Showing posts with label umat islam. Show all posts
Showing posts with label umat islam. Show all posts

Wednesday, June 20, 2018

NEGARA ISLAMI

NEGARA ISLAMI
NEW ZEALAND ADALAH NEGARA ISLAMI NO 1 DI DUNIA, SEDANGKAN INDONESIA NO 141 (PALING TIDAK ISLAMI)
(untuk bahan introspeksi)
SYAIKH Muhamad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang.
Kepada Renan, filosof Prancis, Muhammad Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam itu hebat, cinta ilmu, mendukung kemajuan dan lain sebagainya.
Dengan ringan Renan, yang juga pengamat dunia Timur itu. mengatakan: “Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam itu tercatat dalam Al-Quran. Tapi tolong tunjukkan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam itu."
Muhammad Abduh pun terdiam mendapat pernyataan itu.
Satu abad kemudian beberapa peneliti dari George Washington University, AS  ingin membuktikan tantangan Renan.
Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam, seperti kejujuran (shiddiq), amanah, keadilan, kebersihan, ketepatan waktu, empati, toleransi, dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah SAW.
Berbekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai 'islamicity index' itu mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapa islami negara-negara tersebut.
Bagaimana hasilnya ?
New Zealand (Selandia Baru) sebuah negara di sebelah selatan Australia dinobatkan sebagai negara paling Islami di dunia.!
Bagaimana dan di mana posisi Indonesia ?
Kita harus kecewa karena Indonesia berada di urutan ke 140. Artinya, Indonesia adalah negara yang paling tidak Islami di dunia.
Nasib Indonesia  tidak jauh dengan negara-negara Islam lainnya yang kebanyakan sebagai negara yang paling tidak Islami di dunia atau bertengger di urutan ke 100-200 negara di dunia !
Apa itu Islam? Bagaimana sebuah negara atau seseorang bisa dikategorikan sebagai  negara atau orang paling islami ?
Kebanyakan ayat dan hadits menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi.
Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa : “Seorang Muslim adalah orang yang di sekitarnya selamat dari tangan dan lisannya."
Itu indikator.
Atau hadits yang berbunyi: “Keutamaan Islam seseorang adalah kalau ia  meninggalkan yang tak bermanfaat." atau “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tetangga dan hormati tamu." atau seperti kata peribahasa:Bicaralah yang baik atau diamlah."
Jika kita koleksi sejumlah hadits yang menjelaskan tentang islam dan iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keislaman seseorang yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota bahkan negara.
Dengan indikator-indikator itu maka jangan heran ketika Muhamad Abduh melawat ke Perancis akhirnya dia berkomentar: “Saya tidak melihat Muslim disini, tapi merasakan (nilai-nilai) Islami di Perancis, sebaliknya, di Mesir saya melihat begitu banyaknya Muslim, tapi hampir tidak melihat yang Islami"
Pengalaman serupa dirasakan Professor Afif Muhammad (dari UIN Bandung) ketika ia berkesempatan meninjau Kanada yang merupakan negara paling islami no 5 di dunia,  padahal 90% penduduknya Kristen '
Ia heran melihat penduduk di sana yang tidak pernah mengunci pintu rumahnya.
Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya: Mengapa rumah harus dikunci ?”
Di kesempatan lain, masih di Kanada, seorang pimpinan ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi yang tidak berubah.
Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di Indonesia yang sepatu atau sandal saja bisa hilang di mesjid atau rumah Allah yang Maha Melihat. Padahal jelas-jelas kata  “iman” sama akar katanya dengan aman. Artinya, jika semua penduduk beriman, maka seharusnya bisa memberi rasa aman.
Penduduk Kanada menemukan rasa aman padahal (mungkin) tanpa iman.  Tetapi kita di Indonesia, suka merasa tidak aman berada di tengah orang-orang yang (mengaku) beriman
Seorang teman bercerita, di sebuah kota di Jerman, seorang wanita tua pernah marah kepada seorang Indonesia yang menyebrang saat lampu penyebrangan masih merah :
“Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat pada aturan, dan hari ini Anda menghancurkannya. Tadi anak saya ini melihat kamu melanggar aturan, menyebrang jalan seenaknya saat lampu hijau masih menyala. Dan saya khawatir kalau anak saya ini akan meniru Anda melanggar peraturan itu."
Kejadian ini sangat kontras dengan sebuah video di Youtube yang menayangkan seorang bapak di Jakarta dengan pakaian jubah dan sorban naik motor tanpa helm.
Ketika ditangkap polisi karena melanggar, si bapak tersebut malah marah-marah dengan menyebut-nyebut bahwa dirinya tak bersalah.
Mengapa kontradiksi ini terjadi ?
Syaikh Basuni, seorang ulama Kalimantan, dahulu suau hari pernah berkirim surat kepada Muhamad Rashid Ridha, ulama terkemuka dari Mesir. 
Suratnya berisi pertanyaan :
“Limadza taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum ?” ("Mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju?")
Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu.
Inti dari jawaban Rasyid Ridha adalah: Islam mundur karena para Muslim meninggalkan ajarannya, sementara negara Barat maju karena menjalankan ajarannya.
Umat Islam terbelakang karena meninggalkan ajaran 'iqro' (membaca) yang artinya mencinta ilmu, sedangkan orang barat terus ’membaca’ untuk menuntut ilmu dan meninggikan derajatnya.
Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah, sehingga tak heran negara-negara Muslim terpuruk dan berada di kategori 'low trust society' yang artinya, masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain alias selalu penuh curiga.
Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam, karena itu jangan heran jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.
Siapa yang salah ?
Mungkin yang salah yang membuat 'survey'. Sebab, kalau saja keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah penduduknya yang berbondong-bondong menunaikan ibadah haji  dan/atau melakukan umroh, maka pastilah Indonesia akan berada di ranking pertama.
Wallahu a'lam bish-shawwab.
*******
Saudaraku tercinta, mari kita berbenah... mulai dari diri kita sendiri... mulai dari hal yang terkecil/ sepele dan mulailah berubah sekarang juga !!!...

Monday, November 20, 2017

KAJIAN MUHARRAM

KAJIAN MUHARRAM
Perbedaan antara tahun Hijriyah dan tahun Masehi...

Sebagai muslim, ada baiknya kita mengetahui landasan suatu perbuatan sebelum mengerjakannya. Imam Bukhari rahimahullah sendiri menulis bab khusus dalam kitab shahihnya "al ‘ilmu qablal qaul wal ‘amal”, ilmu sebelum perkataan dan pekerjaan. Rasanya momentum pergantian tahun ini tepat bagi kita untuk kembali mengkaji dan mencari tahu sejarah dibalik penetapan tahun Masehi maupun Hijriyah.
Sejarah Penanggalan Masehi
Kalender Masehi merupakan sistem penanggalan yang merujuk pada peredaran bumi mengelilingi matahari. Itulah mengapa penanggalan ini sering disebut kalender syamsyiah. Seperti yang banyak diketahui orang, penamaan dua belas bulan pada tahun Masehi dimulai dari Januari sampai Desember. Awal mula penanggalannya sendiri diambil dari peristiwa kelahiran nabi Isa Almasih as, sehingga disebut ‘Masehi’ atau dengan nama lain ‘Miladiyah’ yang berarti kelahiran.
Sistem kalender Masehi sangat berhubungan erat dengan sejarah bangsa Romawi. Begitu pula dengan nama-nama bulan pada kalender masehi diambil dari nama-nama dewa bangsa Romawi. Berikut makna dari nama-nama bulan pada kalender Masehi:
Januari, diambil dari Januarius, berasal dari kata Janus yaitu malaikat bermuka dua penjaga gerbang Roma; Februari, dahulu namanya adalah Februarius, berasal dari kata Februa (hari pembersihan bagi bangsa romawi); Maret, dahulu bernama Martius, berasal dari kata Mars, yaitu dewa perang; April, dahulu namanya adalah Aprili, berasal dari kata Apru yang merupakan dewa asmara bangsa Etruscan; Mei, dahulu namanya adalah Maiusl yang berasal dari kata Maia, Maia adalah saudara tertua Atlas, sosok Titan (penguasa bumi) yang memanggul bola langit menurut kepercayaan bangsa Romawi; Juni, dahulu namanya adalah Junius, diambil dari kata Juno, istri Jupiter, jupiter atau jove sendiri menurut kepercayaan orang-orang romawi merupakan rajanya Tuhan sekaligus dewa langit dan petir; Juli, dahulu namanya adalah Quintilis; kemudian diganti menjadi Julius setelah raja Julius Caesar (100-44 BCE (Before Common Era (sebelum Masehi)); Agustus, dahulu namanya adalah Sextilis (bulan ke-6), kemudian diganti menjadi Augustus setelah raja Augustus memerintah (63 BCE); September, yang artinya bulan ke tujuh; Oktober, berasal dari kata yang sama, Oktober (bulan ke-8); November, berasal dari kata yang sama, November yang artinya bulan ke-9; Desember, berasal dari kata yang sama, Desember (bulanke-10)
Pada saat itu kalender masehi berjumlah sepuluh bulan, dimulai dari bulan Maret dan berakhir pada Desember. Kemudian Raja Numa Pompilius menambahkan dua bulan yaitu Januari dan Februari.
Sejarah Penanggalan Hijriyah
Nama-nama bulan pada kalender hijriyah seperti Muharram, Rabi’ulawwal, dan lain-lain sudah ada sejak zaman sebelum datangnya Islam. Hanya saja mereka belum menetapkan ini tahun berapa, melainkan ini tahun apa, seperti peristiwa kelahiran nabi Muhammad SAW dikenal sebagai tahun gajah. Peristiwa yang melatar-belakangi penetapan kalender hijriyah sendiri terjadi di zaman khalifah Umar bin Khattab RA. Ketika itu Abu Musa Al-Asy’ari sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar RA menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Dari situlah khalifah Umar RA mengumpulkan beberapa sahabat untuk merumuskan pembuatan tahun Islam (taqwiim Islami). Ketika itu beberapa sahabat mengusulkan penanggalan Islam berdasarkan kelahiran Rasul SAW, ada juga yang mengusulkan berdasarkan wafatnya Rasul SAW, namun mereka menyepakati pendapat Ali bin Abi Thalib, yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasul SAW dari Mekah ke Yatsrib (Madinah) 
 Itulah sebabnya disebut kalender Hijriyah (taqwiim Hijriy). Sedangkan nama-nama bulan diambil dari nama-nama bulan yang telah ada pada masa itu di wilayah Arab.
Penanggalan kalender Hijriyah mengacu pada rotasi bulan mengelilingi matahari, sehingga disebut juga kalender qamariyyah yang berasal dari kata qamar yang berarti bulan. Adapun makna dari nama-nama bulan pada tahun qamariyah atau hijriyah sebagai berikut:
Muharram artinya yang diharamkan yaitu bulan yang padanya diharamkan menumpahkan darah atau berperang; 
Safar artinya perjalanan atau berasal dari kata lain shifr yang artinya kosong karena pada bulan itu orang-orang masa lampau biasa meninggalkan rumah mereka untuk berperang, berdagang, berburu, dan sebagainya, sehingga rumah-rumah mereka kosong;  
Rabiul awal artinya menetap yang pertama, karena para lelaki Arab dahulu yang tadinya meninggalkan rumah mereka kembali pulang dan menetap pada bulan ini; 
Rabiul akhir artinya menetap yang terakhir, yaitu bulan akhir bagi mereka untuk menetap; 
Jumadil awal artinya kering/beku/padat yang pertama, pada waktu itu air menjadi beku / padat; 
Jumadil akhir artinya kering/beku/padat yang terakhir; 
Rajab artinya mulia, bangsa Arab ketika itu memuliakan bulan ini terutama tanggal 10 (untuk berkurban anak unta) dan tanggal 1 (untuk membuka pintu Ka’bah terus-menerus);  
Sya’ban artinya berpencar, karena orang-orang Arab dahulu berpencar ke mana saja mencari air dan sumber penghidupan;
Ramadhan artinya panas terik atau terbakar, karena pada bulan ini jazirah Arab sangat panas sehingga terik matahari dapat membakar kulit yang juga berarti pembakaran bagi dosa-dosa sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW;  
Syawal artinya naik, karena pada bulan itu bila orang Arab hendak menaiki unta dengan memukul ekornya, maka ekornya naik, Syawal dapat pula berarti bulan peningkatan amal;
Dzulqaidah artinya yang duduk, karena kaum lelaki Arab dahulu pada bulan ini hanya duduk saja di rumah tidak bepergian ke manapun; 
Dzulhijjah artinya yang memiliki haji, karena pada bulan ini sejak zaman Nabi Ibrahim AS orang-orang biasa melakukan ibadah Haji atau ziarah ke Baitullah, Mekah.
Islam Memandang Tahun
Dalam surat At Taubah Allah ayat 36 menjelaskan tentang penetapan tahun dan bulan.
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah itu ada dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” ~ QS (9) At Taubah : 36 ~
Sebagai agama yang syaamil, Islam tak membiarkan suatu masalah pun melainkan ada aturan Islam di dalamnya. Termasuk juga tentang penetapan tahun dan bulan. Sehingga melalui ijtihad Umar dan para sahabat radiyallahu’anhum, ketika itu menentukan penanggalan bagi umat Islam. Bahkan Al-Quran sendiri banyak menjelaskan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan ibadah, seperti halnya haji, puasa Ramadhan, dan turunnya Al-Quran. Seperti dalam firman-Nya dalam surah Al Baqarah ayat 197, “Haji merupakan beberapa bulan yang diketahui…” dan pada ayat 185, "bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”
Akan tetapi sangat disayangkan, sebagian besar umat Islam justru lebih hafal hari dan bulan-bulan masehi dibanding hari dan bulan hijriyah. Fenomena yang terjadi pun sama ketika pergantian tahun. Begitu sesak orang-orang memperingati pergantian tahun Masehi ketimbang yang peduli dengan pergantian tahun Islam dan peristiwa hijrah. Padahal dari sejarah dan makna bulan-bulan itu sendiri sudah jelas, bahwa penanggalan Hijriyah dibangun atas landasan syariat ibadah, yaitu peristiwa hijrah. Sedangkan tahun dan nama-nama bulan Masehi jelas berkiblat pada peradaban jahiliyah bangsa Romawi.
Umat Islam saat ini lebih mengenal bulan-bulan yang diambil dari nama dewa-dewa bangsa Romawi. Sementara nama-nama bulan Islam yang erat kaitannya dengan ibadah dan peristiwa sejarah Islam justru banyak dilupakan. Inilah mengapa pergantian tahun Masehi senantiasa lebih marak.
Sungguh sayang bagi umat Islam kalau begitu bangga dengan tahun yang bukan milik orang Islam dan lupa akan tahun Islam milik sendiri. Letak persoalannya bukan tanggal dan tahun mana yang kita gunakan, tetapi mana yang lebih kita banggakan. Sudah saatnya kita sadar dan bangkit sehingga Islam itu kembali tinggi dan di hormati  wallahu a"lam 
dari tulisan...Raji Luqya Maulah.
Barakallaahu lanaa walakum...

Tetap semangat berbagi kebaikan dan semoga di tahun baru Hijriyah ini kita bisa berhijrah kepada kebaikan.