Monday, July 23, 2018

KUTEMUKAN LAILATUL QADR

KUTEMUKAN LAILATUL QADR
Kutemukan Lailatul Qadr di Way Nipah
(Sebuah Cerpen oleh haridewa)
Setelah menempuh perjalanan panjang selama nyaris 24 jam, akhirnya sampai juga kau pada desa tujuanmu, Way Nipah. Meski temaram sinar jingga sudah mulai memenuhi langit barat, namun kau masih mampu menikmati pemandangan yang tak jauh berubah dibanding beberapa puluh tahun lalu ketika terakhir kau berkunjung ke desa ini. Pohon-pohon kelapa bebaris rapi di sepanjang pinggir aspal seolah menjadi pembatas wilayah darat dan lautan. Dedaunannya bergoyang ritmis mengikuti hembusan angin malam, ibarat penari perut menggoda para penontonnya. Beragam kapal kecil nelayan terparkir tak beraturan di sungai kecil muara. Rumah-rumah penduduk beratapkan seng juga dibangun tanpa aturan, berserakan sepanjang pantai. 
Bus engkel yang kau tumpangi mesti berhenti di ujung jalan itu, karena jalanan beraspal yang bisa dilalui mobil memang benar-benar berakhir di tempat tersebut. Jalanan selanjutnya menuju daerah sekitar hanya berupa jalan tanah berpasir yang cuma cukup untuk kendaraan beroda dua. 
Agak aneh memang menyaksikan ujung dari sebuah jalan. Kau merasa seolah sedang berada di ujung dunia. Secara ironis situasi ini terasa menyindir dirimu. Bisikan halus namun tajam berujar di antara dua telingamu, "Habislah kau. Inilah akhir dari perjalananmu!"
Tergeragap, kaget pada ilusimu sendiri menyerapmu pada kisah panjang beberapa tahun belakangan ini. 
Dimulai dari pengembaraanmu ke ibu kota yang menghantarkan pada sebuah kedudukan strategis di badan pemilihan umum nasional. Setelah magang selama beberapa bulan, Dewi Fortuna berpihak kepada dirimu, karena entah karena satu alasan apa, bakal calon ketua umumnya tetiba saja dirundung petaka dan masuk penjara. Maka selaku sekretaris jendral, dirimulah yang kemudian berpeluang menduduki posisi ketua tersebut. 
Hal ini nyaris sama dengan peristiwa beberapa waktu silam ketika dirimu terpilih menjadi ketua umum sebuah organisasi mahasiswa, padahal kau sadar bahwa dirimu belum layak karena belum mengikuti LK IV (Latihan Kepemimpinan). Dewi Fortuna jualah yang memaksa nasibmu untuk berkuasa waktu itu. 
Dan kemudian Dewi Fortuna kembali memainkan peran ketika dirimu terpilih secara aklamasi untuk memimpin sebuah partai politik dimana dewan pelindungnya tengah menjadi kepala negara.
Wow, sebuah pencapaian karir yang luar biasa pesat. Ibarat meteor yang melesat ke bumi tanpa mampu dibendung atmosfer lagi. 
Dan masih tergambar jelas di pelupuk matamu, bahwa semua pencapaian tadi telah mengorbankan nuranimu yang paling dalam. Menggerus lantak semua petatah petitih orangtua ketika dirimu masih kecil dulu. Haq atau bathil sudah bukan pedulimu lagi, yang penting tujuan dunia tercapai.  
Kau tahu alkohol itu haram, namun kalau proses meluluskan sebuah tujuan membutuhkan alkohol, maka semua alkohol itu menjadi harum saja adanya. Kau sadar bahwa membunuh itu sangat keji, namun ketika ada lawan politik yang selalu menggelitik, tanpa segan kau akan melumatnya menjadi sebuah titik. 
Tanpa mampu kau kendalikan lagi, semua jenis tipu daya, telikung menelikung kawan serta lawan telah kau praktekkan. Tak kau sadari bahwa bumi ini terus berputar. Bahwa hukum tebar-tuai tetaplah berpendar. Dan kini karmapun tak mampu kau elak lagi. 
Usai adzan maghrib sore kemarin, kau mengendus kabar bahwasanya kasus mega korupsi pembangunan wahana olah raga di bilangan Jawa Barat telah terbongkar. KPK telah menangkap beberapa pejabat berwenang, termasuk bendahara partai yang kau pimpin. Kau sadar, sangat sadar bahkan, jika sebentar lagi adalah giliranmu untuk digelandang menjadi pesakitan kasus mega korupsi ini. 
Maka kau bergegas, hanya membawa satu tas ransel saja yang berisi beberapa dokumen penting serta beberapa lembar pakaian, menuju terminal antar kota. Kau yakin semua bandara serta pusat transportasi utama pasti telah berpencar petugas gabungan yang akan dengan sigap mengamankanmu, maka melarikan diri dengan bergerilya adalah satu-satunya pilihan yang tersisa. 
Kau naik bus menuju terminal penyeberangan Merak, untuk kemudian menyeberang naik kapal RORO, bejubelan dengan ribuan orang yang mulai menyemut pulang kampung menjelang lebaran. Dari pelabuhan Bakauheni, kau lanjut menumpang bus tigaperempat menuju terminal Raja Basa, kemudian berganti dengan bus engkel, dan sampailah kau di sini. 
***
Kau mengenal daerah ini ketika menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) beberapa puluh tahun yang lalu. Terletak sekitar 150 km arah barat laut Bandar Lampung, Way Nipah merupakan bagian kecamatan Pematang Sawa, Kabupaten Tanggamus.  Awalnya kau sempat heran kenapa kecamatan itu bernama pematang sawa, karena kenyataannya hampir tidak kau jumpai sawah di sana. Mungkin leluhur daerah ini dahulunya mendamba bentangan sawah, sehingga melakukan afirmasi dengan nama kecamatan tadi. 
Way Nipah merupakan desa terakhir yang bisa ditempuh menggunakan mobil. Desa-desa lain di balik sebuah bukit yang tinggi itu hanya bisa dilalui oleh sepeda motor. Setelah melewati beberapa tanjakan maut dan jurang yang terjal  terdapat perempatan dari jalan tanah merah untuk menuju ke Tampang, Karang Brak dan Teluk Brak jika mengambil jalan lurus, sedangkan jika berbelok ke kanan, maka kita akan sampai ke desa  Pesanguan dan Way Asahan. 
Hanya berselang 1 kilometer dari perempatan tersebut terdapat daerah hutan lindung  TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN, yang konon kabarnya merupakan sarang serta kuburan rahasia gajah Lampung. Dengan sulitnya rute menuju ke wilayah ini, maka ini adalah sebuah tempat bersembunyi yang ideal bagimu. 
***
Sangat beruntung bagimu karena selain tidak berubahnya lingkungan desa ini, demikian juga suasana kekeluargaan warganya. Berbekal nama tetua desa tempat kau mondok saat KKN dulu, kau diterima menjadi tamu kehormatan di rumah kepala dusun yang tinggal di seberang surau. Paling tidak malam itu kau bisa tidur dengan tenang, sebelum esok kau akan mulai menghilang ke tengah hutan lindung. 
Tengah malam kau terjaga dari tidur pulasmu. Seolah ada yang membangunkan, kelopak matamu terbuka saja dengan sendirinya. Badanmu terasa sangat segar. Belum pernah kau merasa sesegar ini, semenjak beberapa tahun belakangan ini. Kau lihat jarum pendek jam tanganmu berada di angka 2. Itu artinya kau tidur baru sejenak, namun mungkin inilah kualitas tidur terbaik yang pernah kau miliki. 
Sayup namun pasti telingamu mendengar alunan merdu lantunan ayat suci Al Quran. Suaranya mirip biduanita sebuah cafe yang sering kau datangi, namun syahdunya mampu menghanyutkan melodi kalbumu yang hampir membatu. 
"Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah. Melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). Diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi, (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas 'Arsy. Milik-Nya-lah apa yang ada di langit, apa yang di bumi, apa yang ada di antara keduanya[6] dan apa yang ada di bawah tanah. Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Dialah) Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia, yang mempunyai nama-nama yang terbaik"
Entah mengapa gendang telingamu serasa digedor oleh alunan merdu tersebut. Tulang belulangmu seperti remuk dan dadamu terguncang. Tanpa terasa airmatamu mengalir deras laksana air bah Nabi Nuh yang mampu meluluhlantakkan sesiapa saja yang mengingkari kebenaran Nya. Meski setengah menebak, lamat-lamat kau mengingat, itu adalah surat Thaha 1-8. 
Kau jadi teringat guru ngajimu yang bertutur tentang kisah Umar bin Khatab
Suatu hari Umar dalam api kemarahan, ia membawa sebilah pedang untuk menumbangkan kepala Rasulullah, tetapi di persimpangan jalan ia bertemu dengan Nua’im bin Abdillah yang mengatakan, bahwa ia haruslah memenggal kepala adik perempuannya dahulu, sebelum membunuh Nabi, karena adiknya telah memeluk Islam
Merasa keluarganya telah ternoda dengan ajaran baru, Umar langsung pergi ke rumah adiknya itu dengan amarah meluap dan mendapati adiknya sedang membaca Alquran.
Bertemu dengan sang adik, Umar langsung memukulnya. Saat tetes darah mengucur deras dari kepala adiknya, ia merasa bersalah dan meminta maaf, untuk menebus kesalahan itu ia lalu meminta adiknya membacakan apa itu Alquran di hadapannya.
Begitu dibacakan awal surat Thaha tersebut, seluruh tubuhnya bergetar, tulang belulangnya seperti langsung remuk dan tak berdaya. Pedangnya pun terjatuh ke tanah. Dadanya terguncang.
Umar tahu, bahwa kata-kata itu bukanlah kata-kata biasa, keindahannya amat melampaui puisi mu’allaqat yang digantung di dinding Kabah, atau puisi muhadzabat yang ditulis dengan tinta emas di pintu gerbang kota. 
Maka perangai yang menyeramkan sebelumnya tetiba saja berubah menjadi lemah lembut, ketika Umar mendengar kalam Ilahi tersebut. 
***
Masih dengan dada bergemuruh dan menahan isakan, kau keluar dari kamar pondokanmu dan mencari asal suara merdu yang sangat tartil tadi. 
Malam itu angin terasa sangat tenang. Hawanya penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin. Kau lihat bulan berukuran setengah nampan, tersembul malu di antara gumpalan awan cirro cumulus. Laut seolah membeku sehingga tak terdengar sedikitpun suara debur ombaknya. 
Hatimu serasa diaduk-aduk, campur baur antara syahdu, sedih, gemetar, juga gamang. Surat yang telah menghancurkan kerasnya hati seorang preman di jaman Rasulullah itu kini tengah mengebor dinding pertahanan ego duniamu. Satu sisi dirimu ingin segera menghilang menuju hutan lindung, sementara sisi lainnya bersikukuh untuk meneruskan menikmati lantunan kalam Ilahi tersebut. 
Rupanya pertarungan bisu di dasar kalbumu dimenangi oleh sisi kedua. Nyatanya kakimu terseret pelahan menuju surau, daun telingamu bergerak-gerak menajamkan fungsi auditorinya demi menderes lantunan merdu yang kian menghipnosis itu. 
Kau lihat pintu surau terkuak sedikit, mengirimkan sebuah bayangan hitam sedang duduk khusyuk dengan posisi tahiyat. Tak sabar kau memasuki surau itu dan tercium aroma stroberi parfum aigner yang sangat kau kenal. Sesosok wanita mengenakan gamis hitam dan pasmina hitam menengok ke arah pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh"
Kau sangat terkejut begitu mengenali seraut wajah cantik dalam balutan busana hitam tadi. Saking terkejutnya sampai lidahmu kelu dan tak sanggup membalas ucapan salamnya. Ternyata dia memang biduanita cafe yang biasa kau datangi bersama kolega-kolega politikmu. Perasaanmu bergeser menjadi cemas, takjub, bingung dan sedikit menyisakan rasa syahdu itu. 
"Sssiappa sebenarnya Anda?", akhirnya tercetus juga tanya itu dari mulutmu. Wanita tadi beringsut dari duduk tahiyatnya, beranjak menghampirimu, dan menjawab tanyamu, "Perkenalkan nama saya Lailatul Qadr Pak. Saya dari KPK dan bertugas membawa Anda kembali ke Jakarta!" 
Dengan sigap wanita tadi mengeluarkan borgol dari balik gamis hitamnya, dan sebelum kau sadar apa yang sedang terjadi, di tanganmu sudah terpasang gelang pesakitan tersebut. 
Tanjung Karang, Ramadhan hari ke 27 1429 H

No comments:

Post a Comment