Tuesday, April 22, 2014

TUNTUNAN SHALAT RAWATIB – Bagian 2

TUNTUNAN SHALAT RAWATIB – Bagian 2
Oleh: As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-‘Anzly


Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh saudara-saudaraku yang dirahmati Allah Subhaanahu wa ta’ala,

Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan shalat-shalat dari tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan 17 rakaat dari shalat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari shalat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat dari shalat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan shalat selain yang tersebutkan, bukanlah shalat rawatib … maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya doa dan tersegaranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan” (Zadul Ma’ad 1/327)

Berikut ini adalah lanjutan dari Tuntunan Shalat Rawatib Bagian -1

16.PENGURUTAN KETIKA MENG-QODHO’

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila di dalam shalat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’daiyah, dan shalat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan terlebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah. Contoh: seorang masuk masjid yang belum mengerjakan shalat rawatib qobliyah, mendapati imam sedang mengerjakan shalat dzuhur, maka apabila shalat dzuhur telah selesai, yang pertama dikerjakan adalah shalat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Dholihin, 3/283)

17.MENGQODHO’ SHALAT RAWATIB YANG BANYAK TERLEWATKAN

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ shalat rawatib dan selainnya, karena merupakan shalat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah). Kemudian jika shalat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika Rasulullah mengerjakan empat shalat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasanya Rasulullah mengerjakan shalat rawatib di antara shala-shalat fardhu tersebut… Dan jika hanya satu atau dua shalat yag terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan Nabi SAW pada saat shalat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama shalat rawatib (Syarh Al-‘Umdah, hal. 238)  

18.MENGGABUNGKAN SHALAT-SHALAT RAWATIB, TAHIYATUL MASJID, DAN SUNNAH WUDHU’

As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang memasuki masjid di waktu shalat rawatib, maka ia bisa mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat shalat rawatib tan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga shalat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (shalat rawatib dan tahiyatul masjid) atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya” (Al-Qawaid Wal-ushul Al-Jami’ah, hal. 75)

19.MENGGABUNGKAN SHALAT SEBELUM SHUBUH DAN SHALAT DHUHA PADA WAKTU DHUHA

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang shalat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahri terbit, dan waktu shalat dhuha tiba, maka pada keadaan ini shalat rawatib subuh tidak terhitung sebagai shalat dhuha, dan shalat dhuha juga tidak terhitung sebagai shalat rawatib shubuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena shalat dhuha itu tersendiri dan shalat rawatib shubuhpun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin, 20/13)

20.MENGGABUNGKAN SHALAT RAWATIB DENGAN SHALAT ISTIQORAH

Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata: “Rasulullah SAW mengajarkan kami shalat istiqorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana mengajarkan kami surat-surat  dari Al Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang di antara kalian mendapatkan permasalahan, maka shalatlah dua rakaat dari selain shalat fardhu …” (HR Bukhari no.1166). Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat shalat rawatib tertentu digabungkan dengan shalat istiqorah, maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda, jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)

21.SHALAT RAWATIB KETIKA IQOMAH SHALAT FARDHU TELAH DIKUMANDANGKAN.

Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW bersabda: “Apabila iqomah shalat telah ditegakkan, maka tidak ada shalat kecual shalat fardhu” (HR Muslim bi As-syarh An- Nawawi 5/222.
An Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan shalat sunnah setelah iqomah shalat dikumandangkan sekalipun sgalat rawatib seperti rawatib shubuh, dzuhur, ashar dan selainnya”. (Al-Majmu’ 3/378)

22.MEMUTUS SHALAT RAWATIB KETIKA SHALAT FARDHU DITEGAKKAN

As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila shalat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan shalat tahiyatul masjid atau shalat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus shalatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat fardhu… “, akan tetapi seandainya shalat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada posisi rukuk di rakaat kedua, maka tidak ada halangan baginya untuk menyelesaikan shalatnya. Karena shalatnya segera akan berakhir pada saat shalat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)

23.APABILA MENGETAHUI SHALAT FARDHU AKAN SEGERA DITEGAKKAN, APAKAH DISYARI’ATKAN MENGERJAKAN SHALAT RAWATIB?

As-Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan shalat rawatib di atas keyakinan yang kuat bahwasanya shalat fardhu akan terlewat dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (shalat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan shalat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga shalat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada shalat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho’ (Syarh Al-‘Umdah hal. 609)

24.MENGANGKAT KEDUA TANGAN UNTUK BERDOA SETELAH MENUNAIKAN SHALAT RAWATIB.

As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Sahalat rawatib, saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdoa, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdoa). Akan tetapi lebih diutamakan untuk tidak melakukannya terus menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai shalat rawatib, pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)

25.KAPAN SHALAT RAWATIB KETIKA SHALAT FARDHU DIJAMA’

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Shalat rawatib dikerjakan setelah kedua shalat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga shalat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua shalat fardhu dijama’”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)

26.APAKAH MENGERJAKAN SHALAT RAWATIB ATAU MENDENGARKAN NASIHAT?

Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyari’atkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah shalat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan shalat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-‘Alamiyah Wal Ifta’, 7/234)

27.MENDAHULUKAN MENYEMPURNAKAN DZIKIR-DZIKIR SETELAH SHALAT FARDHU SEBELUM MENUNAIKAN SHALAT RAWATIB.

As-Syaikh bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan shalat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan shalat rawatib setelah selesai shalat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian shalat rawatib?”
Jawaban beliau rahimahullah” “Yang lebih utama ialah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir, kemudian menunaikan shalat rawatib.

Maka perkara ini disyari’atkan baik ada atau tidaknya shalat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah shalat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan shalat jenasah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya di tempat anda berada, kemudian mengerjakan shalat rawatib yaitu shalat ba’diyah. Hal ini mencakup  rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan shalat rawatib setelah berdzikir” (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal 471)

28.TERSIBUKKAN DENGAN MEMULIAKAN TAMU DARI MENINGGALKAN SHALAT RAWATIB.

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya shalat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan dari pada mengerjakan shalat rawatib” (Majmu’ Fatawa As- As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)

29.SHALATNYA SEORANG PEKERJA SETELAH SHALAT FARDHU DENGAN RAWATIB MAUPUN SHALAT SUNNAH LAINNYA.

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun shalat sunnah setelah shalat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan merupakan bagian dari waktu kerja.semisal akad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan shalat rawatib (ba’da shalat fardhu), maka tidak mengapa. Karena hal itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya”

30.APAKAH MENINGGALKAN SHALAT RAWATIB TERMASUK BENTUK KEFASIKAN?

As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’: (Sesungguhnya meninggalkan shalat rawatib termasuk fasiq). Merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena shalat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barang siapa yang mengerjakan shalat fardhu dan minggalkan maksiat  tidaklah dikatakan fasiq, bahkan ia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikan juga sebagian perkataan Fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga shalat rawatib merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga shalat fardhu dan meninggalkan maksiat, maka ia adalah orang yang adil dan tsiqoh. Akan tetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna, selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan shalat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya” (Majmu’ Fatawa 11/382)


Semoga bermanfaat


Wassalam, Mimuk Bambang Irawan

No comments:

Post a Comment