Showing posts with label i'tikaf. Show all posts
Showing posts with label i'tikaf. Show all posts

Friday, June 16, 2017

I’TIKAF, LAILATUL QADR & NUZULUL QUR’AN

KAJIAN AL QUR’AN
I’TIKAF, LAILATUL QADR & NUZULUL QUR’AN
Pengajian Subuh Masjid Ukhuwah – Ustadz Abdullah Amin – Bekasi, Jum’at, 16 Juni 2017
Ø  I’TIKAF
Pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, dilazimkan suatu ibadah yang namanya i’tikaf, yaitu berada dalam masjsid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. (Catatan kaki QS 2: 187). I’tikaf adalah suatu ibadah yang sudah ada pada jaman sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada jaman Nabi Ibrahim Allah telah memerintahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail untuk membersihkan rumah-Nya (Baitullah), di luar Ka’bah, untuk dijadikan tempat berkumpulnya manusia dan orang melaksanakan thawaf, i’tikaf, ruku’ dan sujud. Serta menjadikan tempat berdirinya Nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah sebagai tempat shalat (Makam Ibrahim) (QS 2: 125).
Ada beberapa cara melakukan i’tikaf di masjid:
1.   Rasulullah s.a.w. melaksanakan i’tikaf di masjid 24 jam/hari selama 10 hari. Rasullah pulang ke rumah untuk membangunkan keluarganya, kemudian kembali lagi ke masjid. Dan beliau disebut ’mengencangkan ikat pinggang’ yang artinya meningkatkan kualitas ibadah dan tidak melakukan hubungan suami istri (QS 2: 187)
2.   Menurut Abu Hanifa, i’tikaf boleh dilaksanakan cukup sehari semalam saja dalam 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Jadi, tidak perlu seperti yang dilakukan Rasulullah. Tidak ada hadits yang mengharuskan beri’tikaf seperti Rasulullah s.a.w.
3.   Menurut Imam Syafei i’tikaf cukup diniatkan saja saat masuk masjid dan bisa diluar bulan Ramadhan. Yang penting dilaksanakan dalam masjid, bukan di rumah atau musholla
Selama menjalankan i’tikaf tidak diperbolehkan menengok orang sakit dan mengantar jenazah, namun diperkenankan untuk pulang untuk mengambil suatu.
Ø  LAILATUL QADR
I’tikaf paling istimewa nilainya saat Lailatul Qadr. Lailatul Qadr ialah malam kemuliaan yang nilainya lebih baik dari seribu bulan (QS 97: 1-5), dan terjadi pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan.
Menurut Dawud Ali, Lailatul Qadr terjadi hanya sekali, yaitu waktu turunnya Al Qur’an di jaman Rasulullah, sehingga sekarang tidak terjadi lagi.
Pendapat ini dibantah karena ada hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah berfirman: “Umur umatku tidak ada sepersepuluh umur umat terdahulu, tapi umatku lebih besar pahalanya dari umat-umat terdahulu karena adanya Lailatul Qadr
Kaum terdahulu, contohnya masa Nabi Nuh yang berdakwah selama 950 tahun, yang tentu umurnya lebih dari itu, sekitar 1000 tahun (= 12.000 bulan). Kalau sepersepuluh usia Nabi Nuh berarti sekitar 100 tahun. Usia umat sekarang paling lama 85 – 90 tahun, itupun hanya sedikit jumlahnya (QS 29: 14-15). Walaupun usia umat sekarang lebih kecil, tapi karena tiap tahun ada Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik dari seribu bulan, sehingga pada usia 65 tahun saja, nilainya = 65.000 bulan.
Ø  NUZULUL QUR’AN
Allah menurunkan Al Qur’an pertama kali pada suatu malam yang diberkahi berupa 5 ayat pertama dalam surat Al ‘Alaq (QS 96: 1-5) dan di Indonesia pada umumnya dianggap jatuh pada 17 Ramadhan. Allah memastikan bahwa Al Qur’an (peringatan) itu datang dari-Nya (QS 44: 2-3). Al Qur’an merupakan bacaan yang mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam (QS 56: 77-80). Al Qur’an berisi hukum-hukum Allah. Bagi yang melanggar termasuk orang yang zalim (QS 2: 229). Hukum Allah berupa ketentuan: siapa yang taat akan masuk Surga, dan yang melanggar akan masuk neraka untuk selamanya dan mendapat siksa yang menghinakan (QS 4: 13-14)
Kutipan ayat Al Qur’an yang menegaskan firman Allah tentang I’tikaf, Lailatul Qadr dan Nuzulul Qur’an:
“... Kemudian sempurnakanlah puasamu itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka (istri-istri) itu, sedang kamu beri’tikaf 115) dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikian Allah menerangkan ayatayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” ~ QS (2) Al Baqarah : 187 ~

115) I’tikaf ialah berada dalam masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim 89) tempat shalat. Dan Kami telah perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang yang Thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”  ~ QS (2) Al Baqarah : 125 ~

89) Ialah tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. di waktu membuat Ka’bah
----------------------------------------------------------------------------------------------------
 “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan 1594). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan ijin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”  ~ QS (97) Al Qadr : 1-5 ~

1594) “Malam kemuliaan” dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam “Lailatul Qadr” yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Al Qur’an
---------------------------------------------------------------------------------------------------
 “... Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”  ~ QS (2) Al Baqarah : 229 ~
---------------------------------------------------------------------------------------------------
“[13] (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya niscaya Allah memasukannya ke dalam surga yang mengalir dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.
[14] Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”  ~ QS (4) An Nisaa’ : 13-14 ~
----------------------------------------------------------------------------------------------------
 “Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi 1370) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”   ~ QS (44) Ad Dukhaan : 2-3 ~

1370) Malam yang diberkahi ialah malam Al Qur’an pertama kali diturunkan. Di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17 Ramadhan
----------------------------------------------------------------------------------------------------
“ Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam” ~ QS (56) Al Waaqi’ah : 77-80 ~
----------------------------------------------------------------------------------------------
“[14] Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang limapuluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim
[15] Maka Kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu dan Kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia” ~ QS (29) Al ‘Ankabuut : 14-15~
--------------------------------------------------------------------------------------
Disarikan oleh H. R. Mimuk Bambang Irawan - Jakasampurna, Jum’at, 16 Juni 2017 

Saturday, August 3, 2013

APA SAJA KEGIATAN SAAT I’TIKAF?


Assalamu'alaikum wa rahmatullahi. wa barakatuh.

Ada beberapa pertanyaan seputar I'tikaf antara lain :

#
1. Sebenarnya apa sih yang dilakukan orang saat I'tikaf, bolehkah hanya diam saja?

Kata i'tikaf berasal dari 'akafa alaihi', artinya senantiasa atau berkemauan kuat untuk menetapi sesuatu atau setia kepada sesuatu. Secara harfiah kata i'tikaf berarti tinggal di suatu tempat, sedangkan syar'iyah kata i'tikaf berarti tinggal di masjid untuk beberapa hari, teristimewa sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Selama hari-hari itu, seorang yang melakukan i'tikaf (mu'takif) mengasingkan diri dari segala urusan duniawi dan menggantinya dengan kesibukan ibadat dan zikir kepada Allah dengan sepenuh hati. Dengan i'tikaf seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kita berserah diri kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada-Nya, dan bersimpuh di hadapan pintu anugerah dan rahmat-Nya.Yang dilakukan pada saat i'tikaf pada hakikatnya adalah taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Makna taqrrub adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beragam rangkaian ibadah. Di antaranya:

A. Shalat

Baik shalat wajib secara berjamaah atau punshalat sunnah, baik yang dilakukan secara berjamaah maupun sendirian. Misalnya shalat tarawih, shalat malam (qiyamullail), shalat witir, shalat sunnah sebelum shalat shubuh, shalat Dhuha', shalat sunnah rawatib (qabliyah dan ba'diyah) dan lainnya.

B. Zikir

Semua bentuk zikir sangat dianjurkan untuk dibaca pada saat i'tikaf. Namun lebih diutamakan zikir yang lafaznya dari Al-Quran atau diriwayatkan dari sunnah Rasulullah SAW secara shahih. Jenis lafadznya sangat banyak dan beragam, tetapi tidak ada ketentuan harus disusun secara baku dan seragam. Juga tidak harus dibatasi jumlah hitungannya.

C. Membaca ayat Al-Quran

Membaca Al-Quran (tilawah) sangat dianjurkan saat sedang beri'tikaf. Terutama bila dibaca dengan tajwid yang benar serta dengan tartil.

D. Belajar Al-Quran

Bila seseorang belum terlalu pandai membaca Al-Quran, maka akan lebih utama bila kesempatan beri'tikaf itu juga digunakan untuk belajar membaca Al-Quran, memperbaiki kualitas bacaan dengan sebaik-baiknya. Agar ketika membaca Al-Quran nanti, ada peningkatan.

E. Belajar Memahami Isi Al-Quran

Selain pentingnya membaca Al-Quran dengan berkualitas, maka meningkatkan pemahaman atas setiap ayat yang dibaca juga tidak kalah pentingnya. Sebab Al-Quran adalah pedoman hidup kita yang secara khusus diturunkan dari langit. Tidak lain tujuannya agar mengarahkan kita ke jalan yang benar. Apalah artinya kita membaca Al-Quran, kalau kita justru tidak paham makna ayat yang kita baca. Tentunya belajar baca dan memahami ayat Al-Quran membutuhkan guru yang ahli di bidangnya. Tanpa guru, sulit bisa dicapai tujuan itu.

F. Berdoa

Berdoa adalah meminta kepada Allah atas apa yang kita inginkan, baik yang terkait dengan kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat. Dan aktifitas meminta kepada Allah bukanlah kesalahan, bahkan bagian dari pendekatan kita kepada Allah. Allah SWT senang dengan hamba-Nya yang meminta kepada-Nya. Meski tidak langsung dikabulkan, tetapi karena meminta itu adalah ibadah, maka tetaplah meminta.

Semakin banyak kita meminta, maka semakin banyak pula pahala yang Allah berikan. Dan bila dikabulkan, tentu saja menjadi kebahagiaan tersendiri.
Dan meminta kepada Allah (berdoa) sangat dianjurkan untuk dilakukan di dalam berik'tikaf.

Namun dari semua kegiatan di atas, bukan berarti seorang yang beri'tikaf tidak boleh melakukan apapun kecuali itu. Dia boleh makan di malam hari, dia juga boleh isterirahat, tidur, berbicara, mandi, buang air, bahkan boleh hanya diam saja. Sebab makna i'tikaf memang diam. Tetapi bukan berarti diam saja sepanjang waktu i'tikaf.

Adapun yang terlarang dilakukan saat i'tikaf adalah bercumbu dengan isteri hingga sampai jima'. Sedangkan yang dimakruhkan adalah berbicara yang semata-mata hanya masalah kemegahan dan kesibukan keduniaan saja, yang tidak membawa manfaat secara ukhrawi.

Bicara masalah dagang, tentu boleh bila terkait dengan bagaimana dagang yang sesuai syariat. Sebab syariat itu tentu bukan hanya bicara hal-hal di akhirat saja, tetapi tercakup luas semua masalah keduniaan.

Sunnat bagi orang yang sedang i'tikaf tidak boleh menengok yang sakit, jangan menyaksikan jenazah, tidak boleh menyentuh perempuan dan jangan bercumbu, dan jangan keluar (dari masjid) untuk satu keperluan kecuali dalam perkara yang tidak boleh tidak, dan tidak ada i'tikaf melainkan di masjid kami." (HR Abu Dawud).

#2. Apakah I'tikaf harus selalu di masjid dan harus punya wudlu?

I'tikaf tidak sah dilakukan kecuali di masjid. Ini adalah hal yang kebenarannya telah menjadi kesepakatan semua ulama. Sesuai dengan firman Allah SWT:"Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa". (QS Al-Baqarah: 187)

Sedangkan masalah wudhu, bukan merupakan syarat. Namun sebagian ulama mewajibkan seseorang berwudhu' bila masuk masjid. Sebagian lain tidak mewajibkan tapi hanya menyunnahkan.

#3. Apakah sebelum melakukan I'tikaf harus berniat dulu, bagaimana niatnya?

Niat adalah syarat sah semua ibadah. Tanpa niat, semua ibadah tidak sah.
Tetapi niat itu bukan lafadz yang diucapkan, melainkan sesuatu yang ditetapkan di dalam hati. Lafadz niat hanya sekedar menguatkan, bahkan hukumnya diperdebatkan para ulama. Sebagian menganjurkannya, tetapi sebagian lain malah melarangnya.
Jadi niatkan saja di dalam hati bahwa anda akan melakukan i'tikaf, maka sah sudah niat anda.

#4. Apakah benar kita dianjurkan I'tikaf pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan, apa dalilnya?

Benar, 'itikaf itu hukumnya sunnah untuk dilakukan di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dalilnya adalah perbuatan nabi SAW yang telah melakukannya, bahkan tiap tahun tanpa meninggalkannya sekalipun. Sehingga ada sebagian ulama yang nyaris hampir mewajibkannya. Namun hukumnya tidak wajib, tetapi sunnah yang sangat dianjurkan.

Adapun dalilnya adalah: Dari Aisyah Ra. ia berkata, "Rasulullah SAW melakukan i'tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sampai saat ia dipanggil Allah Azza wa Jalla." (HR Bukhari dan Muslim).

Dan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, "Rasulullah SAW melakukan i'tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan." (HR Bukhari dan Muslim).

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabaraktuh, 
Ahmad Sarwat, Lc. - Rumah Fiqih Indonesia

Sunday, July 28, 2013

PANDUAN I’TIKAF RAMADHAN

Panduan I'tikaf Ramadhan


I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS 2 - .Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”[8]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif:
(1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan
(2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:
(1) Meminta izin suami dan
(2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al

Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

1.    Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
2.    Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

1.    Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
2.    Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
3.    Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
4.    Mandi dan berwudhu di masjid.
5.    Membawa kasur untuk tidur di masjid.

Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]



1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.

[2] Al Mughni, 4/456.

[3] HR. Bukhari no. 2044.

[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338

[6] Fathul Bari, 4/271.

[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.

[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.

[9] Fathul Bari, 4/271.

[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.

[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.

[12] Lihat Al Mughni, 4/462.

[13] Al Mugni, 4/461.

[14] HR. Bukhari no. 2041.

[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.

[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.

[18] Idem.

[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.

[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.

[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.

[22] Al Inshof, 6/17.

[23] Fathul Bari, 4/272.

[24] HR. Bukhari no. 2041.

[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.