Tuesday, December 1, 2020

ADAB BERKOMUNIKASI DALAM ISLAM

Akhir-akhir ini ujaran kebencian begitu marak kita baca di media social. Hoax atau berita-berita yang tidak benar dan cenderung fitnah mudah sekali kita temukan. Kata-kata yang kasar dan jauh dari kesantunan begitu mudah keluar dari lisan kita. Padahal Islam adalah agama akhlak, bahkan hakikat agama adalah akhlak yang baik, termasuk akhlak ketika kita berbicara atau menulis sesuatu.

Ada sebuah pepatah, “Lidah itu tidak bertulang, tetapi ia lebih tajam daripada pedang”. Pepatah ini benar adanya. Terluka oleh lisan akan lebih sakit dibanding terluka oleh pedang. Luka karena pedang banyak medical service yang memungkinkan penyembuhan. Tetapi, luka karena lisan belum tentu ada penawarnya, karena yang terluka bukanlah fisik melainkan batin.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.” Yang dimaksud dengan “sesuatu yang ada di antara dua janggutnya” adalah mulut, sedangkan “sesuatu yang ada di antara dua kakinya” adalah kemaluan.

Di Hadits yang lain Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya dan merugikan atau menyakiti orang lain, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).” Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hlm. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.”

Beliau menambahkan di hlm. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.”

Rasulullah pun bersabda, “Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”(H.R. Bukhori). Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) ketika menjelaskan hadis ini berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang sesuatu yang telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga yang akan terjadi pada masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh lisan.”

Oleh karena itu, dalam sebuah syair disebutkan, “Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi. Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.” Bukankah Allah berfirman, “Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5136). ”Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang sebenarnya maka ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia tidak berbicara kecuali kebaikan atau diam.” (Tafsir As-Sa’di)

Mukmin yang Baik dan Benar bukanlah Pelaknat

Seorang Mukmin yang benar, bukanlah seorang yang banyak mencela, bukan yang banyak melaknat, bukan orang yang keji, dan bukan pula orang yang omongannya kotor. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam suri tauladan kita, bukan seorang yang sering melontarkan celaan, kutukan dan ucapan-ucapan keji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن ي لَ مْ أُ بعَ ثْ لَعَّانًا وَإِّنَّْمَا بُعِّ ثتُْ رَ حمَةًْ

Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, tetapi aku diutus sebagai rahmat. (H. R. Muslim). Beliau juga bersabda :

سِّبَابُْ الم سلِّمِّْ فُسُ و قْ

Mencaci maki seorang Muslim adalah suatu kefasikan. Dalam riwayat lain disebutkan :

لْمُسْتَبَّان شَيْطَانَا نِ يَتَهَاتَرَا نِ وَيَتَكَاذَبَا نِ

Dua orang yang saling memaki adalah seperti dua syaitan yang saling menjatuhkan dan mendustakan lawannya. Dalam sebuah riwayat dari Jabir disebutkan:

قَال جَاب رِ بن سليْم رَضيَِ اللُِ عَنْه : قُلْتُِ : اعْهَدِْ إ لَيَِّ يَا رَسُوْلَِ الل ، قَالَِ : لَِ تَسُبَّنَِّ أَحَدًا قَالَِ : فَمَا سَبَبْتُِ بَعْدَهُِ حُرًّا، وَلَِ عَبْدًا،ِ وَلَِ

بَ عيرًا، وَلَِ شَاةًِ ،

Dari Jabir bin Salîm bercerita, “Aku berkata, ‘Buatlah ikatan perjanjian denganku wahai Rasûlullâh!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menjawab, “Janganlah sekali-kali engkau memaki orang lain“. Kata Jabir, “Sejak itulah aku tidak pernah memaki seorang pun, baik ia orang merdeka atau hamba sahaya, termasuk tidak memaki unta dan kambing”. [HR Abu Dawud]. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepadanya, “Jika ada orang yang mencela dan memakimu dengan celaan yang dia tahu ada pada dirimu, maka janganlah kamu balas mencelanya dengan celaan yang engkau tahu ada pada dirinya. Karena akibat celaannya itu hanya kembali kepada dia.” [HR. Abu Daud]

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam juga bersabda,

لَيْسَِ الْمُؤْ منُِ ب الطَّعَّا نِ وَلَِ اللَّعَّا نِ وَلَِ الْفَا ح شِ وَلَِ الْبَ ذي ءِ

“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya” (HR. Tirmidzi, no. 1977; Ahmad, no. 3839 dan lain-lain).

Allah pun melarang hamba-Nya untuk saling mencela dan memanggil yang lain dengan panggilan yang tidak pantas,

اَيُّهَا الَّ ذيْنَِ اٰمَنُوْا لَِ يَسْخَرِْ قَوْ مِ منِْ قَوْ مِ عَسٰٰۤى اَنِْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا

منْهُمِْ وَلَِ ن سَآ ءِ منِْ ن سَآ ءِ عَسٰٰۤى اَنِْ يَّكُنَِّ خَيْرًا منْهُنَِّ وَلَِ

تَلْ مزُوْٰۤا اَنْفُسَكُمِْ وَلَِ تَنَاِ بَزُوْا ب اِ لَِْ لْقَا بِ ب ئْسَِ ا لسْمُِ الْفُسُوْقُِ

بَعْدَِ ا ليْمَا نِ وَمَنِْ لَّمِْ يَتُبِْ فَاوُلٰٓئ كَِ هُمُِ الظّٰ لمُوْنَِ

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 11)

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464). Beliau juga bersabda: “Orang yang banyak melaknat tidak akan diberi syafaat dan syahadatnya tidak akan diterima pada Hari Kiamat” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)

Allâh Azza wa Jalla juga melarang kaum Muslimin dari perbuatan mencaci maki sesembahan orang-orang musyrik agar itu tidak menjadi alasan mereka untuk membenarkan tindakan mereka yang mencaci maki Allâh Azza wa Jalla . Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَِ تَسُبُّوا الَّ ذينَِ يَدْعُونَِ منِْ دُو نِ اللَّّ فَيَسُبُّواِ اللََِّّ

عَدْوًا ب غَيْ رِ علْ مِ

“Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allâh, karena nanti mereka akan memaki Allâh dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” [Al-An’âm/6:108]

Sungguh cacian dan celaan yang diarahkan kepada tuhan-tuhan sesembahan mereka hanyalah akan membuat mereka semakin ingkar, keras kepala dan semakin menjauhi kita. Jika demikian, ini bertentangan dengan misi dakwah yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla.

Cara Berkumunikasi Menurut Al Quran

Dalam berkumunikasi, Nabi Muhammad SAW selalu memperhatikan ketepatan gaya bahasa yang dipilih. Semua orang yang pernah bertemu dan berinteraksi dengan Nabi merasakan kedekatan. Hal ini tercemin dari keyakinan setiap sahabat merasa menjadi orang dekat Nabi. Tutur kata dan sikap Nabi membuat setiap orang yang berkomunikasi dengan beliau merasa dekat. Merasa dihormati dan dihargai. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159,

فَب مَا رَحْمَ ةِ منَِ اللّّٰ لنْتَِ لَهُمِْ وَلَوِْ كُنْتَِ فَظًّا غَ ليْظَِ الْقَلْ بِ لَِ

نْفَضُّوْا منِْ حَوْ لكَِ فَاعْفُِ عَنْهُمِْ وَاسْتَغْ فرِْ لَهُمِْ وَشَا ورْهُمِْ ف ى الَْمْ رِ

فَ اذَا عَزَمْتَِ فَتَوَكَّلِْ عَلَى اللّّٰ ا نَِّ اللَِّّٰ يُ حبُِّ الْمُتَوَ ك ليْنَِ

"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal."

Andaikata Nabi bersikap keras dan berhati kasar, niscaya orang yang diajak oleh Nabi akan lari menjauh. Mereka tidak akan terkesan dan berkenan untuk masuk Islam. Dakwah mestinya dimulai dengan hati yang lembut, serta ucapan yang santun. Bukan dengan perkataan yang isinya menyakiti atau merendahkan orang lain

Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan sesempurnanya dibandingkan makhluk yang lain. Keindahan dan kesempurnaan manusia hendaknya diiringi dengan keindahan dan kesempurnaan perangai. Salah satunya, manusia mesti mengindahkan dan menyempurnakan diri dengan komunikasi yang baik. Allah memberi kelebihan kepada kita sebagai manusia pandai berkomunikasi sebagaimana dijelaskan dalam QS ar-Rahman ayat 4, “Allah mengajarkan manusia pandai berbicara”. Ayat tersebut menyiratkan perintah supaya kita berkomunikasi dengan baik.

Melihat begitu pentingnya kata-kata, Al-Quran pun memberikan bimbingan kepada manusia ketika mereka hendak berkomunikasi, agar komunikasi mereka benar dan menyelamatkan dan bukannya malah membawa kepada kehinaan dan celaka. Sebuah pepatah Arab menyatakan: “Salamatul insan fi hifzhil lisan” (Keselamatan manusia itu sangat tergantung pada pemeliharaan lisan).

Ketika berbicara tentang perkataan (qoulan), Al Quran menggunakan beberapa macam bentuk, yang itu sebenarnya batasan dan arahan agar perkataan kita baik dan benar. Di antaranya :

1. Qaulan ma’rufa (perkataan yang baik)

Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, tidak menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, Qaulan Ma’rufa yaitu melembutkan kata-kata dan menepati janji. (QS An-Nissa :5 dan 8; QS. Al-Baqarah:235 dan 263; QS. Al-Ahzab: 32)

2. Qaulan sadida (perkataan yang tegas dan benar).

Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, as-sadid yaitu perkataan yang bijaksana dan perkataan yang benar. Dalam berkomunikasi (berbicara) harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. (QS. An-Nisaa’ :9; QS. Al-Ahzaab :70)

3. Qaulan layyina (perkataan yang lemah lembut)

Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. “Maka berbicaralah kamu berdua kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Taahaa :44). Ayat ini adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.

4. Qaulan maisura (perkataan yang mudah)

Qaulan Maisura (Maisuran) bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan. ”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maisura -ucapan yang mudah” (QS. Al-Isra: 28).

5. Qaulan baligha (perkataan yang membekas pada jiwa)

Dalam Tafsir al-Maraghi diterangkan, Qoulan Balighan yaitu “perkataan yang bekasnya hendak kamu tanamkan di dalam jiwa mereka”. Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Allah berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” (QS. An-Nisaa’ :63)

6. Qaulan karima (perkataan yang mulia)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik” (Al-Israa’ :23)

Qaulan Karima adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati mereka.

Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan hilang pahalanya karena seringnya kita menyakiti sesama dengan kata-kata dan tulisan kita. “Dikatakan kepada Rasulullah saw., “Sesungguhnya si Fulanah shaum di siang hari dan tahajud di malam hari. Namun akhlaknya buruk. Ia suka menyakiti hati tentangganya dengan mulutnya”. Rasulullah bersabda, “Tidak ada kebaikan pada diri Fulanah itu. Ia termasuk ahli neraka”. (H.R. Ahmad).

Wallahu a`lam bish shawab, Dan Allah lah yang lebih mengetahui yang sejatinya benar

No comments:

Post a Comment