Tuesday, December 15, 2015

MOTIVASI DALAM BERIBADAH

MOTIVASI DALAM BERIBADAH
Oleh M Husnaini

Mafhum bagi kita bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah. “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzaariyaat : 56). Ibadah di sini mencakup pengertian mahdlah dan mustafadah, yaitu setiap perbuatan baik yang bermanfaat dan diniatkan semata karena dan untuk Allah.
Kata Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilal Al-Quran, ibadah merupakan al-wadhifah al-ilahiyyah, tugas yang diembankan Allah kepada manusia. Jadi, manusia yang menjalankan ibadah, maka ia telah memfungsikan hakikat penciptaannya. Sebaliknya, manusia yang melalaikan ibadah, berarti telah mendisfungsikan hakikat penciptaanya. Ibarat kata, lampu dibeli untuk tujuan penerangan. Ketika lampu tidak bisa lagi menerangi, berarti telah disfungsi. Itulah analogi bagi manusia yang enggan beribadah.
Tetapi, motivasi (niat) menjadi unsur penentu dalam ibadah. Dan motivasi ibadah setiap orang ternyata tidak pernah sama. Ada lima tingkat motivasi ibadah.
Pertama, IBADAH AL-MUKROHIN. 
Ini adalah tingkat motivasi terendah. Pada tingkat ini, ibadah hanya dipahami sebagai kewajiban. Ibarat anak SD yang mengerjakan PR, orang beribadah bukan didorong dari dalam, melainkan karena paksaan dari luar. Malah kerap sekadar untuk kepantasan. “...mereka tidak mengerjakan shalat, kecuali dengan malas dan tidak pula menafkahkan harta, kecuali dengan rasa enggan” (QS 9 - At-Taubah : 54).
Kedua, IBADAH AL-UMMAL. 
Ibadah pada tingkat ini penuh vested interest. Ibarat seorang kuli, orang rela bekerja siang dan malam karena mengharap upah. Digambarkan Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Muslim, besok di hari kiamat ada tiga kelompok orang yang menghadap Allah dengan segudang kebaikan, tetapi mereka justru dilemparkan Allah ke neraka. Siapa mereka? Yaitu syuhada yang gugur di medan juang demi status pahlawan, cerdik pandai yang sibuk mengajarkan ilmu agar disebut ulama, dan orang berharta yang selalu berderma supaya dianggap dermawan. Kebaikan mereka tidak berharga sama sekali di mata Allah. Sebagaima hadits berikut:
“Saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya: ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku?
Dia menjawab: ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.’ Allah berfirman: “Kamu berdusta; sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.” Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.
Dan didatangkan pula seseorang yang belajar al-Quran dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat?
Dia menjawab, “Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca al-Quran demi Engkau.” Allah berfirman: “Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Quran agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu, kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.
Dan seorang laki-laki yang di beri keluasan rizki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.” Allah bertanya: “Apa yang telah kamu perbuat dengannya?”
Dia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridhai.” Allah berfirman: ‘Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim dari Abu Hurairah, Shahîh Muslim, VI/47, hadits no. 5032)
Ketiga, IBADAH AT-TUJJAR. 
Inilah ibadah cara pedagang. Ibadahnya semata karena tergiur imbalan lebih besar. Diceritakan, dalam suasana panas menyengat, Khalifah Umar bin Khattab meminta segelas air. Saat air sudah terhidang, mendadak sang khalifah menolak, sembari berkata, “Terima kasih. Aku tidak jadi minum, agar kenikmatan yang disediakan untukku di akhirat kelak tidak berkurang”.
Terlepas dari kebenaran kisah ini, sikap Umar jelas menunjukkan betapa ia ogah melakukan sesuatu demi menerima imbalan yang menyenangkan di dunia. Khalifah berjuluk Al-Faruq itu teringat firman Allah, “Dan ingatlah ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka. Kepada mereka dikatakan, kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan dunia dan kamu telah bersenang-senang dengannya. Maka hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik” (Al-AhqAaf : 20).
Keempat, IBADAH AL-MUTHI’IN. 
Kualitasnya lebih bagus dari tiga tingkat sebelumnya. Motivasi ibadah pada tingkat ini adalah ketundukan kepada Allah. Ibadah bukan lagi karena paksaan dari luar, melainkan sudah tumbuh dari dalam. Bukan karena takut ancaman atau mengharap imbalan, melainkan karena ingin “balas jasa” atas segala nikmat dan karunia Allah kepada dirinya. Juga didorong keyakinan bahwa hikmah dan manfaat ibadah akan kembali kepada diri manusia. Ikrar hatinya, “Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sarwa sekalian alam” (Al-An’aAm : 162).
Kelima, IBADAH AL-MUTALADZIDZIN. 
Inilah puncak motivasi ibadah seorang hamba. Pada tingkat ini, ibadah tidak lagi untuk “balas jasa” apalagi karena tergiur pernik dunia. Ada kelezatan ibadah yang tiada tara. Sekejap saja waktu senyap dari ibadah, muncullah gemuruh rindu dan cinta yang menyesakkan dada. Ia telah keranjingan ibadah kepada Sang Maha Segalanya.
Pasti inilah yang dirasakan Rasulullah. Beliau dijamin surga, tetapi terus shalat sampai kaki bengkak. Juga Ali bin Abi Thalib yang begitu menikmati shalat, sampai pernah minta agar anak panah yang menancap di badannya dicabut ketika sedang shalat. Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya sekaligus satu dari sepuluh sahabat yang mendapat garansi surga, bahkan ikhlas membagikan tiga kantung berisi uang hasil keuntungan dagangnya kepada mereka yang membutuhkan.
Nah, dimanakah posisi kita dari kelima tingkat motivasi ibadah di atas..?!

No comments:

Post a Comment