 11 September 2017

Hoax? Aung San Suu Kyi dengan ketus mengatakan bahwa media massa dunia mengkonsumsi berita palsu. Ia menunjuk sejumlah foto pembakaran rumah-rumah Rohingya yang dimuat berbagai media massa sebagai hoax. Nampaknya Suu Kyi bergeming betapapun kritik dan kecaman datang dari seluruh dunia tidak terkecuali dari para peraih Nobel. Sikap peraih nobel perdamaian 1991 ini menimbulkan pertanyaan. Apakah semua kecaman itu hoax semua, ataukah reaksi dunia yang melampaui batas?
Saya berpendapat kepedulian dunia atas nasib etnis Rohingya adalah sangat normal, dan permintaan Uskup Desmond Tutu agar pemerintah Myanmar mengakhiri tindak kekerasan itu adalah sangat wajar. Tindak kekerasan kepada kaum yang lemah sangat mengusik rasa kemanusiaan. Siapapun-dimanapun orang harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri tindak kekerasan itu.
Aung San Suu Kyi pasti mengerti prinsip di atas jauh lebih dari orang kebanyakan, sebab ia peraih penghargaan Nobel untuk Perdamaian. Ia telah berjuang dan menderita puluhan tahun demi menghidupkan prinsip tersebut. Jadi, kenapa reaksinya seperti itu? Reaksi itu memberi kesan bahwa dunia tidak memahami persoalan yang dia hadapi. Dunia sok menggurui!
Saya pikir kita perlu memahami isu Rohingya lebih mendalam, termasuk bagaimana isu itu dilihat dari berbagai perspektif. Pemahaman tersebut diperlukan agar kita bisa membentuk sikap secara lebih adil. Secara khusus saya tertarik mempelajari isu Rohingya ini karena ada paralelisme dengan pengalaman kita sendiri di Indonesia, misalnya ketika menyikapi isu minoritas (Cina) dan komunisme (PKI). Kesejajaran itu saya kira terkait dengan pengalaman kedua bangsa yang sama lahir dari puing reruntuhan kolonialisme dan imperialisme.
Akar Konflik Rohingya
Kasus Rohingya dan kasus Cina di Indonesia sama di mata saya. Keduanya adalah produk sia-sia (spoils) dari imperialisme. Rohingya di Burma (Myanmar) dan Cina di Indonesia pernah menjadi alat imperialis untuk menindas kaum terjajah.
Inggris, seperti halnya kaum kolonialis lain, membutuhkan suatu kelompok sosial membantunya mengelola wilayah jajahan. Mereka bisa menggunakan kaum feodal lokal atau mempekerjakan orang dari sukubangsa yang lain. Orang India membanjiri Rangoon sejak Inggris sepenuhnya menaklukan Burma pada tahun 1886. Dalam tempo setengah abad ibukota Burma itu akan didominasi oleh etnis India. Inggris memanfaatkan etnis India untuk mengelola administrasi pemerintahan, buruh kereta api, pelabuhan, pertambangan, perdagangan, bahkan menjadi tentara bayaran. Sementara itu orang-orang Bengali (dulu termasuk etnis India, sekarang Bangladesh) telah lebih dulu memasuki Arakan, suatu wilayah memanjang di pesisir barat Burma sampai ke perbatasan Bangladesh, juga atas dorongan Inggris yang mendudukinya setelah memenangkan Perang Burma-Inggris Pertama tahun 1824.
Orang-oran Bengali di Arakan (belakangan menyebut dirinya Rohingya), dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk mengembangkan pertanian yang ditinggalkan oleh orang-orang Arakan (belakangan disebut Rakhine) yang tidak sudi dijajah oleh Inggris. Seperti halnya Rangoon, kebijakan kolonial Inggris ini menyebabkan populasi etnis Bengali di Arakan membengkak 300% hanya pada beberapa tahun pertama. Belakangan dominasi pelayanan publik, penguasaan ekonomi, peralihan penguasaan tanah dan membengkaknya populasi India (Bengali) menjadi sumber konflik utama antara etnis Burma dengan India, selepas Inggris gagal mengatasi invasi Jepang pada tahun 1942.
Pada dasarnya kondisi kolonialialisme dan imperialisme telah menciptakan ketegangan dalam hubungan antar-etnis di Burma. Etnis pribumi benci dan marah karena harus membayar suap kepada etnis india untuk mendapat layanan pemerintah, mereka pun harus membayar mahal untuk produk kebutuhan pokok yang dimonopoli oleh orang india, sementara ketika ketidak-puasan pecah pemerintah Inggris mengirim tentara India (Gurkha) untuk menindas mereka, seringkali dengan kekerasan.
Dendam dan kebencian mewarnai hubungan etnis Rohingya dan etnis Burma sejak hampir 200 tahun terakhir. Entah berapa kali konflik diantara keduanya meledak dalam kekerasan. Dalam semua konflik itu, terutama setelah kemerdekaan 1948, etnis Rohingya paling menderita. Ratusan ribu terbunuh, ratusan ribu mengungsi ke negara-negara sekitar.
Ketika Inggris bermaksud meninggalkan Burma, orang-orang India harus memilih apakah tetap tinggal atau kembali ke India. Sebagian besar memilih pulang ke India. Pada waktu itu etnis India telah menjadi penduduk mayoritas di Rangoon, ibukota Burma. Jumlah mereka sekitar sejuta orang. Tanpa kehadiran Inggris keberadaan mereka sangat rentan. Selama ini, mereka harus hidup dalam bayangan kekerasan. Sepanjang 30 tahun terakhir kerusuhan etnis anti-india meletus semakin sering, kerusuhan terbesar bisa memakan jiwa ribuan orang. Mereka menjadi sasaran kebencian orang Burma terhadap imperialisme. Orang Burma menganggap mereka sebagai antek penjajah, bukan orang orang Burma. Mereka pun tidak menganggap Burma sebagai tanah air; India adalah tanah air (Tinker, 2014).
Jadi orang India di Rangoon memilih pulang ke negerinya ketika Inggris tidak mampu mempertahankan Burma dari invasi Jepang. Lebih dari 500 ribu orang eksodus dalam long march meninggalkan Rangoon menuju india. Sebagian lagi menggunakan jalur laut menuju Kalkuta. Long march itu menempuh perjalanan hampir 1000 km menembus hutan lebat, sungai dan gunung. Hanya 400.000 orang yang berhasil mencapai tujuan.
Namun orang Rohingya tetap tinggal.
Mereka mungkin tidak menghadapi masalah sekritis saudaranya di Rangoon. Mungkin long march tidak diperlukan sebab Arakan dan India hanya terpisah oleh aliran sungai Naf. Mungkin juga mereka sudah tidak punya lagi tempat di kampung halaman. Atau orang Rohingya mempunyai cita-cita lain dan merasa mampu mengatasi konflik dengan etnis asli Burma.
Rohingya berada di pihak Inggris ketika invasi Jepang, sementara tentara Burma mendukung Jepang karena, seperti di Indonesia, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Burma. Inggris mempersenjatai Rohingya dan membentuk V(olunteer)-Brigade beranggotakan orang-orang Rohingya. Namun bukannya mempergunakan senjata itu untuk melawan Jepang, orang Rohingya menggunakannya untuk menyerang desa-desa Arakan Budhis dengan alasan simpatisan Jepang. Orang Burma masih mengingat Arakan Massacre tahun 1942 ketika bentrok antara orang Rohingya di bawah V-Brigade dengan orang Arakan Budhis menyebabkan jatuhnya 50.000 korban di pihak Arakan Budhis. Pembantaian berbalik ketika Jepang menguasai Arakan.
Karakter Konflik Rohingya
Karakter konflik Rohingya ditentukan oleh sedikitnya 3 skenario politik yang dicanangkan oleh para tokoh Rohingya. Ketiga skenario berjalan nyaris bersamaan. Skenario pertama adalah mendirikan daarul islam atau negara Islam di Arakan. Arakan memang pernah menjadi protektorat Sultan Bengali tetapi tidak pernah menjadi Islam. Raja Arakan senang berpakaian muslim seperti Sultan Bengali dan memiliki struktur pengadilan persis pengadilan Islam, namun mereka tetap beragama Budha.
Skenario negara Islam ini mendapat inspirasi dari Wahabi yang sedang menguat waktu itu di Saudi Arabia. Kalau kita menengok kondisi di Indonesia, pada periode yang sama, tahun 1830an, beberapa orang Minang mengobarkan perang Paderi selepas mereka menjalankan ibadah haji. Gagasan di balik perang tersebut adalah wahabisme yang sama.
Wahabisme di Arakan dijalankan oleh orang Rohingya dengan mengadopsi cara hidup komunal Arab. Mereka mencoba berswasembada dengan membikin komunitas mandiri di tanah-tanah pertanian. Para tuan tanah mengumpulkan pekerja-pekerja di tanahnya, mereka membangun perkampungan, memproduksi makanan sendiri, membuat sekolah sendiri, punya puskesmas sendiri, dan berlatih perang. Jadi perang dan kekuatan bersenjata di belakangnya sudah lama ada, jauh sebelum ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) berdiri.
Skenario politik kedua adalah memisahkan diri dari Burma. Pada tahun 1947 ketika Pakistan akan berdiri tokoh-tokoh Rohingya meminta M. Ali Jinnah (pendiri Pakistan) untuk memasukan Arakan sebagai wilayah Pakistan. Jinnah menolak permintaan itu karena ia tidak ingin berselisih dengan Burma. Kesempatan kedua muncul saat Pakistan Timur berperang untuk melepaskan diri dari dominasi Pakistan Barat. Sayangnya, Rohingya memilih untuk berpihak kepada Pakistan Barat. Maka ketika Pakistan Timur menang dan mendeklarasikan berdirinya Bangladesh tahun 1971 tak ada simpati Bangladesh kepada orang Rohingya. Sebaliknya pemerintah Burma semakin antipati, mereka menganggap Rohingya separatis dan backstabbing dua kali. Gambaran kemarahan militer Burma mungkin bisa dibandingkan dengan kemarahan Orde Baru kepada PKI yang juga dianggap telah berkhianat dua kali.
Skenario politik ketiga adalah menuntut pemerintah Burma hak sebagai warga negara yang sah dan diperlakukan seperti sukubangsa Burma lainnya, misal Bamar, Karen, Rakhine, Mon, Shan dsb.
Tidak ada diantara ketiga skenario itu yang diterima oleh pemerintah Burma. Skenario ketiga yang paling lunak pun ditolak dengan alasan bahwa Rohingya tidak seperti suku-suku lain yang menjadi mayoritas di suatu wilayah. Bahkan di Arakan, muslim Rohingya adalah minoritas dibandingkan dengan budhis Arakan.
Sebaliknya pemerintah Myanmar menganggap bahwa Rohingya (berarti penduduk wilayah Rohang atau Arakan) tidak ada. Rohingya adalah identitas politik artifisial yang diciptakan tahun 1950an untuk mengklaim wilayah Arakan. Aungsan Suu Kyi menegaskan kembali hal tersebut ketika utusan PBB menemuinya.
Dalam pandangan pemerintah Myanmar, orang Rohingya adalah orang Bengali. Mereka imigran dari Bengali (sekarang Bangladesh), dan karena tidak memiliki dokumen mereka dianggap imigran gelap.
Perspektif kedua pihak yang sangat bertentangan itu menjelaskan mengapa pada tanggal 25 Agustus 2017 ARSA mengorganisir serangan kepada 30 pos polisi, militer dan pengawal perbatasan di Rakhine (Arakan). Jelas juga mengapa jawaban pemerintah Myanmar sangat keras dan tak peduli telah mengakibatkan ratusan ribu pengungsi membanjiri Bangladesh.
Adalah menarik kalau kita renungkan betapa retorika pemerintah Myanmar terhadap Rohingya tidak jauh berbeda dengan retorika kita kepada PKI. "Mereka tidak bisa dipercaya. Selalu berbohong dan menipu. Mereka telah berkhianat kepada republik. Berkali-kali !!" Hal yang tidak mengherankan bila mengingat bahwa kita dan Myanmar sama harus menanggung sisa-sisa sia-sia dari kolonialisme dan imperialisme.
Prospek Konflik Rohingya
Tidak seorang pun tahu apa yang bakal terjadi pada Rohingya. Tetapi tidak seorang pun bisa menyangkal, termasuk Aungsan Suu Kyi, bahwa bencana kemanusiaan telah menimpa Rohingya. Dengan cara bagaimana bencana itu diakhiri dan bagaimana setiap langkah merupakan bagian dari sebuah solusi permanen atas masalah Rohingya, itu persoalannya.
Sebagai langkah awal saya ingin menggaris-bawahi beberapa pokok pikiran di bawah ini. Saya menyusunnya berdasarkan sudut pandang moral.
1. Masalah paling urgen, yaitu masalah kemanusiaan, harus didahulukan. Kehidupan pengungsi di Bangladesh sangatlah sengsara. Di sini mereka tidak boleh bekerja, bepergian, sekolah dsb. Bagi Bangladesh, Rohingya sebuah dilema. Walau seetnis, mereka tidak menghendaki Rohingya. Ada kecelakaan sejarah dalam hubungan Rohingya dengan Bangladesh, daya dukung ekonomi Bangladesh yang sangat terbatas untuk menampung lebih sejuta orang Rohingya dan masalah keamanan perbatasan di masa depan. 
Inilah dilema stateless Rohingya: Burma mengusir mereka sementara Bangladesh tidak bisa menerima mereka. Justru di kedua negara itu, Rohingya terus-menerus menjadi korban pemerasan, penghinaan, perkosaan, perampokan, pembakaran bahkan pembunuhan massal. Maka, bukannya berlebihan kalau PBB mengatakan Rohingya adalah suku yang paling tidak dikehendaki dan paling dipersekusi di dunia. 
2. Fokus tekanan luar negeri hendaknya jangan hanya ditujukan kepada Aungsan Suu Kyi. Pemerintahan sipil di Myanmar baru dimulai 2012, masih sangat muda terutama mengingat sebagian besar kekuasaan ekonomi dan politik masih dipegang oleh junta militer. Saya dapat menambahkan bahwa Suu Kyi bukan faktor menentukan. Dalam kaitan integritas (persatuan dan kesatuan) negara, junta militer tetap memegang kekusaan yang nyaris absolut. Posisi itu telah mereka genggam selama hampir 70 tahun. 
Berbeda dengan Indonesia, kekuatan politikus dan intelektual tidak terlalu berarti dibanding militer. Hal itu terkait dengan kontribusi militer, dipelopori oleh Thirty Comrades, yaitu sekelompok perwira muda progresif dipimpin ole Aungsan (ayah Suu Kyi), yang sangat signifikan atas kemerdekaan Burma. Perlu pula ditambahkan, di masa lalu Tatmadaw tidak sungkan menarik komitmennya terhadap demokrasi dan melancarkan kudeta dengan alasan menjaga integritas negara.
Karena itu sasaran dialog dan lobby dunia internasional sebaiknya perlu juga ditujukan kepada Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar). Bukankah untuk menurunkan tingkat kekerasan dan kebrutalan di lapangan para komandan lapangan harus diajak bicara? Selain itu dialog juga perlu dilakukan kepada kaum Rakhine Budhis. Merekalah yang selama hampir dua ratus tahun terakhir berhadapan head to head dengan Rohingya. Dendam dan kebencian kepada Rohingya terutama menggumpal di kalangan mereka ini. Dalam hemat saya, bila Rakhine Budhis dan junta militer telah terbuka hatinya tidak terlalu sukar bagi Suu Kyi untuk mengambil kebijakan mengakhiri penderitaan Rohingya.
3. Solusi politik tetap harus ditemukan karena dari sanalah kita berharap penderitaan Rohingya bisa dihentikan. Inti dari solusi itu adalah menyingkirkan the spoils of imperialism yaitu dendam dan kebencian. Dari sana kita berharap hubungan antar-manusia dan antar-etnis di Myanmar mengalir secara wajar. Dari sana kita berharap Rohingya bersama dengan suku-suku Myanmar lainnya dapat berkontribusi untuk Myanmar yang makmur dan adil. Sebelum mencapai maksud tersebut sangat penting meyakinkan pemerintah Myanmar bahwa ethnic cleansing adalah brutal dan tidak bisa diterima dunia. Myanmar akan kehilangan banyak peluang bila terus menjalankan kebijakan itu. 
Tentu saja tidak mudah menghilangkan dendam dan kebencian yang telah berumur ratusan tahun. Ekspresi umat Budha Myanmar kepada Rohingya yang begitu keras, jauh berbeda dengan apa yang kita ketahui selama ini, menunjukkan bahwa jalan itu sangatlah berat. Tetapi bukankah kewajiban negara untuk bekerja berdasarkan akal sehat? Para pemimpin Myanmar harus menyadari bahwa tidak mungkin mereka membunuh atau mengusir satu juta orang tanpa membuat dunia mengarahkan kepalannya kepada mereka. Tidak mungkin pula hal itu dilakukan tanpa mengusik hati-nurani bangsa Myanmar sendiri, kini atau nanti.
Pada tingkat yang paling dasar, solusi politik itu bermakna pengakuan atas kewarganegaraan orang Rohingya. Status stateless Rohingya harus diakhiri.
4. Terus terang, selama saya menulis artikel ini saya tergoda untuk mengatakan, "Belajarlah dari Indonesia bagaimana memperlakukan minoritas." Secara moral, para bapak bangsa kita telah meletakkan fondasi yang benar, yaitu meletakkan keberagaman sebagai kekayaan. Konstitusi dan hukum kita pun telah didesain dengan perlindungan maksimal atas hak-hak minoritas. Tetapi apakah kita telah memiliki hubungan antar-etnis dan antar-agama yang berkeadilan dan harmonis? Ternyata pihak majoritas maupun minoritas sama menyatakan tidak puas. Lantas, apa yang salah?
Pertanyaan ini menghentikan niat saya untuk menyombongkan diri sendiri. Walau saya tahu orang Myanmar sangat ramah, saya khawatir di belakang punggung mereka menertawakan saya.
Penutup
Apa yang saya sampaikan di atas pada dasarnya hanyalah sebuah sikap moral. Dalam tingkatan praktis, moralitas berarti daftar keinginan. Ketika daftar itu dinyatakan tidak  lantas semua masalah terkait keberadaan Rohingya akan berakhir. Antara keinginan dengan kenyataan terbentang jurang yang lebar.
Dulu ketika muda saya senang sekali mengutip Tan Malaka, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Saya membutuhkan kemewahan itu agar memiliki sense of direction, memiliki harapan. Saya masih belum mau bagian muda dari diri saya itu menghilang sekarang. Namun, sekalipun kita tahu mawar lebih harum daripada kubis jangan kemudian beranggapan bahwa sup akan lebih nikmat bila mawar menggantikan kubis.
Perjalanan seorang idealis tidak berbeda dengan orang mengupas bawang. Ia menyingkap lapis ilusi untuk menemukan lapis ilusi yang baru. Burma telah memulainya dengan sangat baik. Aung San, bapak bangsa Burma sekaligus bapak Aungsan Suu Kyi, memiliki tujuan yang jelas bahwa Burma yang bersatu haruslah melibatkan semua etnis yang ada. Katanya: 
"Bangsa adalah sebuah kolektivitas orang-orang dari manapun asal etnisnya, yang berhubungan erat, yang memiliki kepentingan bersama, berbagi kesedihan dan kegembiraan, di saat-saat bersejarah yang membutuhkan rasa kesatuan. Sekalipun ras, etnis, agama dan bahasa berbeda, namun hasrat dan keinginan untuk bersatu dalam suka dan duka akan mengikat kebersamaan dan menjadikan semuanya sebagai satu bangsa dengan kesediaan membelanya sepenuh jiwa."
Aung San telah menuliskan pernyataan moral yang indah. Setelah 70 tahun merdeka dan ilusi demi ilusi tersingkap, kita senang menyaksikan Burma masih tetap setia kepada garis yang telah dituliskan pendirinya. Mungkin tidak sedikit orang melecehkan mengingat realitas saat ini. Ya, pasti ada orang senang melihat dari sisi gelap. Saya lebih senang melihat dari sisi terang, idealisme adalah visi yang tengah diwujudkan. Burma tidak gagal, hanya kurang berhasil.
Referensi:
Akhter, S., & Kusakabe, K. (2014). Gender-based Violence among Documented Rohingya Refugees in Bangladesh. Indian Journal of Gender Studies, 21(2), 225–246. http://doi.org/10.1177/0971521514525088
Ansel, S. A., Mahāwitthayālai Chīang Mai. Regional Center for Social Science and Sustainable Development. (n.d.). Stateless Rohingya... running on empty.
Brooten, L. (2015). Blind Spots in Human Rights Coverage: Framing Violence Against the Rohingya in Myanmar/Burma. Popular Communication, 13(2), 132–144. http://doi.org/10.1080/15405702.2015.1021466
Burma. (2005). The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma (Myanmar), 1–25.
Carey, P. (2008). Burma: The Challenge of Change in a Divided Society, 1–279.
Cheesman, N. (2017). How in Myanmar “National Races” Came to Surpass Citizenship and Exclude Rohingya. Journal of Contemporary Asia, 00(00), 1–23. http://doi.org/10.1080/00472336.2017.1297476
Chatty, D., & Finlayson, B. (2010). Dispossession and displacement: forced migration in the Middle East and North Africa. Routledge. http://doi.org/10.4324/9781315556925
Cheung, S. (2012). “Migration Control and the Solutions Impasse in South and Southeast Asia: Implications from the Rohingya Experience.” Journal of Refugee Studies, 25(1), 50–70. http://doi.org/10.1093/jrs/fer048
Farzana, K. F. (2015). Boundaries in Shaping the Rohingya Identity and the Shifting Context of Borderland Politics. Studies in Ethnicity and Nationalism, 15(2), 292–314. http://doi.org/10.1111/sena.12142
---. Memories of Burmese Rohingya Refugees. Springer.
Gravers, M. (1994). Nationalism as Political Paranoia in Burma: An Essay on the Historical Practice of Power. (Vol. 53). Curzon Press. http://doi.org/10.2307/2059806
Islam, N. (1999). Islam: The Rohingya Problem - Google Scholar. Arakan Rohingya National Organisation (ARNO).
Kingston, L. N. (2015). Protecting the world“s most persecuted: the responsibility to protect and Burma”s Rohingya minority. The International Journal of Human Rights, 19(8), 1163–1175. http://doi.org/10.1080/13642987.2015.1082831
Kipgen, N. (2013a). Addressing the Rohingya Problem. Journal of Asian and African Studies, 49(2), 234–247. http://doi.org/10.1177/0021909613505269
Kipgen, N. (2013b). Conflict in Rakhine State in Myanmar: Rohingya Muslims' Conundrum. Journal of Muslim Minority Affairs, 33(2), 298–310. http://doi.org/10.1080/13602004.2013.810117
Kironska, S. C. Y. K. K. (2016). The Rohingya Oxymoron: Stateless People Leaving their Home Country, 1–28.
Kosem, S., & Saleem, A. (2016). Religion, Nationalism, and the Rohingya's Search for Citizenship in Myanmar. Muslim Minority-State Relations: Violence, 3(2), 211–224. http://doi.org/10.1007/978-1-137-52605-29
Lancet, T. (2016). Recognising the Rohingya people. The Lancet, 388(10061), 2714. http://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)32458-8
Lee, R. (2014). A Politician, Not an Icon: Aung San Suu Kyi's Silence on Myanmar's Muslim Rohingya. Islam and Christian–Muslim Relations, 25(3), 321–333. http://doi.org/10.1080/09596410.2014.913850
Myint-U, T. (2004). The Making of Modern Burma, 1–294.
Rieffel, A. (2010). Myanmar/Burma. Brookings Institution Press.
Thawnghmung, A. M. (2011). Beyond armed resistance: ethnonational politics in Burma (Myanmar). Policy Studies.


No comments:

Post a Comment