Thursday, March 19, 2015

ASBABUN NUZUL SURAH 6 AL AN’AAM – AYAT 52

TURUNNYA SURAH 6 AL AN’AAM – AYAT 52

Kisah para budak (Bilal ibn Rabbah dan Kabbab ibn Al Urti) yang disiksa majikannya karena masuk Islam

Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim) ~ QS 6 – Al An’aam : Ayat 52 ~

Hari itu di kota Mekkah geger, terjadi gelombang kekalutan, keresahan, keriuhan dan kegelisahan. Semua orang berkata-kata, berpendapat, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang.

Hari itu, Muhammad ibn Abdullah berdiri diatas bukit Shafa, puncak Kemurnian menyeru dengan lantang bahwa Allah telah mengutusnya menjadi Rasulullah, untuk mengajak manusia menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, untuk mengakui kenabiannya, beribadah mendekatkan diri kepada Allah dan meninggalkan penyembahan kepada berhala-berhala yang bisu, tuli dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Da’wah Muhammad yang selama 3 tahun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, hari itu atas petunjuk Allah dilakukan secara terbuka.

Selama 3 tahun itu sudah cukup banyak orang yang beriman dan mengucapkan janji kepadanya mulai dari isterinya, sahabat dekatnya, putera pamannya, beberapa orang terpelajar dan beberapa budak serta hamba sahaya yang sembunyi-sembunyi dari majikannya.

Dengan diserukannya syiar Islam secara terbuka, bukannya membuat para budak menjadi takut mendapat siksaan dari para majikannya, tapi malah membuat mereka tambah kuat keimanannya. Tentu saja hal ini membuat geram para majikannya yang masih kafir dan tidak segan-segan mereka menyiksanya tanpa rasa kemanusiaan.

#1 -Bilal ibn Rabah

Bilal ibn Rabah, adalah seorang budak hitam Habsy. Dia mewarisi keturunan budak dari ibu dan bapaknya. Dia milik seorang pemuka Mekkah bernama Umayyah ibn Khalaf yang dikenal sangat membenci Rasulullah. Begitu mendengar budaknya mengikuti ajaran Rasulullah, tentu saja dia sangat murka: “Celakalah kamu Bilal...! Ia benar-benar akan merasakan siksa yang pedih hingga menyatakan kembali kepada keyakinan kaumku, seraya menghinakan Muhammad dan agamanya...!”

Berkali-kali Umayyah memerintahkan Bilal untuk keluar dari agama Muhammad, tapi berkali-kali pula Bilal menolak perintahnya. Akhirnya kesabaran Umayyah habis dan mulailah ia menyiksa Bilal mulai dengan memukul, mencambuk seraya memaksa Bilal kembali pada agama dia. Pucak siksaan kepada Bilal, Umayyah menyeret Bilal ke tengah padang pasir yang panas terik, menelanjanginya, menidurkan dengan tangan dan kakinya terbentang, lalu menimpakan batu besar ke dadanya seraya terus menerus mencambukinya sambil berteriak: “Kafirlah terhadap Muhammad...!! Serulah nama tuhan Latta dan Uzza...!!

Namun diantara sela-sela rintihannya, tak ada kata lain yang keluar dari mulut Bilal selain: “Ahad...Ahad...Ahad...”.

Umayyah makin marah dan mulai menusukkan pisau ke beberapa bagian tubuh Bilal sambil memerintahkan Bilal mengucapkan tuhan Latta dan Uzza, tapi dengan tegas Bilal menjawab: “Lidahku tak dapat menyebutkan kata yang engkau inginkan...Ahad...Ahad”.

Berkali-kali Bilal mengalami siksaan seperti itu namun bukan menyurutkan keyakinannya akan agama Islam malah bertambah kuat.

Suatu hari seperti biasa Umayyah sedang menyiksa Bilal, terdengan oleh Abu Bakar dan segera menemui Umayyah: “Hai pemimpin Bani Jamh...takutlah engkau kepada Allah...Engkau telah memperlakukan budakmu ini secara buruk...!!!”

Umayyah berpaling pada Abu Bakar sambil marah: “Engkau dan sahabatmu Muhammad telah merusak hubungan budak ini dengan majikannya. Kalian telah mengeluarkannya dari agama nenek moyang, kemudian mengikuti agama Muhammad dan mengimani Tuhannya... Siksaan seperti ini pantas dirasakan budak yang membangkang pada majikan dan tuhannya, bahkan seharusnya disiksa dengan siksaan yang lebih berat lagi...!!”

Abu Bakar mengelus dada sambil berkata: “Bagaimana jika aku membelinya darimu...”. Umayyah kaget dan menjawab: “Membelinya ...? mengapa engkau mau membelinya...? Budak ini sudah tidak bisa melakukan apa-apa... Ia sudah tidak punya kekuatan dan semangat kerja...”.
“Aku akan membelinya darimu seharga lima uqiyah emas...” kata Abu Bakar.
“Lima uqiyah...?? Itu khan tak mencapai satu dirham...!! tapi biarlah aku menjual kepadamu...ayo bayarlah dulu dan bawa budak ini, aku yakin kau akan rugi...”.

Setelah uang lima uqiyah emas itu diterima Umayyah, ia berkata: “Kini budak ini menjadi milikmu...asal tahu saja budak ini tidak bisa apa-apa...seandainya engkau membayar 1 uqiyah pun aku sudah beruntung...”.

Sambil mengangkat batu yang menindih dada Bilal, kemudian membersihkan tubuh Bilal dan memeluknya dengan lemah lembut, Abu Bakar menjawab: “Hai Umayyah...demi Allah bahkan seandainya engkau hargai Bilai 100 uqiyah emas, aku tetap akan membelinya...sebab aku merasa beruntung...”.

Abu Bakar membebaskan Bilal dari siksaan majikannya dan kemudian memerdekakannya. Tentu saja Umayyah mendongkol meluputkan untuk mendapat keuntungan 100 uqiyah emas.

Kini Bilal menjadi seorang Muslim yang merdeka setara dengan Muslim lainnya dan ia makin giat menyiarkan da’wah Islam, bersemangat menghadiri majelis ilmu yang digelar Rasulullah

#2 - Kabbab ibn Al Urti

Dia adalah budak milik seorang wanita bernama Ummu Anmar yang penggalan kisah hidupnya terpatri dalam kitab suci.

Ummu Anmar sangat murka mendengar Khabbab telah lama masuk Islam tanpa sepengetahuannya.

Khabbab tercatat menjadi orang ke 5 yang masuk Islam di luar rumah tangga Rasulullah setelah Abu Bakar, Bilal, Samiyyah dan Anmar.

Ummu Anmar menyiksa Khabbab agar kembali ke agama majikannya dengan cara menyeterika punggung Khabbab dengan besi panas sehingga kulit dan dagingnya terbakar sampai menyentuh ke tulangnya. Disulutnya pula badannya dengan api agar kulitnya terkelupas. Wanit Quraisy itu tidak pernah puas menyiksa Khabbab dengan memukul, mencambuk bagian badan yang telah luka dan kepalanya sehingga tubuhnya menjadi lemah dan ringkih, namun ia tetap tidak mau meninggalkan ajaran Muhammad.

Sampai suatu hari Khabbab merasa penglihatannya kabur mungkin karena terlalu banyaknya siksaan yang mendera kepalanya. Dengan sedikit kekuatannya ia menemui Rasulullah di Arkam dan setelah bertemu berkata: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah pertolongan untukku”.

Rasulullah berusaha menenangkan Khabbab dengan bersabda: “Wahai Khabbab...Dimasa lalu ada orang yang dikubur hidup-hidup di dalam tanah, tinggal kepalanya yang tersembul di permukaan, kemudian kepalanya itu dilempari batu agar dia berpaling dari agamanya. Ada pula orang yang disisir kepalanya dengan sisir besi yang tajam sehingga yang tersisa hanya batok kepalanya agar ia meninggalkan agamanya. Ketahuilah, Allah pasti akan menyelesaikan urusan ini sehingga datang seorang laki-laki diatas tunggangannya dari Shan’a menuju Hadra Maut. Laki-laki itu hanya takut kepada Allah, namun kalian tidak sabar dan ingin menyegerakan kedatangannya (H.R. Ahmad).

Beliaupun berdo’a untuk Khabbab: “Ya Allah, tolonglah Khabbab”. Ucapan itu sangat menyejukkan Khabbab dan mengharapkan datangnya kemenangan serta pertolongan Allah. Tidak lama setelah itu Allah mengabulkan do’a Rasulullah dan Khabbab berhasil melepaskan diri dari perbudakan Ummu Anmar.

Seakan-akan mendapatkan kembali semangat hidupnya, ia menyibukkan diri dalam berbagai aktivitas untuk membantu Muslim, ia menjadi ahli dalam membuat senjata dan alat-alat perang lainnya. Namanya semakin termashur di Mekkah. Dengan daya ingatnya yang kuat ia juga mempunyai kemampuan menghafal Al Qur’an dan mengingat setiap ayat Al Qur’an yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.

Suatu hari seorang pemuka Quraisy yang dikenal sebagai petarung dan pemberani, yaitu Umar ibn Al Khaththab berjalan dengan pedang terhunus untuk mencari Rasulullah dan akan membunuhnya. Ditengah jalan ia dicegat seorang Muslim bernama Naim Al nukhkham seraya berkata: “Mau kemana kau Umar...? Apa yang akan kau lakukan dengan pedangmu...?”.

Umar menjawab: “Aku menghendaki Muhammad ibn Abdullah. Ia telah menghina tuhan-tuhan kita dan aku akan membunuhnya...”.

Naim berkata: “Hai Umar... kau telah dibutakan nafsumu... Apakah keluarga Manaf akan membiarkanmu begitu saja jika kau membunuh Muhammad...? Urusi saja keluargamu karena ketahuilah Umar, adikmu Fatimah dan suaminya Said ibn Zaid telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad...”.

Umar bagaikan disambar petir mendengar kata-kata Naim dan dia sangat marah, hampir saja ia memukul Naim karena tidak percaya.

Pada hari itu Khabbab sedang mengajar dan menelaah Al Qur’an bersama Zaid dan Fatimah. Pada saat Umar datang, Fatimah segera menyembunyikan ayat Al Qur’an dan Khabbab pun bersembunyi. Dengan marah Umar memukul Fatimah dan Zaid hingga mukanya berdarah membasahi wajahnya.

Melihat wajah adiknya bercucuran darah, Umar terdiam dan merasa bersalah karena telah bertindak berlebihan. Dia meminta Fatimah menyerahkan lembaran Al Qur’an yang dipegangnya. Sepertinya Allah tidak mengijinkan lembaran Al Qur’an dipegang oleh orang yang tidak suci, Fatimah tiba-tiba berkata: “Berwudhulah dahulu jika engkau ingin memegangnya, lembaran kita Allah itu tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci”.

Sesuai kehendak Allah, Umar berwudhu, kemudian memegang lembaran itu dan membaca ayat Al Qur’an:

Thahaa. Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)~ QS 20 – Thahaa : Ayat 1-3 ~

Sejenak Umar terhenyak, ia merasakan cahaya iman memenuhi hatinya. Dengan suara yang lembut ia menanyakan tempat Muhammad. Mendengar percakapan yang tampak sejuk itu, Khabbab keluar dari tempat persembunyiannya dan memberitahu Umar bahwa Muhammad sedang di rumah Al Arqom. Umar bergegas menemui Muhammad dan dihadapan beliau ia langsung menyatakan keIslamannya.

Dengan masuk Islam-nya Umar, kaum Muslim mendapat berkah dan darah baru, seperti halnya ketika Hamzah ibn Abdul Muthalib, paman Nabi bergabung dengan mereka.

Rasulullah dalam menda’wahkan ajaran Islam kepada para pengikutnya biasanya sesudah menunaikan sholat berkumpul di rumah salah seorang sahabat secara bergantian. Mereka duduk sejajar tanpa ada perbedaan mana pemuka Mekkah, saudagar, bangsawan, maupun budak yang papa dan lemah.

Pemandangan seperti ini tentu saja terlihat ganjil di kalangan penduduk Mekkah yang tidak terbiasa makan, minum bersama para budak, hingga salah seorang pemuka Mekkah berkata: “Hai Muhammad kami akan mengikutimu seandainya engkau sudi mengusir budak-budak itu. Kami tidak sudi bergaul dan disejajarkan dengan mereka”.

Ucapan yang disampaikan itu bermakna penghinaan untuk mencela sekaligus menyerang Rasulullah. Ucapan seperti itu pula pernah dilontarkan kaum Nabi Nuh kepada Nabi Nuh as.

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta” ~ QS 11 – Huud : Ayat 27 ~

Dan Nabi Nuh menentang ucapan itu.

Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui. Hai kaumku, siapakah yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran?”
~ QS 11 – Huud : Ayat 29 dan 30 ~

Tak terbersit sedikitpun dalam benak Rasulullah pikiran atau keinginan untuk menjauhkan budak dan golongan yang lemah. Islam mengajarkan kesejajaran, dihadapan Allah yang membedakan seorang manusia dengan manusia lainnya hanyalah takwanya kepada Allah SWT.

Dalam keadaan seperti itu Allah SWT menurunkan wahyu sebagai panduan yang tegas :

“Wa laa tathrudillaziina yad’uuna rabbahum bilghadaati wal’asyiyyiiyuriiduuna wajhahu maa ‘alaika min hisaabika ‘alayhim min syai in fatathrudahum fatakuuna minadhdhaalimiin”.

Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim) ~ QS 6 – Al An’aam : Ayat 52 ~

Bilal ibn Rabah dan Khabbab ibn Al Urti beserta bekas budak lainnya seperti Shu’aib ibn Sinan, Ammar ibn Yasir ikut berhijrah bersama Rasulullah ke Madinah. Mereka itu mendirikan Masjid Nabi bahkan Bilal karena suaranya merdu dan keras diangkat menjadi Mu’adzin utama. Mereka juga ikut berperang melawan kaum Quraisy dalam perang Badar, Uhud dan perang lainnya.

Dalam perang Badar, Bilal ingat akan kekejian Umayyah yang kebetulan saat itu ikut berperang melawan kaum Muslim. Dia berlari menghampirinya: “Hai Umayyah ibn Khalaf...!! Dengarlah...aku tidak akan selamat jika kau selamat...!!”. Sebetulnya Bilal ingin sekali mengajak bekas majikannya untuk bergabung masuk Islam, namun saat ini malah datang dari Mekkah untuk memerangi umat Islam. Dengan pedang terhunus dan menyeru kata-kata yang dulu diucapkan saat disiksa Umayyah: “Ahad...Ahad...”, Bilal menerjang Umayyah sambil membabatkan pedang ke leher Umayyah. Pentolan kafir Mekkah ini seketika ambruk dan hewan tunggangannya menginjak-injak jasadnya.

Sepeninggal Rasulullah, Bilal setia menemani Khalifah Abu Bakar Ashshiddiq dan dia menolak untuk mengumandangkan adzan lagi, meskipun dibujuk Khalifah Abu Bakar.

Baru pada saat Khalifah Umar ibn Khaththab atas permintaan Khalifah, Bilal mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya sepeninggal Rasulullah meskipun saat mengucapkan Asyhadu anna Muhammadarrasulullaah suaranya merintih dan menimbulkan isak tangis para sahabat mengingat Sang Junjunan yang telah tiada.

Bilal ibn Rabah meninggal di Damaskus, semoga Allah merahmati budak negro yang derajatnya mulia ini.

Begitu pula Khabbab ibn Al Urti, budak yang mendapat siksaan kejam tanpa ada yang menolong memerdekakannya selain do’a Rasulullah yang dikabulkan Allah SWT meninggal di Madinah saat Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Semoga Allah merahmatinya.

Bekasi, 15 Jumadil Awal 1436 Hijriyah atau 6 Maret 2015.
Edited and Posted by: Rika Rakasih
Sumber : Kitab Asbabun Nuzul
Tulisan: Fathi Fauzi Abd Al Mu’thi
Disarikan oleh : Idih Ruskanda

Thema : ‘Kisah para budak (Bilal ibn Rabbah dan Kabbab ibn Al Urti) yang disiksa majikannya karena masuk Islam’ QS Taha (20) - Ayat 1-3, Hud (11) - Ayat 27, Al An ‘am (6) – Ayat 52

No comments:

Post a Comment