Sunday, April 10, 2016

PENGERTIAN AULIYA

Pengertian Auliya
PEMIMPIN NONMUSLIM HARAM?

Dalil Al-Qur’an yang mereka pakai di antaranya adalah surah QS 3 - Ali Imran : 28 dan QS 5 - Al Ma’idah : 51. Dalam terjemahan Indonesia, ayat terakhir berbunyi : “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Kata “pemimpin-pemimpin” pada ayat di atas adalah terjemahan dari kata auliya’. Pertanyaannya, tepatkah terjemahan tersebut? Coba kita telusuri terjemahan ayat ini dalam bahasa Inggris. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an menerjemahkan auliya’ dengan friends and protectors (teman dan pelindung). Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an dan M.A.S Abdel Haleem dalam The Qur’an sama-sama menerjemahkannya dengan allies (sekutu). Bagaimana dengan penerjemah Inggris yang lain?
Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious Qur’an mengalihbahaskan kata auliya’ menjadi friends. Begitu juga N.J. Dawood dalam The Koran dan MH. Shakir dalam The Qur’an. Sedangkan berdasar The Qur’an terjemahan T.B. Irving, auliya’ diartikan sebagai sponsors.
Walhasil, tak satupun terjemahan Inggris yang saya sebutkan tadi mengartikan auliya’ sebagai “pemimpin.” Dan secara bahasa Arab, versi terjemahan Inggris ini agaknya lebih akurat. Perlu diingat, kata auliya’, bentuk plural dari waliy, bertaut erat dengan konsep wala’ atau muwalah yang mengandung dua arti: satu, pertemanan dan aliansi; kedua proteksi atau patronase (dalam kerangka relasi patron-klien).
Karena itulah agak mengherankan ketika dalam terjemahan Indonesia pengertian auliya’ disempitkan, kalau bukan didistorsikan, menjadi “pemimpin”, yang maknanya mengarah pada pemimpin politik. Bisa jadi karena kata tersebut dianggap berasal dari akar kata wilayah, yang memang artinya kepemimpinan atau pemerintahan. Selintas masuk akal.
Tapi kalau kita perhatikan lebih teliti, akan kelihatan bahwa anggapan ini tidak tepat. Mengapa? Kalau memang kata auliya’ bertolak dari kata wilayah, mestinya kata itu disertai dengan preposisi ‘ala. Dengan begitu, kalau QS 5:51 berbunyi ba’dhuhum auliya’ ‘ala ba’dh, auliya’ pada ayat tersebut bermakna pemimpin. Tapi ternyata redaksi ayat tersebut berbunyi ba’dhuhum auliya’u ba’dh, tanpa kata ‘ala setelah auliya’. Jadi tidak pas kalau akar katanya wilayah. Yang tepat, seperti sudah saya sebut di atas, adalah wala.’ Singkat kata, penerjemahan auliya’ sebagai pemimpin terbukti tak berdasar.
Lantas bagaimana kita mesti memahami ayat wala’ seperti QS 5:51 dan QS 3:28 yang secara harfiah melarang kaum mu’min untuk menjalin pertemanan dan aliansi dengan kaum non muslim, apalagi minta perlindungan dari mereka? Apakah ini larangan yang berlaku mutlak atau situasional? 
Memahami ayat tersebut secara leterlek dan berlaku mutlak di manapun dan kapanpun akan sangat bermasalah. Ada tiga alasan.
Pertama, makna harfiah ayat itu bertentangan dengan ayat lain yang justru menyatakan kebalikannya. Misalnya ayat yang menghalalkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Dalam ayat yang sama juga ditegaskan bolehnya kaum muslim untuk memakan makanan mereka, dan sebaliknya (QS 5:5) Selain itu, ada juga ayat lain yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk “berbuat baik dan berlaku adil” terhadap pemeluk agama lain yang tidak memerangi mereka dan mengusir dari tanah kelahiran mereka (QS: 8).
Kedua, Nabi sendiri pernah menjalin aliansi dan meminta perlindungan dari kalangan non Muslim. Kita ingat cerita hijrah para Sahabat ke Abessina (Habasyah) yang saat itu diperintah oleh seorang raja Kristen. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi pernah meminta perlindungan kepada non muslim. Ketika di Madinah, Rasulullah memelopori pakta aliansi dengan komunitas Yahudi kota itu dalam bentuk Piagam Madinah. Bahkan pada level personal, Nabi bermertuakan orang Yahudi, yakni dari istrinya Sofiah binti Huyai.
Ketiga, kalau QS 3:28 dan QS 5:51 dipahami secara harfiah dan mutlak, lalu bagaimana dengan pendirian Republik Indonesia yang dalam arti tertentu merupakan hasil kerjasama antara kaum muslim dengan pemeluk agama lain?
Kasus lain: bagaimana dengan keterlibatan negara-negara Islam di PBB yang nota bene terdiri dari banyak negara non muslim sedunia? Bagaimana pula dengan Saudi Arabia, negara yang tak mungkin berdiri tanpa sokongan dari imperialisme Inggris untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20? Sampai sekarang pun kita tahu Saudi mendapat perlindungan dari Amerika Serikat. Bukankah semua itu termasuk dalam kategori menjadikan non muslim sebagai auliya’? Berarti haram? Oh alangkah absurdnya jalan pikiran semacam ini!
Karena itulah ayat tersebut mesti ditafsirkan secara kontekstual. Penerapannya pun tak bisa sembarangan. Di sini ada baiknya saya mengutip Rashid Rida. Menurutnya, ayat-ayat pengharaman aliansi dengan, dan minta proteksi dari non muslim sejatinya hanyalah berlaku untuk non muslim yang nyata-nyata memerangi kaum muslim. Aliansi yang dilarang juga yang nyata-nyata merugikan kepentingan umat Islam (Tafsir Al Manar, Vol.3, 277).
Pandangan Rida ini juga sejalan dengan pendapat Fahmi Huwaydi, pemikir Islam kontemporer dari Mesir. Dalam karyanya Muwathinun La Dimmiyyun (Warga Negara, Bukan Dzimmi) Huwaydi menyatakan bahwa Islam sejatinya tidak melarang umatnya untuk membangun solidaritas kebangsaan yang berprinsip kesetaraan dengan non muslim, khususnya Kristen Koptik di Mesir. Ayat wala’/muwalah, di mata Huwaydi, mestinya tidak dilihat sebagai larangan terhadap solidaritas semacam itu. Ayat 5: 51, misalnya, sebenarnya diarahkan kepada kaum munafiq yang ternyata membantu pihak non muslim yang kala itu berperang dengan umat Islam.
Dengan kata lain, dalam pandangan Rashid Rida dan Fahmi Huwaydi, QS 3:28 dan QS 5:51 tidak berlaku secara mutlak, melainkan situasional. Artinya, larangan menempatkan non muslim sebagai sekutu atau protektor hanya berlaku manakala pihak non muslimnya jelas-jelas memerangi umat Islam. Adapun jika mereka tidak seperti itu, maka berarti larangan tadi otomatis tidak berlaku.
Menarik untuk dicatat, argumen Rida dan Huwaydi ini sebenarnya bisa dipakai juga untuk membantah klaim sejumlah kalangan Islam yang bergeming untuk memaknai kata auliya’ dalam QS 3:28 dan 5:51 dengan bersandar pada terjemahan Indonesia yang saya kutip di awal tulisan, yakni sebagai “pemimpin.” Dengan demikian, mereka tetap ngotot untuk mengharamkan memilih pemimpin non-muslim. Terhadap mereka kita bisa katakan bahwa ayat tersebut tidaklah berlaku mutlak melainkan situasional. Artinya, larangan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin berlaku manakala si non muslim tersebut nyata-nyata memerangi umat Islam. Di luar itu, larangan tersebut tidak berlaku.
Tapi lepas dari itu, kalaupun auliya’ tetap diartikan sebagai “pemimpin,” penerapan QS 3:28 dan 5:51 untuk konteks Indonesia modern juga salah sasaran. Perlu diingat, negara kita berbentuk republik yang menerapkan demokrasi langsung, sesuatu yang sama sekali tidak dikenal dalam sistem politik Islam klasik. Dalam sistem politik Islam klasik yang lazimnya berbentuk kerajaan, otoritas kepemimpinan yang dipegang khaliafah didasarkan pada legitimasi kuasa dari Tuhan, bukan dari rakyat. Pemimpin dianggap sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dengan kekuasan yang absolut. Tidak ada yang namanya pembagian kekuasaan ala Trias Politica sehingga sang pemimpin memegang kekuasaan tertinggi dalam ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan model “Daulat Tuanku.”
Ini secara diametral berbeda dengan sistem republik yang menganut asas kepemimpinan bersendi “Daulat Rakyat.” Di sini pemimpin bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi, karena legitimasinya justru berasal dari rakyat yang memberinya mandat melalui pemilu. Kekuasaannya tidak tak terbatas, karena ia bekerja dalam sistem demokrasi yang menerapkan pembagian kekuasaan. Dalam sistem semacam ini, presiden atau gubernur hanyalah pemegang kuasa eksekutif saja alias “hanya” pelaksana. Sebagai pemimpin, ia hanya berkuasa sepertiga.
Dengan demikian, kalau memang pemimpin non-muslim hukumnya haram, mestinya penerapannya untuk konteks negara kita bukan hanya berlaku untuk lembaga eksekutif saja, melainkan juga legislatif dan yudikatif. Ini karena kepemimpinan dalam sistem republik modern bukanlah bersifat personal melainkan kolektif dan sistemik. Tapi kalau itu dilakukan, maka sejatinya yang diharamkan bukan hanya memilih pemimpin non muslim, melainkan juga bisa mengarah pada pengharaman terhadap republik kita.
Hal lain, kalau memang dipimpin oleh non Muslim hukumnya haram, bagaimana dengan umat Islam yang menjadi warga negara di India, Amerika atau Eropa? Apakah mereka semuanya berdosa hanya karena jadi warga negara di negara-negara yang dipimpin oleh non muslim? Apakah para pemain bola seperti Zinedine Zidane, Mesut Oziel, Sami Khedira, Samir Nasri, Ibrahim Afellay, yang semuanya dipimpin oleh presiden atau perdana menteri non muslim, harus hijrah ke negara orang tuanya masing-masing di Timur Tengah?
Dengan paparan di atas, saya ingin menunjukkan bahwa wacana pengharaman pemimpin non-muslim bukan hanya berbahaya karena membawa kita berkubang dalam isu SARA yang berpotensi memecah belah Indonesia. Yang tak kalah problematis, wacana tersebut ternyata tidak punya pijakan yang kokoh dari kacamata Islam itu sendiri, karena pedomannya adalah terjemahan ayat secara tidak akurat, penafsiran yang sempit, dan penerapan yang salah alamat.
Akhmad Sahal
Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada.

29 comments:

  1. Para pemain bola muslim tidak berdosa di negara yg dipimpin non muslim, selama yg bersangkutan tetap menjalankan kewajibannya sebagai orang muslim.

    ReplyDelete
  2. Penjelasanya gan.jangan jadikan yahudi Dan nasrani sbg teman Dan sekutu(Bukan semua yahudi Dan nasrani),mereka adalah teman Dan sekutu Satu sama lain(Quran memberikan pesan bahwa bakal ada persekutuan yahudi Dan nasrani.dan Muslim dilarang bersekutu dengan mereka,bersekutuan yahudi Kristen dikenal dengan Zionist)apa akibatnya jika Kita mengabaikannya.kamu menjadi golongan mereka Bukan lagi golongan kami(Muslim)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan hati2 Zionist ini menurut saya Adalah yajud majud.mereka membuat seluruh manusia menjadi Salinan diri mereka.contoh menciptakan politik global yang berlandaskan syirik.menciptakan uang kertas yang membuat Indonesia Dan negara2 yang tdk sesuai dengan keinginan mereka menjadi Miskin.mengharamkan emas sbg uang(cek artikel perjanjian imf).membuat masyarakat global yang pada dasarnya bersifat duniawi.memerdekakan tanah suci Dan membuat kaum bani Israel kembali ke tanah suci Dan mendirikan Negara palsu israel

      Delete
  3. tafsir sesuai pesanan dan hawa nafsu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tulisan ini bukan pesanan politik saya kira.. Tahun 2013 topik ini jg dibuat disebuah web islam jauh sebelum 411..
      https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

      Delete
    2. Tulisan ini bukan pesanan politik saya kira.. Tahun 2013 topik ini jg dibuat disebuah web islam jauh sebelum 411..
      https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

      Delete
  4. Untuk amannya, saya sih tetap memilih pemimpin yang muslim dulu..
    hehe ingat bro, didunia cuma sebentar, tapi diakhirat selamanya.
    Jangan sampe karena "masalah sepele" milih pemimpin saja jadi salah tempat diakhiratnya.. :)

    ReplyDelete
  5. aduh bahaya, ada muatan politic

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kaya demo bela agama yg kemarin ya kang

      Delete
    2. Tulisan ini bukan bernuansa politik saya kira.. Tahun 2013 ini jg dibuat disebuah web islam..
      https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

      Delete
    3. Tulisan ini bukan bernuansa politik saya kira.. Tahun 2013 ini jg dibuat disebuah web islam..
      https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

      Delete
  6. Replies
    1. QTulisan ini bukan bernuansa politik saya kira.. Tahun 2013 ini jg dibuat disebuah web islam..
      https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

      Delete
    2. QTulisan ini bukan bernuansa politik saya kira.. Tahun 2013 ini jg dibuat disebuah web islam..
      https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

      Delete
    3. Sya rasa ini hanya penjelasan soal kata aulia knapa mba sebut brbau politik,dimna dasarnya..
      Knpa g skalian yg demo itu mba sbut jg berbau politik,mba g sdar akn hal itu..?!

      Delete
  7. Penafsiran hawa nafsu,cenderung meilegalkan pemimpin non muslim..orang awam bisa tertipu...

    ReplyDelete
  8. sama spt saya JUGA TIDAK SETUJU, maka dari itu MULAI SAAT INI TDK AKAN LG -KL PERLU, MENHARAMKAN- MENGGUNAKAN PRODUK APAPUN ITU NAMANYA YG DIPRODUKSI OLEH NEGARA2 YG PEMIMPINNYA NON MUSLIM....

    YA.... sy itu org yg sll menganggap diri saya serba tau, serba bisa dan MENGANGGAP ORANG LAIN TIDAK BISA APA2 DAN SELALU SALAH....
    Tp 1 hal yg perlu pembaca tau, SY ANTI DENGAN MEREKA2 KAU KAFIR YG NON ITU.... NAMUM SY TIDAK ANTI DGN PRODUK2 MRK, spt mobil, barang elektronik dan lain sebagainya....

    Biarin aja kl kalian mau bilang SY MUNAFIK..... toh yg MUNAFIK bukan sy sendiri.....
    Toh msh byk :
    1. org2 yg mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan kepentingan org banyak.
    2. org2 yg mencela dan menghakimi setiap perbuat org lain adlh buruk tapi tetap menggunakan hasil perbuatan dari org yg dia cela dan hakimi buruk itu;
    3. org yg lebih senang membicarakan perbedaan dan benci atw malas membicarakan persamaan; dan lain sebagainya. (kl disebutin satu persatu bs ga muat nih tempat).

    Jadi suka2 loe pd deh mau komen apa aja tentang sy...

    ReplyDelete
  9. Tulisan ini bukan bernuansa politik saya kira.. Tahun 2013 ini jg dibuat disebuah web islam..
    https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

    ReplyDelete
  10. Tulisan ini bukan bernuansa politik saya kira.. Tahun 2013 ini jg dibuat disebuah web islam..
    https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

    ReplyDelete
  11. Kalau Auliya diartikan hanya teman: menjadi teman aja dilarang, apalagi jadi pemimpin? Nabi minta sahabat hijrah ke Habassyah, saat sblm Nabi hijrah ke Madinah, atau sblm turun ayat2 ini. Raja Habassyah juga seorang pengikut nabi Isa yg adil, dan dia menghormati Rasul.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jdi bnyak penganguran neh di indonesia..
      Bnyak yg kuli di orang kafir..

      Delete
  12. Penjelasan yg masuk akal dan bs di cerna dngan akal sehat.. trim's gan..!!

    ReplyDelete
  13. Yg komen pd merasa lbh pintar pdhal ilmunya & pengetahuannya cetek,yg benar msh saja dibilang muatan politik lah,ga paham lah,salah tafsir lah..mengkritik penulis & peneliti tp diri sendiri tdk pernah meneliti & mempelajari secara luas hal yg diperdebatkan..makanya sy jg heran sama dgn si penulis,dlm alqur'an ada ayat yg terjemahannya berkonotasi membenci umat non muslim tp di sisi lain ada ayat yg memperbolehkan berbuat baik pd non muslim,jd rancu kl satu ayat dgn ayat lainnya saling berseberangan bahkan tdk seiring seirama,maka muncullah dugaan sy bahwa yg mentafsirkan ayat2 tersebut bs saja salah tafsir bahkan seorang ulama sekalipun,kl sdh begitu bs berbahaya karna pengikutnya jg bs ikut2an salah

    ReplyDelete
  14. Yg komen pd merasa lbh pintar pdhal ilmunya & pengetahuannya cetek,yg benar msh saja dibilang muatan politik lah,ga paham lah,salah tafsir lah..mengkritik penulis & peneliti tp diri sendiri tdk pernah meneliti & mempelajari secara luas hal yg diperdebatkan..makanya sy jg heran sama dgn si penulis,dlm alqur'an ada ayat yg terjemahannya berkonotasi membenci umat non muslim tp di sisi lain ada ayat yg memperbolehkan berbuat baik pd non muslim,jd rancu kl satu ayat dgn ayat lainnya saling berseberangan bahkan tdk seiring seirama,maka muncullah dugaan sy bahwa yg mentafsirkan ayat2 tersebut bs saja salah tafsir bahkan seorang ulama sekalipun,kl sdh begitu bs berbahaya karna pengikutnya jg bs ikut2an salah

    ReplyDelete
  15. Hati-hati berpendapat sodara, bisa jadi anda menjuruskan umat muslim pada larangan Allah....
    lebih baik cari aman daripada sok bener...
    Makan babi dibolehkan apabila kita akan mati kelaparan dan selama tidak ada makanan halal yang lain..

    Selama ada yang halal, ngapain makan babi... cari dosa aja...

    ReplyDelete
  16. Begitupun cari pemimpin...
    Selama ada yang muslim ngapain cari yang lain...

    Umar saja pernah memecat kepala keuangan begitu tahu dia non-mulim..

    ReplyDelete